CHAPTER 43. |• DEMI MIMPI DIMASA DEPAN

5 1 0
                                    

Happy reading...

Dari sorot mata Brian tak bisa bohong bahwa ada ketakutan serta kesedihan yang disembunyikan saat melihat Zavin tertidur pulas dikamar Aidan dengan tangan memeluk erat figura yang berisikan foto Aidan tersenyum kearah kamera dengan tangan menggenggam gitar kesayangannya.

Hingga tanpa sadar air mata Brian jatuh dari pelupuk matanya, Brian buru buru menghapus air matanya saat sebuah tepukan mendarat di bahunya. Senyum tipis Brian sunggingkan, ia tak mau menunjukkan perasaan sedihnya dihadapan Sharla, ia tak mau semakin membebani pikiran Sharla disaat wanita itu masih dalam fase pemulihan. Brian ingin selama Sharla hiatus dalam dunia hiburan, wanita itu bisa istirahat dan melakukan apa yang ingin wanita itu lakukan.

" Kenapa belum tidur, hmm?" Tanya Brian sembari menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya.

" Masih belum ngantuk mas." Jawab Sharla dengan senyum hangatnya. Sharla kemudian berjalan mendekati tempat tidur Aidan dan duduk di pinggir kasur, tangannya terulur mengusap rambut Zavin penuh sayang.

Brian menarik kursi belajar Aidan untuk ia duduki agar dekat dengan Sharla, pandangannya mengikuti kearah padangan Sharla yang tertuju ke figura yang dipeluk oleh Zavin.

" Nggak kerasa sekarang sudah bulan Desember, berarti tahun kedua dimana Aidan pergi meninggalkan kita untuk selama lamanya." Tutur Sharla matanya sudah mulai memanas.

Brian lantas menggenggam tangan istrinya dengan ibu jarinya mengelus lembut punggung tangan Sharla, memberikan kekuatan secara tersirat agar slalu tabah dan kuat dalam menjalani kenyataan dalam hidup yang slalu menyakitkan.

Sharla mengalihkan perhatian kearah Brian, ada keresahan yang slalu menghantuinya mengenai masa depan Zavin setiap kali mengingat betapa kerasnya keluarga ini memperlakukannya

" Cerita aja jangan dipendam." Titah Brian. Lebih baik menceritakan apa yang tersimpan di hati kita kepada orang tersayang yang kita percayai daripada memendam dan larut dalam kegelisahan tanpa ujung.

Sharla mengulum bibirnya untuk menghilangkan sejenak perasaan gundah itu walaupun ia sadar hal itu mustahil sebelum ia menemukan jalan keluarnya.

" Apa kita bisa mempertahankan mimpi Zavin?  Tanpa dia mengatakan ke kita, Zavin ingin menjadi seorang seniman dan mimpinya itu bertolak belakang dengan keinginan papa." Sharla menjeda sejenak ucapannya untuk mengontrol suaranya yang bergetar karena menahan sesak.

" Dan kita juga tau alasan selama ini Zavin melukis adalah obat jalan untuk bisa sembuh dari depresinya." Lanjutnya.

Brian mengerti akan ketakutan Sharla mengenai masa depan kedua putranya, tapi untuk membantu Zavin meraih mimpinya itu sangat sulit untuk dilakukan, mengingat betapa berambisinya Septian hingga menaruh harapan besar pada Zavin untuk kemajuan perusahaan dan tindakannya selama ini yang begitu keras kepada putranya semata mata untuk menuruti perintah dari Septian.

Dikatakan boneka ayahnya Brian mengakui itu, hingga kadang ia menjadi sosok ayah yang buruk untuk putranya yang butuh kasih sayang darinya. Tanpa ada yang tau Brian slalu menyesali perbuatannya yang bisa dikatakan merekrut kehidupan putranya. Jika nanti tempatnya berada di neraka, Brian dengan lapang dada menerimanya karena dirinya sadar bahwa semua perlakuan yang ia lakukan kepada putranya tak pantas mendapatkan maaf.

Brian memilih diam, ia tak bisa memberikan jalan keluar dalam permasalahan itu.

Mengenai mimpi untuk masa depan kelak akan slalu terasa berat karena setiap langkahnya dipenuhi oleh ketakutan jika gagal nanti akankah bisa bangkit lagi atau memilih menyerah. Dan peran orang tua membantu anaknya dalam mengejar mimpi dengan cara memberikan izin dan memberikan jalan untuk anaknya, tapi jika izin itu tak lagi ada mau tak mau anak harus mengikhlaskan mimpi mereka dan mencari jalan lain yang bertolak belakang dengan keinginannya.

RINTIK PILUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang