Bab 2

4.7K 261 0
                                    


Hujan deras mengguyur tanpa ampun, membasahi tubuh Albert dan Karin yang terduduk bersimpuh tak berdaya di atas aspal hitam. Lima orang preman bertubuh tegap berjalan maju mendekat, salah satu dari mereka membawa payung merah marun. Pria berpayung itu menyeringai puas, tatapannya tertuju pada tubuh Albert yang kini tergeletak lemah.

"Tidak ada yang bisa melawanku, Karin. Harusnya ayahmu tahu itu," ucapnya, suaranya melawan deru hujan yang mengguyur.

Dia mendekat, menatap Karin yang menangis histeris. "Jika sejak awal ayahmu setuju menyerahkanmu padaku, dia tidak akan mati sia-sia."

Karin memeluk tubuh ayahnya yang bersimbah darah, tangisannya semakin keras saat melihat kesadaran Albert perlahan memudar. Tapi ia tak berdaya.

"Sekarang kau milikku," ujar pria berpayung itu dengan nada dingin. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya. Empat preman melangkah maju, siap menyeret Karin dari sisi ayahnya.

Karin meronta, berteriak melawan, tetapi tenaganya tak cukup untuk menandingi kekuatan mereka. Tepat saat tangan-tangan kasar itu hendak menyentuhnya, seekor anjing hitam besar muncul dari balik bayangan hujan.

Anjing itu menggeram pelan, menunjukkan gigi-giginya yang tajam dengan air liur yang menetes deras. Matanya hitam legam, penuh ancaman. Langkahnya perlahan mendekat, setiap gerakan dipenuhi aura bahaya.

Para preman segera siaga. Salah satu dari mereka mengarahkan pistol, berharap anjing itu mundur. Tapi sia-sia. Anjing itu tidak menunjukkan rasa takut. Sebaliknya, ia terus melangkah maju, geramannya semakin keras.

Karin memalingkan wajah dari anjing itu. Dia tak peduli apa yang terjadi, satu-satunya yang ia inginkan hanyalah memeluk tubuh ayahnya, meski kehangatan hidup dari tubuh itu perlahan menghilang.

Sementara itu, pria berpayung mulai tampak gelisah. Tatapannya terpaku pada anjing hitam yang semakin mendekat. Ia memperhatikan dengan seksama, hingga pandangannya jatuh pada sebuah kalung yang melingkar di leher anjing itu. Inisial huruf K terukir jelas pada liontin kecil yang menggantung di sana.

Pria itu membeku sejenak. Wajahnya yang tadinya penuh percaya diri kini berubah ketakutan. Dia melempar payungnya dan berbalik, lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Anak buahnya saling pandang kebingungan, namun akhirnya ikut berlari, meninggalkan Karin dan anjing hitam itu di tengah hujan.

Keheningan sesaat menyelimuti. Suara hujan yang deras menjadi satu-satunya yang terdengar. Anjing hitam itu mendekati Karin, geramannya hilang berganti tatapan lembut. Karin yang masih terisak perlahan mengangkat kepalanya, menatap anjing itu dengan penuh kehati-hatian.

Sorot mata anjing itu, meski hitam legam, terasa anehnya tidak menyeramkan. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang membuat Karin tak mampu berpaling. Sebuah firasat yang menggetarkan hatinya.

* * *

"Ibu, ini apa?" Karin menunjukkan foto tanda di lehernya yang diambil Elsa tadi siang.

Laksita, yang semula berbaring malas di ranjangnya, mendadak bangkit. Tatapannya berubah serius saat melihat foto itu. Dia lalu meminta Karin menyibakkan rambutnya. Tangannya yang kurus menyentuh tanda kecil itu, mengamatinya dengan saksama.

Sejak Albert meninggal, Laksita lebih banyak diam. Seakan kehilangan semangat hidup, dia jarang berbicara, apalagi berinteraksi dengan Karin, anak semata wayangnya. Namun, melihat tanda itu, ingatan tentang Albert dan ucapan Katon di hari kelahiran Karin kembali menghantui pikirannya.

"Ini... inisial namamu," kata Laksita dengan senyum pahit. "Ibu dan Ayah mengukirnya dulu."

Karin mengerutkan kening, bingung. "Kenapa baru muncul sekarang?"

The Devil's Love Trap [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang