Bab 18

2K 114 0
                                    


"Kapan kamu akan menikah?" tanya Serena, setelah Karin mempersilahkannya duduk.

Hari ini Serena menyempatkan diri untuk datang ke asrama Karin, karena dia baru saja berbelanja di tempat yang berdekatan dengan asrama Karin. Walaupun terkejut dengan kedatangan Serena yang mendadak, namun Karin tetap menyambutnya seramah mungkin.

"Aku tidak tahu," jawab Karin singkat, sibuk menata barang-barangnya yang berserakan, "Serena, ada perlu apa kamu kemari?" tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Oh iya," Serena mengambil sesuatu dari tas belanjaannya. Lalu dia memberikan sebuah bingkisan kecil, "Bukalah. Ini khusus aku pilihkan untukmu," pinta Serena penuh semangat.

Karin menerima bingkisan itu dengan hati-hati, "Scrunchies?"

Serena mengangguk senang, "Warnanya sangat cocok denganmu. Aku sengaja membeli banyak biar bisa dipake gantian,"

Karin mengucapkan terima kasih paling tulus lalu memasukkannya ke dalam laci meja. Air mata mendadak menggenangi matanya. Dia berusaha menyembunyikannya dari Serena, namun perempuan itu sangat peka dengan tindak-tanduk Karin.

"Ada apa?" Serena memegang kedua pipi Karin, berusaha menghapus air matanya, "Karin, ada apa?" ulangnya.

Karin menggeleng dengan air mata yang sudah membanjiri pipinya, tak bisa dibendung lagi, "Aku hanya terharu, sudah lama tak ada yang memberiku hadiah,"

"Ini hanya hadiah kecil." timpal Serena, "Aku di sini sendirian, puluhan tahun sendirian. Dan aku sudah menganggapmu sebagai adikku. Aku senang Katon memilih gadis sepertimu untuk menjadi istrinya,"

Serena berkali-kali mengusap air mata di pipi Karin yang seperti enggan berhenti mengalir. "Aku tidak suka dengan Stefani. Dia terlalu angkuh dan yang pasti karena dia bukan manusia seperti kita,"

Karin berusaha melepas genggaman tangan Serena menjauh dari pipinya, "Tapi Katon mencintai Stefani ... "

Serena mengangguk, "Tapi Katon tidak bisa melawan takdirnya, kan?"

"Tapi Katon memilihnya," sahut Karin cepat dengan nada meninggi, "Dia memilih Stefani daripada aku,"

Serena yang semula masih tenang perlahan menurunkan genggaman tangannya di pipi Karin. Wajahnya berubah sendu dengan tatapan nanar ke arah lantai kamar Karin. Dia tak lagi bicara, hanya kembali duduk ke tempat yang sudah disediakan Karin. Entah apa yang dipikirkan Serena, tapi sepertinya dia tak menyangka hal ini akan terjadi pada Karin.

"Apapun yang terjadi ... " Serena kembali berdiri. Kali ini dia menggenggam kedua tangan Karin erat dengan mata yang penuh simpati. "Aku selalu ada untukmu kapan pun kamu butuh teman dan bantuan. Karena kita di sini sama-sama manusia Alfansa yang tak bisa kembali,"

Tangis Karin tak terbendung lagi. Dia hanya bisa meraih pelukan hangat dari Serena dan menangis dalam pelukannya. Dia menangis tersedu, mengingat segala kemalangan yang terjadi padanya. Ayahnya, ibunya, dan semua hal di Alfansa yang telah tertinggal di belakang. Tapi nyatanya di sini dia juga tetap tak bisa mendapatkan kebahagiaan.

* * *

"Mau kuantar?" Hendery sengaja menghentikan mobilnya tepat di samping Karin yang sedang dalam perjalanan ke sekolah.

Karin hanya menatapnya sekilas, tampak tak minat, "Tidak usah," Karin meneruskan perjalanan tanpa sedikit pun menoleh pada Hendery.

Sedangkan Hendery yang menerima penolakan bukannya kecewa atau marah, justru makin terpacu adrenalinnya. Dia melaju lambat, sengaja menyandingkan laju mobilnya dengan langkah kaki Karin hingga gadis itu tampak muak.

"Ada apa lagi?" gerutu Karin tak senang. Dia sampai menghentikan langkahnya demi untuk mengomeli Hendery, "Kamu duluan saja,"

Hendery tersenyum menggoda, "Bagaimana kalau ada yanh menggodamu?"

"Tidak ada," pungkas Karin masih muak. "Sebenarnya apa maumu?" Dia melipat tangannya, menghadap langsung ke arah mobil Hendery.

Kedua tangan Hendery bertumpu pada jendela mobil yang terbuka, "Aku Hendery Damon, seharusnya kamu sudah tahu,"

"Karin?" Tanya, yang entah dari mana tiba-tiba muncul dan keheranan melihat Karin sedang mengobrol berdua saja dengan Hendery.

Melihat kehadiran Tanya, Hendery mulai melambaikan tangan dan menancap gas pergi. Tak lupa dia mengerlingkan mata menggoda pada Karin, walaupun Karin hanya membalas dengan tatapan datar tak senang.

"Kamu kenal dia?" tanya Tanya heran.

"Dia teman Erna," Karin kembali berjalan menuju sekolah.

"Kamu tahu kan kalau dia Hendery Damon?" Tanya bertanya memastikan. "Dia salah satu kasta tertinggi di sini. Dan dia satu-satunya bangsawan iblis Damon yang hingga sekarang belum menentukan calon pengantin,"

Mereka berdua memutuskan untuk berjalan bersama ke sekolah.

"Dari mana kamu tahu?"

"Kabar ini sudah banyak didengar, Rin. Banyak yang mengincar Hendery tapi dia lebih susah digapai daripada Katon. Setidaknya Katon punya Stefani, tapi Hendery tidak pernah pacaran sama siapapun" lanjut Tanya. "Walaupun sikapnya seperti itu, tapi hanya dia lawan yang sebanding untuk Katon,"

Mendengar nama Katon dan Stefani membuat suasana hati Karin berubah mendung, namun dia berusaha untuk menepisnya. Sudah sebulan lebih dia tak mendengar kabar apapun dari Katon. "Lawan?" tanyanya.

Tanya mengangguk antusias, "Kata para cowok, mereka pernah bertarung dan hasilnya seimbang. Baik Katon atau Hendery sama-sama tumbang,"

"Kenapa mereka bertarung?"

Tanya mengangkat bahu, "Mungkin karena sikap Hendery yang kekanakan dan bikin Katon kesal?" tebak Tanya lebih pada dirinya sendiri.

* * *

Erna melambaikan tangan, mengisyaratkan pada Karin letak tempat duduk mereka di kantin. Seperti biasa saat jam istirahat seluruh tempat duduk kantin akan terisi penuh, sehingga sulit untuk bisa mendapatkannya. Dan beruntung Karin tak perlu bersusah payah mengantri karena Erna dan oh, ada Hendery juga, sudah mencarikan kursi khusus untuk Karin.

"Makasih ya Hendery, sudah mencarikan kursi buatku," celetuk Hendery dengan senyuman manis pada Karin. Dia sengaja mengucapkan itu untuk dirinya sendiri.

"Makasih," balas Karin.

Hendery menggeleng dan mulai menggeser kursinya untuk berada lebih dekat pada Karin, "Tidak perlu, Rin. Semua orang di sini sudah tahu kalau tempat ini milik Hendery Damon, penguasa kantin Sofia," pongahnya dengan dada membusung. Entah bercanda atau tidak, namun celetukan konyol itu justru bisa membuat Karin tertawa kecil.

Saat Hendery berhasil membuat Karin berkali-kali tertawa, sosok Katon mendadak lewat di samping meja mereka. Tatapannya mendelik, melirik Karin dan Hendery bergantian dengan sorot matanya yang hitam legam.

"Kenapa dia di sini? Biasanya dia tidak pernah ke sini," gerutu Hendery setelah Katon berlalu. Dia terus menerus menggerutu, lalu tiba-tiba tersentak, "Permisi, Karin ... " Hendery spontan menyibak rambut panjang Karin dan melihat tengkuknya.

"Hei, apa yang kamu lakukan?!" Erna menyentak tangan Hendery yang masih menyibak rambut Karin.

Hendery hanya menurut saja saat Erna menyuruhnya untuk berhenti. Dia memandangi Erna dengan tatapan akan-kuberitahu-nanti tapi sepertinya Erna tak paham. Dia membalas tatapan Hendery dengan gerutuan panjang.

"Maaf kalau aku lancang, Rin," ucap Hendery dengan senyumnya.

Karin mengangguk, "Kamu ingin melihat tato itu?"

"Tatonya masih ada?" Erna tiba-tiba tersentak kaget. "Bukankah dia sudah mencampakkanmu?"

"Maksudmu?" Karin tidak paham.

Erna memajukan kursinya untuk semakin dekat dengan Karin, "Rin, kalau seorang bangsawan iblis sudah mencampakkanmu, tato nama mereka akan hilang dari tubuh." jelasnya. "Seperti punyaku, sekarang sudah hilang," Erna menunjukkan tulang selangkanya yang bersih dari tato.

"Aku tidak tahu tato itu masih ada atau tidak,"

"Masih ada," sahut Hendery cepat, tentu saja dengan senyum di wajahnya.

The Devil's Love Trap [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang