Happy reading...
Mati Matian Vendra berusaha hanyut dalam dunia mimpi tapi pikirannya terus melayang kejadian siang tadi saat dirinya bersama Zavin di ruang musik. Vendra tak menyangka laki laki itu begitu mudahnya melepaskan seseorang padahal jika itu dirinya, ia pasti kesulitan.
'' Bagaimana kakak dengan mudahnya mengatakan itu?'' Protes Vendra, saat kalimat itu muncul begitu saja di pikirannya.
Ada rasa tak terima dan menuntut penjelasan mengenai seberapa lapang hati laki laki itu sampai mudah mengatakannya. Ah, Vendra benci mengakui itu. Padahal disini ia kesulitan mencari jawaban dari laki laki itu, hingga dirinya dibuat lelah oleh kebingungan yang rasanya tak memiliki ujung.
Sesulit itukah agar bisa bertemu Aidan.
Mata indah gadis itu mulai berkaca kaca, rindu kembali hadir, Vendra tak tau lagi harus apa selain menangis saat rindu itu hadir, namun buru buru ia menyeka air matanya saat mendengar suara pintu yang diketuk tiga kali lalu dibuka secara perlahan.
Untuk kesekian kalinya Zavira melihat adiknya menangis dengan tangan mendekap bingkai foto Aidan. Apakah adiknya tak lelah terus menangisi hal yang sama setiap harinya, Zavira mengerti ia belum pernah berada di posisi Vendra hanya saja ia tak mau Vendra terus terusan larut dalam kesedihan. Sakit rasanya melihat adiknya terluka.
Zavira duduk ditepi ranjang Vendra dengan mata teduh mengarah ke wajah Vendra yang sembab. Tangannya menyentuh rambut Vendra yang terkepang indah, dirinya bertanya siapa yang membuat ini.
" Cantik." Puji Zavira dengan senyum manis tersinggung diwajahnya.
" Makasih."
" Bukan kamu, tapi kepangannya." Sembur Zavira membenarkan.
Bibir Vendra seketika manyung ke depan, kesal atas penuturan kakaknya, dirinya sudah sangat senang mendapatkan pujian seperti itu sebab Zavira jarang sekali memujinya cantik, imut ataupun lucu dan slalu saja memujinya jelek.
" Jahat." Kesal Vendra lalu melemparkan bantal kearah Zavira.
Dengan gerakan gesit Zavira menepis lemparan itu, kemudian dirinya merebahkan tubuhnya dengan mata menatap lurus ke arah langit langit kamar Vendra.
Entah kenapa rasanya akhir akhir ini pikirannya tertuju dengan Yudha, bagaimana kabarnya dan apakah laki laki itu baik baik saja, apakah perbuatannya sudah dimaafkan atu malah belum, jika belum rasa bersalah ini mungkin akan terus menumpuk setiap harinya, belum lagi sekarang laki laki berpura pura tak mengenalinya. Ah, sungguh itu menjengkelkan.
" KAK ZAVIRA."
Zavira terkejut mendengarkan suara melengking adiknya yang memanggil namanya, sepertinya ia baru saja melamun sampai tak memedulikan sekitarnya. " Ya?"
" Capek tauk kak, manggil kakak terus sampai 5 kali tapi orang yang dipanggil nggak nyaut-nyaut padahal jarak kita nggak jauh amat, deket malah." Omel Vendra kesal.
" Ya ya, kakak ngaku salah, maaf." Balas Zavira jutek, kedua tangan gadis itu menutup rapat kedua telinganya, menandakan bahwa ia tak mau mendengarkan lebih lanjut omelan Vendra.
Vendra mendesah lelah, matanya ia alihkan kearah jendela kamarnya yang memperlihatkan bulan sabit yang sangat indah.
" Kak, bagaimana caranya mengikhlaskan seseorang?"
Zavira menatap lamat kearah Vendra, apakah Vendra sudah mau mulai membuka hati lagi untuk orang lain sampai sudah berani bertanya mengenai cara mengikhlaskan seseorang. Jika memang iya Zavira berterima kasih pada laki laki itu karena sudah membuat Vendra untuk tak lagi larut dalam kesedihan. Sehingga tanpa sadar Zavira menyunggingkan senyumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINTIK PILU
Ficção Adolescente'' TUHAN, TOLONG BANTU AKU MEMBUNUH PERASAAN INI." ***** Menjadi permata pengganti bukanlah perkara mudah hingga Zavin lambat laut kehilangan siapa dirinya. Sungguh hidup Zavin selama dua tahun terakhir setelah kejadian itu hanyalah mononton selayak...