Happy reading...
Ruangan yang dominan warna putih itu dipenuhi oleh suara alunan musik nan indah tapi terdengar secara jelas menggambar suatu perasaan kesunyian dan duka yang mendalam. Tak berselang lama jaemari yang menekan tuts tak lagi bergerak sehingga lagu telah usai.
Zavin menunduk menatap lengannya yang kembali diisi oleh sayatan yang dalam dan masih menganga. Zavin tau ini perbuatan bodoh tapi hanya ini satu satunya cara yang bisa ia buat untuk melampiaskan semua rasa sesak yang bersarang hatinya semenjak abangnya pergi.
Dan hari ini Zavin mengabiskan jam istirahat pergi ke ruang musik yang tak lagi digunakan untuk menenangkan pikiran yang berkecamuk.
" Mau cerita?" Tawar seseorang yang suaranya sangat Zavin hafal.
Zavin menggeleng, tak ada yang pantas untuk di ceritakan mengenai hidupnya yang monoton.
Haikal berjalan menghampiri Zavin dan duduk di sebelah Zavin.
" Vin, nggak ada hukum yang melarang manusia bercerita tentang kehidupan yang mereka alami ke manusia lain." Tutur Haikal memberitahu, sejak dulu Zavin tertutup akan kehidupannya dan akan mau bercerita jika tak lagi sanggup memendam itu semua sendirian.
Zavin terdiam tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Memang benar tak ada hukum yang melarang tapi tidak semua manusia mau menjadi tempat kita bercerita.
" Vin jangan lakuin kayak gini lagi." Marah Haikal setelah mengetahui ada sayatan di tangan Zavin, laki laki itu lantas bangkit dari duduknya dan mengobrak abrik laci yang ada diruangan itu untuk mencari sekotak P3K.
Zavin hanya meringis, percuma menyembunyikan sesuatu jika itu berada di dekat Haikal, karena laki laki itu bisa dengan mudah mengetahui apa yang sedang kita pikirkan dan kita sembunyikan.
Dengan telaten Haikal mengobati setiap luka di tangan Zavin. Zavin yang mendapatkan perhatian seperti itu hanya membisu.
" Tangan adalah bagian terpenting bagi seorang seniman, dan lo harus ingat untuk jaga slalu tangan ini" Tegas Haikal, ia tak mau Zavin semakin hancur karena kecerobohan yang di sengaja oleh laki laki itu.
Zavin tersenyum kecut. " Bagian terpenting tapi sama sekali nggak bisa selamatkan nyawa seseorang."
Haikal langsung menatap kearah Zavin dengan tatapan yang sulit diartikan. Zavin yang ditatap seperti itu memilih memalingkan wajah dan beranjak dari duduknya. Langkahnya berhenti diambang pintu dengan senyum manis kembali terukir walaupun sebenarnya laki laki itu kesulitan menunjukannua.
" Thanks buat ini, Kal." Ucap Zavin mengangkat kedua tangannya lalu kembali melanjutkan langkahnya meninggalkan Haikal sendirian.
' seberapa tebal topeng yang lo kenakan, Vin? Dan gue harap Lo nggak ngelakuin hal gila setelah denger kabar itu'
****
" Guys aku boleh tanya sesuatu?" Tanya Vendra ragu.
Mendengar itu ketiga sahabatnya langsung mengarahkan pandangannya ke arah Vendra, mereka bertiga akan siap menjawab pertanyaan yang Vendra lontarkan semampu mereka, karena bagi mereka Vendra sudah mereka anggap seperti keluarga mereka sendiri.
Pertemanan mereka sudah terjalin lama walaupun dua tahun lalu Vendra sempat pergi dari kota ini tapi tak membuat mereka putus dalam memberikan kabar satu sama lain.
" Boleh." Ucap Giselle memberikan izin.
" Mmm.. disekolah kita ada nggak yang namanya kak Zavin?"
Mereka bertiga langsung terbatuk batuk, hei mana ada siswa di sekolah ini tak kenal dengan laki laki pemilik nama itu. Laki laki penyandang juara ketiga kejuaraan OSN tingkat nasional mapel fisika yang slalu di sanjung dan dibanggakan oleh guru-guru atas prestasi yang lain dalam bidang akademik, tak hanya disitu laki laki itu begitu ramah ke semua orang.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINTIK PILU
Teen Fiction'' TUHAN, TOLONG BANTU AKU MEMBUNUH PERASAAN INI." ***** Menjadi permata pengganti bukanlah perkara mudah hingga Zavin lambat laut kehilangan siapa dirinya. Sungguh hidup Zavin selama dua tahun terakhir setelah kejadian itu hanyalah mononton selayak...