Bab 9: Apocalypse

871 174 36
                                    

TERKESIAP, mataku membeliak terbuka.

Titik-titik kecil mengambang di atas kepalaku. Dekat lalu jauh. Embusan napasku mengempaskan debu, melayang ke langit gelap.

Kepalaku pusing tujuh keliling. Kugerakkan jari-jariku, kaku. Jarum infus tertanam di dalam punggung tanganku. Tungkai kakiku ngilu. Aku meringis. Beberapa saat kemudian, dingin merasuk. Aku bergidik, menarik selimut untuk menutupi tubuhku yang telanjang bulat.

Cahaya muncul dari sela-sela pintu. Biasan cahayanya menarik mataku, menerangi sedikit kondisi ruangan tempatku tertidur.

Aku berada di dalam bilik kecil rumah sakit. Kap lampu terjatuh, meja berguling, ranjang miring—kondisinya berantakan. Display di samping tempat tidur menampilkan logo hijau muda "TROST HOSPITAL".

Aku tidak ingat bagaimana kami berhasil tiba di Kota Trost. Tidur panjang melenyapkan separuh ingatanku.

Meringis, aku mencabut jarum infus, melangkah turun dari ranjang. Lemari pakaian menyimpan sehelai kimono tipis pasien. Kubalut tubuhku yang telanjang, lalu keluar kamar.

Koridor rumah sakit itu terang, sepi, dan berantakan.

"Halo?" Suaraku parau.

Suaraku menggaung. Koridor rumah sakit sunyi senyap.

Di ujung lorong, ada darah menggenang.

Aliran dingin menyusupi tengkukku. Aku melangkah perlahan ke ujung koridor. Membulatkan mata, kuikuti genangan merah pekat.

Mayat perawat tergenang darah. Kepalanya putus.

Aku meneguk ludah, meneruskan langkah. Lift di ujung koridor. Jariku yang tremor menekan tombol panah ke bawah. Masih berfungsi.

Musik piano berbunyi di dalam lift. Musik itu berhenti ketika lift berhenti di lantai ketiga.

Koridor putih sunyi menyambutku. Penerangan neon menyala dan meredup.

Mayat lain tergeletak bersama genangan darah di tengah koridor. Kulangkahi tubuh-tubuh rusak itu tanpa melihat.

Perutku bergemuruh. Lapar luar biasa. Mesin penjual makanan dan minuman otomatis menyala di dalam kafe rumah sakit. Kutekan tombol teratas hingga terbawah. Minuman kaleng dan makanan ringan meluncur keluar. Rasanya seperti keripik bercampur roti basi. Kutelan bulat-bulat.

Kutendang mesinnya sebelum pergi. Kaleng minuman menggelinding keluar.

Bunyi berisik terdengar dari arah ruang tunggu apotek. Lebih jauh ke dalam. Koridor sunyi dengan plang petunjuk berwarna hijau neon "X-RAY". Di dalam ruangan itu, ada bunyi yang tidak berbeda dengan bunyi kecapan mulutku saat makan. Suara-suara kunyahan, gigitan, kuluman.

Aku mengintip ke dalam ruangan radiologi.

Di atas satu-satunya ranjang di ruangan, mayat hidup berwajah dokter bedah sedang menggerogoti kaki lansia yang tidak bisa berjalan. Ketika aku datang, kepala monster itu mengentak.

Aku mematung di ambang pintu.

Dokter zombi meninggalkan pasiennya. Cara berjalannya seperti orang mabuk, tak seperti zombi lain yang kebanyakan agresif dan berlari. Pisau bedah di tangannya mengarah kepadaku.

Aku berlari.

Jantungku berdentum gila sepanjang koridor.

Di mana semua orang?

Jendela kaca besar di sebelahku menampakkan wujud kota tertinggal. Sunyi senyap. Beberapa gedung menyala dengan kerlip yang nyaris mati listrik. Tak ada penghuni.

Zombi dokter masih mengejar di belakangku. Aku mendobrak pintu darurat, berlari, dan jatuh terpeleset.

Darah menggenang, menetes dari lantai di atasku. Asalnya dari mayat tanpa kepala yang bergelantungan di pegangan tangga. Amis mengambang pekat. Aku menutup mulut menahan mual.

X [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang