Happy reading....
" Yan kamu sungguh keterlaluan, dia bukan boneka yang seenaknya kamu atur." Murka Dimas, dirinya tak habis pikir dengan atasannya sekaligus sahabatnya sejak duduk di bangku SMP.
Apakah kehilangan putra pertamanya tak membuatnya sadar atas kesalahan kesalahan dari perbuatannya dulu, lalu kenapa diulangi lagi.
Apa Brian tak sadar perbuatannya ini menumbuhkan sebuah luka baru untuk putranya sekaligus untuk dirinya sendiri. Dimas tak tau cara apa yang bisa menyadarkan Brian atas perlakuannya itu. Sehingga ia hanya bisa berharap bahwa Brian sadar dengan sendirinya entah itu cepat atau lambat.
" Boneka? Aku tak menganggapnya seperti boneka, dia putraku, putraku yang sempurna." Tuturnya membenarkan ucapan Dimas sambil menghisap putung rokok yang berada di sela sela kedua jarinya. Mereka berdua berada di rooftop gedung pusat perusahaan Dirgantara sembari menghilangkan lelah di sela sela kesibukan semua tugas kantor yang mereka pikul.
" Lalu semua yang kamu lakukan itu apa?" Tanya Dimas penasaran alasan dibalik tindakan Brian selama ini. Tangannya terulur memijat kepalanya yang terasa berdenyut nyeri memikirkan semua ini yang sangat membingungkan.
" Mendidiknya... Jika Aidan bisa mendapatkan hasil 100 Zavin harus bisa mendapatkan hasil 101."
" Gila." Umpat Dimas menatap ke arah Brian tak percaya. " Kamu mendidiknya sekeras itu? apa kamu tak berfikir betapa lelah mental dan raganya untuk memenuhi semua ekspetasimu? Dan ingat Yan, dia itu sedang sakit jangan melulu kamu kengkang."
Dahi Brian mengerut. " Dia putraku kamu tak punya hak untuk mengetahui itu semua." Ketus Brian tak suka dengan seseorang yang terlalu jauh mengurusi kehidupan keluarganya.
Kalau sudah seperti ini Dinas memilih angkat tangan dan tak mau melanjutkannya lagi karena percuma, mengingat seseorang yang memiliki watak sekeras batu.
" Aku harap kamu nggak menyesal." Gumam Dimas.
*****
Zavin membuang nafas panjang, sebenarnya ia tak minat berada di ruang yang bernuansa putih diisi oleh bau obat obatan yang menusuk indera penciuman, tapi apalah daya saat Haikal dan Gio terus memintanya untuk berada di ruangan ini ditambah lagi sahabatnya yang lain ikut mendukung keputusan Haikal dan Gio.
Matanya menatap nanar kearah semua makanan yang sahabatnya belikan sungguh ini terlalu banyak baginya yang hanya sakit ringan.
" Lo berdua nggak ada niatan buat bantu gue habisin ini semua?" Tanya Zavin memelas.
" Nggak." Jawab Nana dan Angkasa barengan.
Raut wajah Zavin seketika berubah menjadi datar, sungguh ini menjengkelkan, apa mereka kira perutnya seperti karet yang bisa menampung semua makanan itu.
" Anjir itu muka mirip kanebo, datar amat anjing." Heboh Haikal saat melihat wajah datar Zavin. Angkasa yang sedang berbaring disamping ranjang Zavin menoleh.
" Bukan mirip kanebo lagi tapi mirip batu." Ujar Angkasa membenarkan lalu ia memilih memejamkan matanya menikmati alunan lagu dari earphone miliknya.
'' Lanjutin terus lanjutin sampai sukses.'' Ketus Zavin, sekarang moodnya berubah 180 derajat.
Tak berselang etensi mereka berdua mengarah kearah Nana setelah laki laki itu menepuk kedua tangannya meminta perhatian sebentar.
'' Kenapa Na?'' Tanya Angkasa penasaran.
'' Kamu nanyak? Kamu bertanya tanya'' Jawab Zavin dengan tampang yang amat menyebalkan dan itu memancing amarah Angkasa.
'' Sekali lagi lo bilang gitu, habis lo.'' Ancam Angkasa tak main main setelah melempar bantal kearah muka Zavin, bukannya jera malah Zavin menjulurkan lidahnya tak peduli
KAMU SEDANG MEMBACA
RINTIK PILU
Teen Fiction'' TUHAN, TOLONG BANTU AKU MEMBUNUH PERASAAN INI." ***** Menjadi permata pengganti bukanlah perkara mudah hingga Zavin lambat laut kehilangan siapa dirinya. Sungguh hidup Zavin selama dua tahun terakhir setelah kejadian itu hanyalah mononton selayak...