Bab 32

1.9K 111 0
                                    

Erna membelalak sangat lebar mendengar tawaran kerjasama dari Hendery. Lelaki itu masih menyeringai, sangat sabar menunggu respon dari Erna yang tak kunjung datang. Mereka berdua sedang berdiri sangat dekat di pinggir pagar rooftop, saling menatap namun terdiam.

"Bagaimana?" Akhirnya Hendery membuka suara. Andaikan dia masih membuka pikiran Erna, tanpa butuh jawaban dia pasti sudah tahu apa yang dipikirkan Erna.

"Kamu benar-benar gila ya," Itu tanggapan yang keluar pertama kali dari mulut Erna.

"Aku tidak menyuruhmu membunuh Karin, kan?" Hendery bertanya enteng. "Kamu hanya ... membantuku menjebaknya. Karena sekarang pasti dia tak akan datang saat kupanggil,"

Erna melotot tajam pada Hendery. "Aku memang iri padanya, tapi pikiranku masih waras,"

"Waras? Kamu rela mati sendirian enam bulan lagi demi kewarasanmu?" Hendery menyunggingkan separuh senyum. "Setidaknya kamu tidak mati sendirian sebagai orang yang dicampakkan," bisik Hendery.

Erna melengos pergi begitu saja tanpa memberikan keputusan. Dia melenggang menuju pintu keluar karena bel telah berbunyi.

"Aku beri kesempatan untuk berpikir," teriak Hendery. "Tapi aku tahu kamu akan kembali,"

* * *

Erna hendak menghampiri Karin yang sedang berjalan sendirian sepulang sekolah, namun belum sempat dia melangkahkan kakinya, Aldo dan Rama sudah datang berdiri di samping kanan kiri Karin layaknya malaikat pelindung. Erna mengurungkan niatnya. Dia menatap nanar dengan bibir melengkung. Dia tak menyangka semua lelaki amat melindungi Karin.

"Kok sendirian?" tegur Tanya, berdiri di samping Erna dengan muka mengejek. "Mana Karin?"

"Pulang duluan," Erna berjalan sangat cepat berusaha menghindari Tanya.

"Kamu sekarang ditinggal ya. Haha!" ejek Tanya senang. "Makanya, siapa suruh berteman dengan pengantin Katon? Kalau kamu sejak awal tidak sombong dan mau membaur dengan kita, kamu tidak akan sendirian seperti ini,"

Erna melirik Tanya kesal. "Yakin kamu mau menemani orang yang dicampakkan sepertiku?"

Tanya mengangkat bahu. "Ya kalau kamu berguna, tidak masalah,"

"Dasar wanita ular!" umpat Erna sangat kesal. Dia berlari menuju asrama, tak ingin mendengar celotehan basi dari Tanya.

* * *

Erna terdiam merenung di dalam kamar asramanya, melewatkan makan malam dan hanya duduk tak bergerak di atas ranjang. Dia menatap kosong langit melalui jendela yang tepat ada di samping ranjangnya. Tiba-tiba rasa rindu merasuk di hatinya. Rindu akan Alfansa, rindu akan orang tuanya dan bahkan rindu pada kebersamaannya dengan Karin. Erna masih sangat ingat bahwa Karin pernah berjanji akan membantunya mendapatkan calon suami. Namun enam bulan terakhir yang dilakukan Erna hanyalah mendengarkan keluh kesah Karin tentang Katon, seakan Karin lupa akan janjinya sendiri. Tanpa terasa waktu sudah berjalan setengah tahun, tapi belum ada tanda seseorang akan menjadikan Erna calon pengantin.

"Halo, ini aku ... " Erna memutuskan menghubungi Hendery. "Apa tawarannya masih berlaku?"

Erna menutup ponsel, kembali merenung menatap langit. Hari ini tak ada bintang yang satu pun terlihat, sama seperti masa depan Erna yang belum menemukan titik terang. Haruskah dia mati seperti ini? Mati tanpa menemukan cintanya.

Tok! Tok!

Suara pintu kamar Erna diketuk ketika jam menunjukkan pukul 20.11. Erna mengerutkan kening, merasa tak punya siapapun untuk menjadi tamunya selain Karin. Namun Karin tentu tak mungkin datang sendiri ke asrama. Pintu itu diketuk makin kencang karena Erna tak segera merespon. Dia pun beranjak dari ranjangnya, pelan-pelan membuka pintu dan mengintip siapakah orang yang mengunjunginya.

"Hendery?!!" Erna spontan membuka pintu lebar-lebar saat tahu Hendery sedang melambaikan tangan di depan kamarnya. Lelaki itu menerobos masuk tanpa diminta.

"Kenapa lama buka pintunya?!" omel Hendery.

"Aku tidak tahu kamu akan datang. Lagipula, darimana kamu tahu kamarku?"

"Kamu lupa aku siapa?" Hendery kembali mengomel. Kali ini dia tanpa izin membuka kulkas Erna, mencari-cari minuman.

Erna masih memandangi Hendery tak percaya. Baru beberapa menit mereka mengobrol via telepon, dan sekarang lelaki itu sudah ada di dalam kamarnya.

"Kenapa kamu ke sini?" tanya Erna kebingungan.

Hendery yang telah berhasil menemukan sekaleng minuman segera membuka dan meneguknya cepat. Dia bahkan merebahkan diri ke ranjang Erna yang tak cukup menampung kaki panjangnya.

"Kurasa ini tempat persembunyian baruku," gumam Hendery.

Erna melotot. "Apa? Ini kamarku! Dan bagaimana kalau para cewek tahu? Mereka juga iri karena kita sering terlihat bersama,"

Seperti biasa Hendery menyeringai. "Tapi kamu tetap dicampakkan tanpa ada seorang pun yang memberimu tato. Jadi tak ada alasan bagi mereka untuk iri," ucap Hendery enteng.

Erna terdiam dengan muka cemberut. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan duduk di kursi sambil menggerutu tak jelas. Meski dia kesal pada Hendery, namun dia cukup senang karena hari ini terasa begitu melelahkan bagi Erna tanpa seorang pun teman.

Hendery masih asik merebahkan diri sambil memandangi bintang dari jendela kamar Erna. "Ternyata malam bisa seindah ini,"

Erna mengerutkan kening. "Memangnya kamu tidak pernah lihat langit malam?"

"Aku tidak pernah tidur sambil memandangi langit malam," jawab Hendery dengan mata tak teralihkan dari langit hitam malam ini.

Erna mondar-mandir mencari tempat untuk duduk santai, karena di kamarnya tak ada sofa layaknya di kamar Karin. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk santai di lantai beralaskan karpet yang sengaja dia pasang di depan TV. Kamar Erna tak besar. Hanya berbentuk persegi dengan satu kamar mandi dalam. Meski begitu, semua bisa mendekorasi kamar mereka sesuai dengan keinginan. Namun Erna tak pernah ingin banyak hal. Bahkan hal itu juga dia realisasikan pada kamarnya yang minim perabotan.

"Aku tidak pernah minta banyak hal," ucap Erna. "Aku hanya ingin tetap hidup dengan suami yang mencintaiku. Bahkan jika aku harus menikah dengan bangsawan rendahan yang tidak punya kekuatan, aku tetap terima. Asalkan aku bisa hidup dan dicintai,"

Hendery melirik Erna dengan tubuh masih berbaring di atas kasur.

"Kenapa?" tanyanya. "Kenapa kamu tidak ingin bangsawan seperti Katon?"

Erna tertawa. Dia mengambil sekaleng minuman dari dalam kulkas. "Tak semua orang bernasib mujur seperti Karin, kan?"

"Kamu pikir Karin beruntung?"

"Tentu saja! Dia menikahi Katon dan punya dua bodyguard," timpal Erna. "Sedangkan aku, satu pun tak ada yang menginginkan atau melindungiku,"

Dengan satu kedipan mata dari Hendery, tubuh Erna tiba-tiba kaku dan bergerak sendiri mendekat ke arah Hendery. Erna panik, tapi dia tak punya kendali atas tubuhnya. Tubuh itu tiba-tiba sudah duduk di tepi kasur.
Hendery melingkarkan lengannya ke leher Erna.

"Kamu mau menghabiskan malam denganku?"

The Devil's Love Trap [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang