Bab 7: Humanity's Strongest

897 187 43
                                    

HANTAMAN keras memercikkan ilusi bunga api di depan mataku. Aku melihat bintang. Hidung meneteskan darah. Aku berguling di lantai dengan tubuhnya menimpa dari atasku.

"Bocah—!"

Gertakannya tidak mencapai telingaku.

Kerahku ditarik. 

Aku meronta, mencakari tangannya dengan sia-sia. Sakit. Sakit! Aku berteriak.

Dia mengeliminasi jarak serapat mungkin. Kulitku membentur kulitnya. Suaranya mendesis di telingaku.

Tenagaku menguap habis di bawah dominasinya. Wajahku rata dengan tanah. Dia menekan punggungku, mengunci satu tanganku. Rambutku dijambak ke arahnya. Napas panasnya di sisi leherku. Dia berbisik sesuatu. Aku tidak paham maksudnya.

Anehnya, nada suara datarnya menenangkanku.

Pedangnya dingin menggilas kulit leherku. Kulitku dibuat terkoyak dengan bentuk garis merah. Beberapa milimeter pedang itu menembus daging leherku. Tenggorokanku tersekat. Mulut menganga. Darahku akan bertumpah deras di lantai semen.

Pedang tajamnya berhenti sebelum berhasil memotong pembuluh besar di leherku.

Bunyi pelatuk dan decit sepatu kets terdengar di sisi kami. Seorang gadis sedang menodong penyerangku. Lubang pistolnya mengancam sisi kepala pria mafia itu.

"Lepaskan dia," ancam gadis itu. "Aku tidak segan menarik pelatukku dan membunuhmu. Aku tidak peduli."

Suaranya sangat tidak asing di telingaku.

Sambil memandang gadis itu, si pria mafia mematung. Bilah tajam pedangnya masih menegang di depan leherku.

"Dia berbahaya," pria itu berbicara datar. Aku bisa mendengarnya dengan jelas kali ini.

"Dia bukan zombi," kata gadis itu. "Kau bisa dengar dia bicara. Dia masih berakal. Aku melihatnya tiga hari lalu sejak invasi. Dia sudah terinfeksi, tapi hingga kini masih belum berubah."

Aku menatap nanar ke arah gadis penolongku. Syal merah darah di lehernya. Mikasa Ackerman, saudariku. Ia membawa satu senapan di tangan kiri dan moncong laras pendek yang sedang mengancam pria mafia itu. Raut mukanya gelap.

"Bagaimana kau tahu?" tanya penyanderaku.

"Aku kenal Eren lebih dalam daripada kau. Aku adalah alfanya," Mikasa berdeklarasi sepihak. "Eren Jaeger adalah partnerku. Jika ada orang yang boleh membunuh Eren, hanya aku orangnya."

Mataku membulat.

Pria penyanderaku bergeming. Rahangnya mengeras kaku. Dari sudut mataku, bisa kulihat ekspresi wajahnya penuh kemelut. Matanya menyipit tidak percaya.

Sedetik kemudian, pedang samurainya menjauh dari leherku. Pria itu—yang seharusnya alfaku—masih memelukku dalam kuncian lengannya seolah tak rela melepasku.

Dia membuat nada tak percaya. "Kau alfa bocah ini?"

Mikasa masih menahan pelatuk senapannya.

Mereka saling pandang.

Pria itu melepaskanku pada akhirnya. 

Aku terjatuh, menggulung tubuh dan bergetar.

Dua kali tembakan terdengar dari arah lorong. Bedegap langkah berduyun-duyun masuk ruangan. Ada pemuda omega yang pernah kulihat mendampingi si kepala mafia di depan toko senjata, mungkin bawahannya. Di sebelahnya ada pria alfa jangkung berkumis dari Survey Corps—kalau tidak salah namanya Mike.

"Levi! Kita harus segera pergi dari sini!" teriak si pemuda omega. Kulihat dari dekat, kepalanya cedera dan dibalut perban.

"Mereka mendekat. Gerombolan besar secara serentak menuju gedung ini," terang Mike.

X [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang