Happy reading..
" Za jangan lari lari Abang capek,'' teriak Aidan berusaha mengatur nafasnya yang tersengal karena mengejar kedua adiknya yang berlari kesana kemari.
Aidan tak tau kenapa Zavin sangat aktif berbanding terbalik dengan dirinya yang amat malas bergerak. Aidan lebih suka duduk santai sambil bernyanyi dan memetik senar gitar.
Zavin tertawa puas melihat raut wajah abangnya yang kelelahan, mereka berdua melambai lambai tangannya memberikan isyarat untuk Aidan agar cepat menghampiri mereka berdua.
Aidan hanya bisa mendengus pasrah menuruti kemauan sang adik.
" Nggak seru Lo bang ,'' ejek Zavin terkekeh geli.
Mereka berdua merebahkan tubuhnya di rerumputan taman belakang rumah, tanpa peduli jika nanti membuat baju mereka kotor oleh warna coklat tanah.
Hari ini Aidan bebas melakukan apapun, tak ada tuntutan dan perintah yang mengharuskan untuk terus belajar. Senyum sedari tadi tak luntur dan tawa yang slalu keluar dari mulut mereka berdua saat salah satu dari mereka bercerita atau memberikan lelucon.
" Hahahah, capek bang ketawa mulu," ujar Zavin memegang perutnya yang terasa keram.
Aidan tersenyum mendengarnya dan tangannya mulai menggelitik tubuh Zavin sehingga kembali menimbulkan suara tawa dan kalimat minta ampun.
Aidan menikmati waktu bersama adiknya walau itu hanya sebentar tapi memberikan kenangan indah yang sulit untuk terlupakan.
Aidan menghentikan tangannya dan menatap kearah langit biru yang dipenuhi gumpalan kapas putih bersih, " hari yang indah dan semoga bertahan lama," gumammya lalu memejamkan matanya sebentar menikmati semilir angin yang menenangkan.
Zavin mengangguk setuju dengan ucapan Aidan tentang hari ini.
" Bang gue tahu ini nggak pantas tapi apa boleh gue berharap mama dan papa nggak pulang, gue nggak mau hari ini akan berakhir hancur seperti hari hari sebelumnya," ucap Zavin lirih, ia tak mau dibanding bandingkan dengan Aidan. Bukankah setiap anak memiliki keistimewaan masing-masing.
Aidan tau betapa lelahnya Zavun atas semua tekanan yang orang tuanya berikan karena kadang nilanya tak sesuai ekspektasi sehingga Zavin harus berusaha lebih ekstra untuk meningkatkannya hingga tak sering Zavun bergadang semalaman.
Kurang dalam nilai bukan berarti Zavin itu bodoh hanya saja setiap manusia memiliki kekurangan dan kelebihan sehingga tak bisa di pandang sama.
" Bukannya tak boleh tapi kalau mama sama papa nggak pulang, bi Ita bakal capek ngurusin kita," ujar Aidan . Selama orang tua mereka tak ada hanya bi Ita yang slalu mengurus dan mempersiapkan keperluan mereka, hingga mereka menganggap wanita itu adalah mama kedua mereka.
Walaupun setiap kali mendapatkan perhatian dari BI Ita, mereka slalu merasa kurang dan protes akan takdir, kenapa orang yang merawatnya bukan mamanya sendiri melainkan orang lain. Mereka ingin merasakan senyum serta sapa di pagi hari dari mamanya dan menyantap masakan mamanya dimeja makan bersama sembari berceloteh tentang hari kemarin yang mereka lalui atau sekedar menceritakan mimpi mereka semalam. Bukan merasakan masakan orang lain dan makan bersama dalam keheningan.
" Nanti kalau bi Ita mengundurkan diri gimana, Za, lo mau kayak gitu?" Tanya Aidan mencubit gemas hidung mancung adiknya.
" Nggak mau lah bang." Jawab Zavin cepat dengan kepala yang di gelengkan kesana kemari.
" Jadi jangan gitu ya." Tegur Aidan lembut.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINTIK PILU
Teen Fiction'' TUHAN, TOLONG BANTU AKU MEMBUNUH PERASAAN INI." ***** Menjadi permata pengganti bukanlah perkara mudah hingga Zavin lambat laut kehilangan siapa dirinya. Sungguh hidup Zavin selama dua tahun terakhir setelah kejadian itu hanyalah mononton selayak...