PADA akhirnya, aku harus melangkah bugil memasuki gerbang suaka penyintas raksasa ini. Bugil adalah istilah kasar ketika aku tidak lagi bersenjata.
"Maaf, Sir, aku tak bisa menyerahkan ini," Eren memeluk erat-erat pisau militer yang selalu ia simpan di balik jaket (pisau militer dari alfanya), mendekapnya di depan perut. "Ini sangat berharga. Aku berjanji tak akan memakainya selama di tempat ini."
Annie berkata, "Kalian boleh mengambilnya lagi setelah berada di dalam. Lagi pula kalian akan mendapatkan semua yang dibutuhkan di dalam."
"Tapi—"
Zeke muncul di antara Annie dan Eren, dengan wajah yang terlalu ekspresif untuk seorang pria dewasa. "Tentu saja, Anak-anak, kau boleh menyimpannya, tapi jangan diperlihatkan di depan warga di dalam. Oke? Mereka benci kekerasan."
"Siap!" Eren mengangguk kuat-kuat.
Tak jauh dari tempat Eren diperiksa, aku diminta mengabsen senjata. "Hanya mengabsen saja, setelah itu akan kubawa lagi semuanya," aku tegas berkata, lalu meletakkan senjataku di atas gerobak pakan hewan yang digulingkan terbalik.
Namun, aku tak bisa terlalu lama membiarkan mereka menghitung berapa sisa peluru kaliber yang kupunya. Zeke telah merengkuh pinggang Eren, antusias mengajaknya berkeliling kota. Mereka sudah berjalan menjauh, membuatku terpaksa meninggalkan sebagian senjataku di atas kotak pemeriksaan dan berlari mengejar. Aku hanya sempat membawa sebuah pistol, belati, dan ransel berisi beberapa lembar tisu, kompor outdoor, pisau daging, merica, dan pembalut wanita. Hal yang paling kusyukuri adalah mereka tidak memaksa Eren untuk membuka sarung tangannya.
Di balik sekat-sekat barikade lempengan seng itu, sebuah kota kecil berdiri di hadapan kami.
HOMETOWN.
Tempat ini baru berdiri setelah sebulan peristiwa itu terjadi. Hingga kini, dikenal sebagai tempat perkemahan penyintas paling stabil. Mereka mengumpulkan para penyintas lewat siaran radio, meski katanya sempat terjadi perdebatan bahwa tempat ini sudah tak dapat menampung lebih banyak orang lagi. Kami adalah penyintas terakhir yang cukup beruntung, kata mereka.
Sambil berjalan, Zeke bertanya dari mana kami berasal. Eren menjawab "Shiganshina" sebelum aku menjawab "bukan urusanmu". Zeke kemudian bercerita bahwa ia pernah tinggal di Provinsi Rose dan sering pergi memancing di dekat kanal Shiganshina, yang membuat saudaraku tampak antusias bertanya. Sementara mereka bercakap, aku melihat sekeliling.
HOMETOWN merupakan kompleks pertokoan yang disulap menjadi perkemahan penyintas. Kompleks ini dikelilingi dinding barikade raksasa yang terdiri dari pelat kayu, lempengan seng, gunungan mobil rongsokan, truk tangki bocor, kotak kargo baja, dan dinding-dinding penghalang kokoh yang membuat para mayat hidup sulit menembusnya. Meski begitu, aku melihat banyak bercak darah, cakar, dan lubang-lubang peluru di dinding itu. Tak ada tempat teraman di dunia ini selama kiamat belum berakhir.
Orang-orang yang tinggal di dalamnya mungkin setuju denganku. Saat aku dan Eren melangkah masuk, mereka menatap kami dalam diam dengan sorot mata penuh curiga. Wanita tua berkursi roda di ujung sana langsung masuk ke dalam tenda saat kami melintas. Lelaki muda dengan separuh wajah tertutup perban, sedang mendorong gerobak batu di hadapan kami tanpa sikap yang acuh. Para pria bersenjata mengawasi langkah kami dari setiap sudut kota. Moncong gelap mereka siap melubangi betisku kapan saja. Tak ada sambutan hangat dan senyum, selain dari Zeke.
Berlawanan denganku, Eren berjalan di tempat ini dengan binar di matanya. Ia melihat toko buku mungil di ujung jalan yang berkaca buram. Rak-rak bukunya diisi kotak penyimpanan senjata. Toko buku itu dijaga sekelompok lelaki bersenjata, yang menatapku dan Eren dengan mata penuh penasaran saat kami lewat.
KAMU SEDANG MEMBACA
X [RivaEre Fanfiction]
AkcjaProsesnya menahun. Bertahap, bertingkat, berlanjut tanpa jeda. Saat terjadi, segalanya berlangsung cepat. Tidak ada pernyataan ofisial. Namun, mereka sepakat menamainya Peristiwa X karena huruf X tersebar di mana-mana; di dinding, besi tiang jemuran...