Happy reading...
Waktu sudah menunjukkan pukul 3.14 dini hari, Brian baru saja pulang dari Inggris dan langsung menuju ke rumah sakit dimana Sharla di rawat. Sesampainya di sana Brian lantas memakai masker beserta topi untuk menutupi wajahnya sebab di sana masih banyak para reporter yang menunggu untuk mendapatkan berita eksklusif mengenai kondisi Sharla.
Langkahnya tergesa gesa menelusuri lorong yang sepi hingga langkahnya terhenti di depan pintu kamar rawat inap Sharla, hatinya merasa tercabi cabik, Sharla selalu ada untuknya tapi saat wanita itu dalam kesulitan ia tak ada di sisinya.
" Maaf." Hanya itu yang bisa Brian sampaikan.
Cukup lama Brian hanya berdiam diri didepan pintu hingga pada akhirnya laki laki paruh baya itu menarik kenop pintu secara perlahan. Senyum tipis tersungging saat hadirnya disambut oleh senyuman hangat milik orang yang ia khawatirkan kondisinya. Brian melangkah pelan menghampiri istrinya lalu melayangkan kecupan singkat di dahi.
" Lihat anak kita mas, gemes banget." Tunjuk Sharla di susul tawa kecil.
Brian menoleh kearah yang ditunjukkan Sharla, dimana ada Zavin yang tidur di sofa dengan posisi meringkuk dan bantal yang ada di sofa bukannya ia pakai untuk menopang kepalanya malah laki laki itu jadikan guling.
Brian tersenyum, benar apa yang Sharla ucapkan, Zavin benar benar terlihat menggemaskan seperti anak kecil yang berusia enam tahun, hingga saking gemasnya Brian ingin sekali mencubit gemas pipi tembem itu.
" Melihat Zavin yang tertidur seperti itu mengingatkanku saat dulu, Zavin masih kecil tidur di paha Aidan."
Sharla tersenyum pedih disusul gumpalan cair keluar dari pelupuk matanya, mengingat kenangan indah yang hampir ia lupakan, dengan sigap Brian menyeka air mata itu dan memeluk erat tubuh istrinya.
Dua tahun berlalu, tapi rindu ini masih membekas bagi dua orang yang saling menguatkan satu sama lain dengan sikap dingin yang mereka tunjukkan sebagai bentuk menutupi rasa sedih mereka. Seribu maaf terus mereka ucapkan untuk Aidan dan Zavin atas semuanya yang mereka lakukan yang masih belum pantas di sebut sebagai orang tua.
Dimas yang meihat dua insan yang saling berpelukan di balik kaca remang remang di sela pintu rawat itu, mengepalkan tangannya kuat.
" Kenapa kalian menyesal saat dia sudah tiada, kenapa saat dia masih ada kalian tidak meminta maaf." Cicit Dimas mengutarakan semua keluhan yang selama ini ia tahan.
Jujur, Dimas kecewa sekaligus sedih pada mereka serta pada dirinya sendiri yang hanya diam memilih menutup mata tanpa mengulurkan tangan pada Aidan saat remaja itu berada dalam kesulitan membutuhkan sebuah pertolongan.
Mata Dimas beralih menatap ke arah laki laki yang berdiri di sampingnya dengan tangan menyilang di depan dada dan mata memejam. Laki laki yang dijuluki sebagai anjing penjilat Dirgantara karena sikap patuhnya yang tak peduli jika nyawanya menjadi taruhan.
" Arjuna jika nanti kamu memiliki keluarga jangan menjadi seperti mereka.''
Arjuna terkekeh. '' Saya tak akan menjadi seperti mereka dan saya tak akan menjalin hubungan dengan wanita manapun.''
'' Haha, apa kamu bisa membuktikannya?'' Tantang Dimas tersenyum miring. '' Aku yakin om Septian tak akan membiarkanmu terus melajang, Arjuna.''
Arjuna membisu, ia memang tak main main dengan ucapannya, yang tak ingin menjalin hubungan dengan wanita mana pun dan ingin terus melajang, mengabadikan sisa hidupnya untuk keluarga Dirgantara yang telah menyelamatkan nyawanya, tapi apa yang Dimas ucapkan benar, Septian tak akan membiarkan dirinya terus sendirian, dan Arjuna yakin sekarang laki laki paruh baya itu sudah mencarikan pasangan untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINTIK PILU
Teen Fiction'' TUHAN, TOLONG BANTU AKU MEMBUNUH PERASAAN INI." ***** Menjadi permata pengganti bukanlah perkara mudah hingga Zavin lambat laut kehilangan siapa dirinya. Sungguh hidup Zavin selama dua tahun terakhir setelah kejadian itu hanyalah mononton selayak...