Happy reading....
Rasa resah sekaligus takut memenuhi hati dan pikiran Zavin saat mendapati kabar bahwa Sharla mengalami kecelakaan. Peluh membanjiri wajah Zavin yang berusaha mati matian keluar dari kepungan para reporter yang ingin mengambil foto serta informasi keadaan Sharla saat ini. Sesekali Zavin mengerang kesal saat para reporter terus terusan mendesak satu sama lain yang hal itu membuatnya hampir jatuh, belum lagi dirinya harus kembali terdorong kebelakang saat para reporter itu dipaksa mundur oleh beberapa bodyguard dari keluarganya.
Sial kalau terus terus seperti kapan dirinya bisa menemui Sharla. Tiba tiba sebuah tanga menarik tangan Zavin lalu mengajaknya berlari menuju ruang operasi.
" Pak Ahmad terimakasih." Ujar Zavin pada orang yang telah membantunya keluar dari tengah tenga kerumunan.
" Anda tak perlu berterimakasih itu sudah menjadi tugas saya." Ujar pak Ahmad tersenyum ramah kearah Zavin.
Sesampai didepan ruang operasi, Zavin langsung memberikan sejuta pertanyaan mengenai kondisi Sharla pada Arjuna. Dengan raut wajah tenang Arjuna menjawab satu persatu pertanyaan itu, hal itu sukses membuat perasaan Zavin sedikit merasa tenang walaupun pikirannya tidak, karen terus memutar tentang kondisi mamanya yang mengalami patah tulang pada tangan kanan dan bagian kepala mengalami pendarahan.
Zavin lantas duduk di kursi yang ada di lorong itu, dengan tangan Zavin mengepal kuat hingga melukai telapak tangannya. Disaat saat seperti ini, ia sama sekali tak melihat pangkal hitung papanya, Zavin akui bahwa Brian itu sibuk tapi apakah tak ada niatan untuk membatalkan jadwalnya dan segera pulang untuk melihat kondisi istrinya yang berada di fase kritis.
Zavin juga mengerti tugas seorang kepala keluarga salah satunya adalah mencari nafkah untuk keluarganya tapi selain tugas itu ada tugas lain yang paling penting yaitu tugas untuk slalu ada disisi keluarganya dan menjadi garda terdepan saat keluarganya dalam fase sulit.
Ah sial, semakin Zavin memikirkan itu semua membuatnya semakin membenci Brian.
" Lagi dan lagi, pekerjaan lebih penting dari segalanya." Ketusnya tersenyum masam. Matanya memejam sejenak, berusaha mengalihkan fokusnya dengan memanjatkan doa untuk kelancaran dan keselamatan Sharla.
*****
Sore ini selepas pulang sekolah, Angkasa mengajak Giselle ke sebuah cafe outdoor untuk bisa melihat indahnya senja bersama, sebelum nanti malam ia harus digempur oleh ocehan Haikal yang tak ada habisnya, memberikan tips and trik cara membahagiakan pasangan.
Tangan Giselle yang lebih kecil dari tangannya ingin terus Angkasa genggam, kemana langkah Giselle membawanya pergi, Angkasa akan slalu mengikutinya tak peduli jika jalan yang Giselle pilih itu jalan yang penuh dengan bebatuan tajam.
Angkasa benar benar jatuh sejatutnya hingga ia setuju dengan kalimat yang dulu Zavin utarakan bahwa cinta itu sangat indah hingga membuat kita mabuk didalamnya tanpa ada niatan untuk keluar.
Giselle slalu dibuat terperangah setiap kali melihat keindahan senja yang bagaikan sebuah karya seni. Fokus Giselle teralihkan saat mendengar sebuah pertanyaan dari Angkasa tentang Vendra.
" Aku kurang paham sih kak soal itu tapi satu hal yang aku tau Vendra sering lihat kak Zavin dari jauh."
Angkasa mangut mangut paham dengan senyum tipis tersungging. " Semoga dia berhasil meruntuhkan pertahanan Avin."
" Maksudnya?" Bingung Giselle dengan maksud Angkasa.
" Avin masih nggak mau buka hati, dia terlalu takut." Gumam Angkasa memberitahu.
" Takut?" Beo Giselle yang sama sekali tak paham.
Angkasa menatap lekat kearah Giselle terutama mata gadis itu yang ingin slalu ia pandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINTIK PILU
Teen Fiction'' TUHAN, TOLONG BANTU AKU MEMBUNUH PERASAAN INI." ***** Menjadi permata pengganti bukanlah perkara mudah hingga Zavin lambat laut kehilangan siapa dirinya. Sungguh hidup Zavin selama dua tahun terakhir setelah kejadian itu hanyalah mononton selayak...