CHAPTER 39 |• KETAKUTAN MENGEJAR MIMPI

10 3 0
                                    

Happy reading....

Selembar kertas putih menjadi sebuah momok menakutkan bagi kelas 12 yang tak tau harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi mana dan ingin menjadi apa.

Banyak siswa 12 yang bolak balik ke ruang konseling untuk bisa mengisi selembar kertas putih mematikan itu. Tak sedikit pula mereka yang keluar dengan perasaan yang bingung sekaligus pasrah atas saran yang diberikan tak sesuai yang mereka harapkan. Memang benar orang lain hanya menunjukkan jalan selepasnya semua kembali ke diri kita, apakah akan memilihnya atau mencari jalan baru.

Zavin menatap kearah kertas itu lama, sebenarnya tak butuh waktu lama dan banyak pertimbangan seperti teman temannya yang lain, dirinya tinggal menulis jurusan yang Brian minta yaitu jurusan manajemen bisnis tapi sebagian dirinya merasa enggan untuk melakukan itu.

Ada apa dengan dirinya, kenapa ia menginginkan sesuatu yang tak sesuai apa yang orang tuanya minta, rasanya ia ingin mengejar sesuatu yang sudah lama ia pendam. Ah sial Zavin membenci ini, Zavin ingin menyobek kertas itu atau membakarnya saja agar beban pikirannya segera menghilang dan membuatnya tak lagi berlarut larut memikirkannya.

" Apa Lo nggak pengen berontak lagi? Demi masa depan yang Lo pengen." Tanya Nana. Laki laki itu menegakkan tubuhnya sembari menatap kearah langit langit ruang musik yang penuh sarang laba laba dan debu.

Zavin tersenyum kecut. " Percuma, semuanya udah diatur."

" Tapi sekali aja Lo coba yakinin mereka."

" Emang Lo udah berhasil yakinin mereka bahwa Lo bisa hidup mandiri di luar kota?" Tanya Zavin balik. Laki laki itu mengalihkan pembicaraan.

Nana mengepal kuat tangannya hingga kertas yang ia pegang menjadi kusut. Mengingat kembali usahanya meyakinkan orang tuanya bahwa ia bisa hidup mandiri di luar kota dan tak akan mengkhawatirkan mereka, berakhir dengan penolakan tegas mereka yang masih belum percaya dengan Nana.

Nana mengerti bahwa orang tua memiliki rasa khawatir yang berlebih pada anaknya terlebih pada anak semata wayangnya, tapi apakah mereka sadar bahwa rasa khawatir itu malah menjadi penghambat anaknya untuk meraih cita citanya. Bukankah orang tua ingin melihat anaknya sukses dimasa depan. Benar benar Nana tak paham dengan pola pikir mereka.

Diamnya Nana sudah cukup bagi Zavin menjawab pertanyaan yang ia lontarkan. Zavin memejamkan matanya sejenak memikirkan masa depan adalah satu hal yang paling ia takutkan terutama ia takut tak bisa memenuhi ekspektasi kedua orang tuanya yang cukup besar padanya.

Pintu ruang musik terbuka, dua orang laki laki masuk ke dalam ruangan itu. Haikal langsung merebahkan tubuhnya di lantai dan Angkasa duduk disamping Haikal, mereka tak peduli jika debu yang ada dilantai itu mengotori seragamnya sebab yang ia pedulikan sekarang adalah keputusan untuk mengisi lembaran kertas putih itu.

" Umi nggak mempermasalahkan gue lanjut ke akmil, cuman gue nggak tega ninggalin umi dan mbak Mentari sendirian." Ucap Angkasa mulai mengutarakan keluh kesahnya.

Angkasa hanya tinggal bertiga dengan Umi dan Mentari setelah ayahnya memilih menggugat cerai umi dan menikah lagi dengan selingkuhannya, Angkasa slalu menjadi garda terdepan untuk keluarganya dan slalu ada di sisi keluarganya dalam suka maupun duka, Sehingga meninggalkan dua wanita tanpa ada laki laki yang menjadi penopang terasa begitu berat bagi Angkasa.

Haikal menatap Angkasa sendu, nasibnya berbanding terbalik dengan Angkasa, ia mendapatkan izin dari papanya dan kedua adiknya sehingga meninggalkan mereka bukanlah masalah besar, hanya saja nilai rata ratanya masih belum bisa menembus rata rata nilai jurusan yang ingin ia ambil, belum lagi perasaan resah mengingat otaknya yang pas pasan akankah bisa lolos SMBT, ia tak berharap lebih pada SMPTN yang jalur langit itu dan ia juga tak ingin mengambil jalur mandiri  yang dimana ada uang pangkal dan uang UKT-nya begitu mahal

RINTIK PILUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang