Setelah melewati 14 hari yang lelah dan menegangkan di rumah sakit, akhirnya hari ini Rama mengijinkan Katon untuk pulang ke rumah. Serena sudah sejak pagi membantu Karin mengemasi keperluan yang harus dia bawa pulang, dan Ken memilih untuk menemani Katon duduk berdua di taman yang terletak tepat di depan ruang inap Katon. Semenjak kepergian Deswita, Ken dan Katon lebih banyak menghabiskan waktu berdua, merenung dan meratapi nasib sial sang kakak sulungnya itu.Deswita pergi bukan karena hal tragis, namun kematian datang menggerogoti usianya yang menua sebagai makhluk fana. Keputusan Deswita dan Albert untuk menjadi manusia berakhir menyedihkan.
"Apa yang dilakukan Deswita sekarang?" Ken membuka percakapan sambil menyesap rokoknya.
"Yang pasti kita tak akan bisa menemuinya lagi,"
"Apa kamu menyesal? Menikahi Karin?"
Katon menggeleng. "Dendamku sudah terbayarkan. Tapi satu hal yang tak kusangka, aku mencintainya,"
Ken tersenyum simpul. "Sejak awal kamu memang sudah mencintainya. Kalau tidak, kenapa kamu mau menukar calon istrimu yang berharga demi sebuah pembalasan?"
"Lalu apa yang akan kamu lakukan pada Stefani?" lanjut Ken.
Dia mendengar dari Rama tentang kemarahan Stefani tempo hari, karena James melarangnya masuk menemui Katon.
"Aku mencintai Stef, dan tak berubah ... " sahut Katon. "Tapi aku lebih mencintai istriku,"
Ken menepuk pundak Katon beberapa kali. "Tapi bukan hal yang mudah untuk membuat Stef mengerti,"
"Ken?" panggil Serena.
Kepalanya muncul dari dalam ruangan, memanggil Ken dengan suara yang pelan namun bisa ditangkap oleh telinga Ken dengan jelas.
Ken segera bangkit berdiri dan menghampiri Serena. Katon memandangi Ken dan istrinya dengan tatapan nanar, kembali mengingat perjuangan Ken dan Serena yang mirip dengannya. Melangsungkan pernikahan tanpa cinta.
"Katon, semua sudah siap," ajak Ken.
Katon mengangguk, namun dia justru masuk kembali ke dalam ruangan untuk mencari Karin. Di sana dia melihat Karin masih sibuk menggumamkan sesuatu sambil pandangannya mengitari setiap sudut ruangan.
"Ada apa?" tanya Katon.
"Aku ingin memastikan tidak ada yang ketinggalan,"
Katon tersenyum geli melihat tingkah Karin. "Kalau ada yang ketinggalan, pasti akan diambil James,"
Katon meraih tangan Karin, lalu menuntun istrinya itu untuk segera pergi meninggalkan ruangan karena semua sudah menunggu.
"Kalian tidak ikut kami ke rumah?" tawar Karin pada Serena dan Ken yang justru pamit pulang setelah selesai membantu Karin.
Serena tersenyum genit. "Masa kami mau mengganggu pengantin baru?"
Wajah Karin memerah mendengar ucapan Serena.
"Kami pulang dulu," pamit Ken. "Katon, jaga Karin baik-baik,"
Setelah mengucapkan salam dan melambaikan tangan, Ken dan Serena masuk ke dalam mobil mereka dan melaju pergi.
Kini tinggal Ken, Karin dan juga James, yang atas ajakan James, Ken dan Karin segera masuk juga ke dalam mobil mereka. James tersenyum menatap Karin dari balik spion tengah. Karin hanya bisa mengerutkan kening, tak paham dengan maksud senyuman James.
"Apakah Tuan menginginkan sesuatu?" tanya James.
"Aku dan Karin akan makan siang di rumah,"
James mengangguk. "Baik, Tuan,"
Pandangan Katon beralih pada Karin. "Kamu mau makan apa?"
Karin tak segera menjawab, melainkan masih berpikir. Dia tahu suaminya bisa mewujudkan apapun makanan yang sedang ingin dia makan, maka Karin tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Karena bisa saja, setelah ini Katon akan kembali ke pelukan Stefani, dan dia tak lagi punya waktu bermesraan dengan suaminya itu.
"Bilang saja, Rin. Tuan bisa mewujudkan makanan apapun, sesuai lidahmu. Bahkan masakan ibumu, Laksita,"
Karin tertegun mendengar penjelasan James, seraya menoleh ke arah Katon. Suaminya itu mengangguk mengiyakan, dengan bola mata hijau zamrud yang sangat indah.
"Apakah aku bisa mendapatkan sup merah buatan ayahku?" tanya Karin ragu.
Katon dan James saling pandang melalui spion tengah. Mereka berdua tentu kaget, mengingat sup merah yang berbahan dasar tomat itu adalah masakan andalan Albert, yang merupakan favorit Deswita.
"Apa itu sup favoritmu juga?" tanya Katon.
"Juga?"
"Deswita juga menyukainya," jawab Katon. "Sup merah buatan Albert,"
Mendengar nama Deswita membuat perasaan Karin berubah sendu. Wanita yang sejatinya dicintai oleh ayahnya. Wanita yang merupakan kakak tertua Katon.
* * *
"Aku tidak bisa lama!" tukas Erna, lalu meletakkan roti kukus hangat ke meja sebelah ranjang Hendery.
Melihat makanan hangat itu, membuat perut Hendery melolong minta diisi. Dia sengaja meminta Erna membelikannya, karena tahu gadis itu pasti menjenguknya. Tak pernah melewatkan sehari pun tanpa menjenguk Hendery.
Hendery sudah tak bisa membaca pikiran Erna, namun instingnya tetap kuat untuk membaca gerak-gerik Erna.
"Kamu punya pacar?" tebak Hendery.
Erna menautkan alis. "Belum, tapi dia anaknya baik,"
"Si bangsawan rendahan itu?"
Erna memicingkan matanya tak senang. "Jangan panggil dia seperti itu. Dia namanya Edo,"
Hendery mengangguk, tampak meremehkan. "Kamu mau kencan dengannya?"
"Aku mau nonton dia main bola,"
Membuncahlah tawa Hendery mendengar ucapan Erna. Bahkan roti yang sudah ditelannya menyembur keluar, disertai tawa keras menggelegar khas Hendery.
"Main bola? Bah! Hanya kasta rendahan yang main bola,"
"Aku tak peduli! Yang jelas dia lebih baik dan ramah daripada kamu," Erna menjulurkan lidahnya, lalu melengos pergi tanpa pamit, meninggalkan Hendery yang mendadak membisu.
* * *
"Semoga ini mirip dengan buatan Albert," ucap Katon, setelah dalam satu kedipan mata, semangkok sup merah hangat sudah ada di hadapan Karin.
Tak terasa air mata menggenang di pelupuk mata Karin, yang memakan sup itu sesuap demi sesuap. Tak ada respon yang keluar, hanya tangisannya yang makin mengalir.
Katon tersenyum. "Habiskan," ucapnya. "Kamu bisa memintaku kapan saja,"
Karin tak menjawab. Tangisannya berubah makin keras, seiring kepedihan hatinya yang mulai mengetahui tabir yang menyelimuti ayahnya selama ini. Karin merindukan Albert, ayahnya.
Karin pelan-pelan masuk ke dalam kamar setelah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian tidur. Dia melihat Katon yang sedang duduk di atas kasur, sambil menatap Karin tak berkedip. Karin pun salah tingkah. Tubuhnya kaku dan bingung harus berbuat apa, dan tanpa sadar menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kemarilah. Ayo tidur bersamaku," ajak Katon, menggeser sedikit posisinya untuk memberi ruang pada Karin.
Meski mereka sudah menikah beberapa bulan lamanya, namun ini kali pertama Karin dan Katon tidur dalam satu ranjang sebagai suami istri.
Katon mulai membelai rambut Karin, merapikan anak rambutnya yang sedikit berantakan. Lelaki itu menelusuri tiap tekstur dan goresan yang ada di wajah Karin, membuat jantung Karin berdegup kencang.
"Maafkan aku ... " bisik Katon.
Karin menempelkan jarinya di bibir Katon. "Sudah. Jangan minta maaf terus menerus. Aku sudah memaafkanmu bahkan sebelum kamu minta maaf,"
Katon mengulum bibir Karin, dalam dan lama. Malam ini, malam yang sangat dinantikan Karin. Berdua saja bersama Katon, berusaha menyusun kembali momen indah awal pernikahan yang sempat mereka lupakan. Setelah semua kejadian tragis dan melelahkan yang menimpa mereka berdua.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil's Love Trap [END]
FantasyMenikah atau ibunya mati. Karin harus memilih salah satu. Katon Bagaskara telah menandainya sebagai calon pengantin, semenjak Karin masih dalam kandungan ibunya. Dan kini, demi menyelamatkan hidup sang ibu, Karin terpaksa pergi meninggalkan kehidup...