Bab 41: Mad World

361 59 10
                                    

AKU bertanya ke mana manusia pergi setelah mereka mati.

Apa yang terjadi kepada manusia yang mati, tetapi masih terus berjalan di muka bumi.

Semua pertanyaan itu tak penting.

Yang penting adalah dia, yang sudah mati ini, dapat kembali lagi.

✖️

Teriakan pedih dan gilaku terdengar seperti lolongan hewan buas.

Kukejar alfaku.

Kukejar, kukejar, kukejar.

Hanya ke depan.

Deru angin berpadu dengan jeritan di belakangku. Kuabaikan semua itu dengan menjerit sambil berlari.

Sebaiknya aku tak menoleh ke belakang atau aku akan kehilangan kewarasanku.

Mikasa, Paman Hannes, teman-temanku—siapa pun tak akan pernah mengerti. Mereka tak punya pasangan alfa atau omega sepertiku!

Mereka tak pernah merasakan ketika seluruh organ dalam, tungkai, sendi, otot, sel—setiap bagian di dalam tubuh ini yang aku tak tahu apa saja—bergejolak sakit. Sakit karena kehilangan pasangan. Sakit ketika harus merelakan satu-satunya belahan jiwamu pergi. Sakit lagi ketika akhirnya kami dapat bertemu kembali, tetapi terhalang dinding tebal antara dunia kehidupan dan dunia kematian.

Kaupikir aku gila?

Ya, memang gila.

Apakah aku salah?!

Mana mungkin kulepaskan alfaku setelah berhasil menemukannya!

Aku memanggil Levi.

Namun, ia tak mau menoleh.

Punggungnya memudar di hadapanku.

Aku melintasi rongsokan mobil yang menebar seperti potongan puzzle di kota mati ini. Aku marah. Aku sakit. Aku berhenti di depan salah satu mobil dan membenturkan keningku ke badan berkaratnya. Aku menangis.

Aku meraung sakit.

Lalu, kekuatan itu datang seperti angin dingin yang merajam. Setiap bagian dari tubuhku membeku. Tanganku harus ikut membeku, mengeras untuk bisa mengempaskan badan-badan mobil usang ini. Kakiku harus menebal untuk bisa menendangi semua lempengan-lempengan rongsokan ini.

Semua yang kubayangkan terjadi.

"LEVI!"

Suara menggelegarku mampu mengempaskan barang di sekitar. Suaraku yang seberisik itu pun belum mau membuatnya menoleh.

Yang menoleh adalah mayat hidup lain.

Mereka datang dengan suara sengau berisik seperti tenggorokan bermasalah pada pagi hari. Aku sungguh, sangat, ingin meremukkan liang tenggorokan mereka. Aku ingin mencekik mereka sampai jadi serpihan.

Lagi, angin dingin menyergap tubuhku dan membuat kepalan tanganku ini mengeras seperti duri-duri naga di dalam komik Sir Pixis. Berteriak marah, aku meninju perut mereka satu per satu.

Tinjuku menembus perut busuk mereka, meretakkan tulang-tulang belakang dan melumat isi perut yang sudah hancur. Rasanya lunak. Badan mereka begitu rapuh dan menjijikkan.

Apakah tubuh alfaku juga lunak seperti ini? Aku jadi tak sabar ingin memeriksa. Semalaman aku tidur di sisinya dan mestinya lebih berani menyentuhnya.

Setelah satu zombi tumbang, aku menghajar yang berikutnya. Semuanya dengan tangan kosong. Hebat, bukan?! Namun, alfaku malah tidak melihat semua itu. Mikasa tidak melihatnya. Jean, Armin, dan lainnya tidak melihat, malah tak percaya kepadaku, malah ingin menembakku.

X [RivaEre Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang