RUMAH sakit itu serbaputih. Hanya logo hijau muda yang menyala dengan tulisan "TROST HOSPITAL".
Di mataku dinding rumah sakit gelap kusam, penuh dengan kematian. Rombongan pengungsi datang dalam jumlah yang tak mungkin tertampung. Rintihan sakit, tangis, wangi darah dan alkohol medis. Ratusan tandu berjajar di halaman rumah sakit. Sebagian meregang nyawa. Ratusan lainnya mengisi tiap kamar dan sudut koridor.
Eren Jaeger rebah pada salah satu tandu, sempat dikira sudah mati.
Saudarinya, gadis bersyal merah, menjadi salah satu penyintas yang setia menemani bocah itu sejak mereka dievakuasi ke tempat ini.
Protektif sekali meski tanpa hubungan darah, tanpa ikatan.
Aku datang mendekat saat gadis itu memejamkan mata. Matanya langsung membuka.
Kami bertatapan.
"Kau bukan alfanya," kataku.
Mikasa menatapku muram. Tidak menjawab.
Ditatapnya kembali wajah Eren yang tertidur.
Aku diam, menatap lelaki yang sama.
"Apakah harus menjadi alfanya dulu untuk dapat berada di sisinya?" gumam Mikasa, bertanya pada dirinya sendiri.
Aku memilih tak menjawab.
Awalnya kupikir aku tak peduli.
Dunia atas lebih busuk ketimbang bawah tanah, menurut Kenny. Aku pernah bertanya apa alasannya, tetapi jawabannya tak pernah memuaskan: Karena ketika dunia terasa sangat luas di depan matamu, ketika langit terlalu tinggi dan kau merasa kerdil, justru kau tak bisa lari. Tidak ada sudut gelap seperti di bawah tanah untuk tempatmu bersembunyi!
Sekarang aku tahu maksudnya.
Setidaknya aku bisa menemukan jawaban itu dari mata Mikasa Ackerman saat ia terbeliak ngeri. Malam itu, pukul dini hari, teriakan pertama kami dengar dari lantai teratas. Lantai itu tempat Eren berada. Mikasa baru saja pergi meninggalkan bocah itu selama dua menit hanya untuk mengambil suplai makanan.
Mikasa berlari lebih cepat, kemudian Hange, Mike, dan rombongan kami lainnya menyusul.
Saat kami tiba di lantai teratas, dinding putih rumah sakit sudah berubah merah. Hanya darah.
Sosok yang kami cari berdiri di antara kekacauan. Eren Jaeger, sedang menyeret tubuh perawat berkepala putus. Dialah pengacaunya.
Mikasa berteriak, berusaha menggapainya.
Eren sudah tak mengenali saudari terdekatnya lagi. Ia melempar tubuh perawat itu hanya untuk berlari menyerang Mikasa. Si gadis bersyal merah masih dilanda syok melihat saudara angkatnya berubah. Kurasa ia tak akan sadar saat kepalanya sudah dibuat terbang.
Mike berusaha menghentikan Eren, menembak kaki untuk melumpuhkannya.
Mikasa berteriak sebelum peluru itu meletus, "Hentikan!!!"
Terlambat.
Akulah yang menangkis peluru Mike dengan pedangku.
Benar-benar refleks saat aku melompat di hadapan Eren, di antara mereka semua. Punggungku malah menghadap Eren seolah aku sedang melindungi dia, bukan melindungi Mikasa dan manusia lainnya.
Kupikir Mikasa sudah gila saat ia berusaha menghalangi tembakan Mike.
Ternyata aku yang lebih hilang akal.
Saat Eren melihatku, atensinya langsung menghunjamku. Ia mengejarku seperti ingin menyeruduk, mungkin dorongan tolol sebagai partner musim kawin. Aku berbalik untuk meninju laki-laki itu tepat di lambungnya, lalu membanting tubuhnya ke lantai.
Sesaat Eren terkesiap dan membeku karena sakit.
Lalu, mata itu bergulir padaku, merah pekat. Melawan.
Eren berhasil menyergap kerahku dengan cakarnya, lalu entah dengan tenaga apa ia bisa melemparku.
Oh, ini pertama kalinya aku dilempar mayat hidup. Tubuhku membentur dinding tepat di sebelah Isabel yang menjerit terkejut.
Aku hampir mendengus.
Eren adalah zombi pertama yang bisa menahan seranganku, bahkan melemparku.
Omegaku lebih kuat yang dari yang kubayangkan.
Saat Eren kembali menyerang manusia lainnya, aku melompat untuk menendangnya, memitingnya sekuat tenaga di tanah. Aku akan mengulur waktu selama mungkin selagi orang-orang yang masih hidup berlarian keluar rumah sakit.
Eren bisa melawanku dengan kekuatan, mendelik marah padaku, menggeram lebih buas dari zombi mana pun.
"Serang aku saja, Bocah," desisku.
Eren melakukannya dengan begitu semangat. Giginya yang tajam ingin mengoyak leherku. Dengan berani telapak tangannya meremas bilah pedangku, seolah sanggup mematahkannya. Telapak tangannya berdarah, tetapi luka itu sembuh hanya dalam waktu sepersekian detik. Aku mengernyit.
"Abang?!" jerit Isabel.
"Pergi!" balasku.
Mikasa melawan, ingin tetap tinggal. Aku berdiri di antara Eren dan gadis itu.
"Hanya aku yang boleh membunuhnya," geramku.
Kulihat mulut Mikasa terkunci. Ia menatapku dengan mata yang berkaca. Ia melihat dinding pembatas yang tak mungkin bisa ditembus—aku—ada di antara dirinya dan Eren Jaeger.
Teriakan Hange menggema sepanjang lorong. "Levi, kau harus segera menyusul kami. Lakukan tugasmu!"
Pergi!
LARI!
✖️
Aku tidak bisa lari.
Setelah semua pergi, setelah rumah sakit itu hanya berisi para makhluk mati, kugendong Eren Jaeger yang kembali pingsan ke lantai paling sepi. Kurebahkan ia di salah satu kamar dengan ranjang terbaik yang masih putih. Kulucuti bajunya yang berlumur darah, memandikannya, menggantinya dengan piama bersih.
Kenny akan menertawaiku jika ia tahu. Aku memilih untuk menerima perkawinan ruh. Aku tetap menerimanya meski akhirnya tahu pengantinku bukan omega biasa.
Sampai akhir aku tidak pergi meninggalkan rumah sakit itu.
Aku adalah alfa sahnya dan hanya aku yang boleh berada di sisinya.
Tidak siapa pun.
┏━━━━━━━━━━━━━━━┓
Note: Bagian ini tidak ada di dalam buku lama
Next update minggu depan
┗━━━━━━━━━━━━━━━┛
KAMU SEDANG MEMBACA
X [RivaEre Fanfiction]
ActionProsesnya menahun. Bertahap, bertingkat, berlanjut tanpa jeda. Saat terjadi, segalanya berlangsung cepat. Tidak ada pernyataan ofisial. Namun, mereka sepakat menamainya Peristiwa X karena huruf X tersebar di mana-mana; di dinding, besi tiang jemuran...