CHAPTER 22 |• KENANGAN YANG DIKUBUR

20 2 0
                                    

Happy reading...

Suara gemercik hujan begitu merdu memasuki gendang telinga Aidan, laki laki itu berdiri ditengahnya air hujan dengan tangan ia rentangkan menikmati tetes demi tetes  air itu yang jatuh membasahi tubuhnya.

Senyum manis tersungging indah, ia sangat menyukai hujan dan jatuh cinta akan suaranya sejak dirinya masih kecil. Menurut Aidan hujan itu menenangkan dan menjadi penyimpan rahasia terbaik sebab saat kita menangis dibawah guyuran air hujan, air mata kita tersamarkan sehingga bisa mengelabuhi orang lain bahwa kita tidak sedang menangis, selain itu suara hujan bisa menyamarkan suara kita jika ingin berteriak sekencang mungkin mengutarakan isi hati akan rasa penat yang kita hadapi.

Ternyata hujan sebaik itu.

Namun tak sedikit pula ada orang-orang yang membencinya, seperti Zavin yang membenci hujan, baginya hujan itu berisik, memberikan rasa takut yang terus menghantui dan paling menyebalkan dari itu semua adalah harus menunggu hujan reda untuk melanjutkan aktivitas, jika diterjang baju yang ia kenakan akan lengket belum lagi jika demam atau masuk angin tiba tiba menyerang, Zavin tak menyukai itu, semua aktivitas yang selama ini ia jalani pasti akan terhalang oleh kondisi tubuhnya yang kurang enak. Sial zavin benar benar benci itu.

Sedari tadi Zavin berdiri di ambang pintu dengan tangan bersedekap dada, matanya menatap kearah Abang dan adik yang berlari kesana kemari di taman belakang di bawah guyuran hujan.

Zavin tersenyum melihat mereka yang bebas seperti burung diluar sana tanpa ada rasa takut dan lelah yang tergambar di wajah mereka.

" ZA, AYO MAIN BARENG HUJAN." Teriak Aidan. Teriakan itu sangat melengking sampai sampai Zavin hampir saja jatuh, tak bisa mengatur keseimbangan karena terkejut.

" OGAH." Tolak Zavin lalu kembali masuk kedalam rumah, sayang seribu sayang tolakan itu seolah dianggap angin lalu, kedua tangannya ditarik oleh Aidan menuju ke taman sehingga tubuhnya basah oleh hujan.

Zavin memanyunkan bibirnya marah. " Dingin." Keluh Zavin menggosokkan kedua tangannya agar bisa merasakan kehangatan walaupun itu percuma.

" Lemah." Ejek Aidan dengan jempol yang ia balik.

Zavin memutar matanya disusul suara decakan keluar dari mulutnya, Zavin benar benar kesal sekarang. " Awas Lo." Ketusnya lalu mengejar Aidan.

Senyum tersungging, tawa terdengar memaparkan sebuah kebahagiaan diantara mereka. Sederhana tapi penuh makna bagi mereka.

Lalu Aidan menjatuhkan tubuhnya di rerumputan yang basah, tak peduli jika tubuhnya kotor. " Hujan itu anugrah Za, jadi  jangan membenci hujan, anggap hujan sebagai teman cerita sebab hujan adalah pendengar terbaik selain kamar."

Zavin mengangguk setuju, hujan adalah anugrah yang Tuhan berikan, dengan adanya hujan tanah tak lagi tandus dan tak ada bencana kekeringan di berbagai tempat, terlebih hujan menguntungkan bagi manusia untuk tak lagi menyirami tanaman yang ada di pekarangan rumah atau kebun.

" Bakal gue usahakan untuk mulai  menyukai hujan, bang." Janji Zavin walaupun ada keraguan dihatinya.

Tak terasa waktu berlalu begitu saja, tangan Zavin terulur membantu Aidan untuk berdiri, " Ayo masuk bang, nanti Lo sakit."

'' Kalau Abang sakit, Lo harus rawat Abang." Ucap Aidan disusul tawa kecil yang begitu renyah.

Zavin berdecak. " Nggak gitu dong konsepnya." Omelnya tak suka. Zavin ingin Aidan slalu sehat agar bisa ia ajak bermain sepanjang waktu.

RINTIK PILUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang