EPILOG

3.2K 127 4
                                    

Segalanya telah berubah. Dan harus berubah. Karin tak perlu diingatkan akan hal itu, karena dia cukup tahu diri. Segala kengerian yang terjadi dua hari yang lalu, membuatnya sadar jika hidupnya tak akan pernah tenang di sini. Menjadi pengantin bangsawan iblis tertinggi memang bukan pilihannya, namun Karin tahu, dia tak bisa menghindari takdirnya sendiri.

Dan hari ini adalah hari terakhir baginya. Bukan hari terakhir untuk hidup, tapi hari terakhirnya untuk belajar di sekolah Sofia, karena Katon tak ingin hal mengerikan itu terjadi lagi, meski Stefani kini sudah menghilang selamanya.

"Aku janji, aku tidak lama," Karin mengacungkan jari kelingkingnya.

Katon tampak menolak. "Aku tetap harus ikut,"

"Aku harus menyerahkan surat ini pada kepala sekolah,"

"Ya. Dan aku ikut,"

"Tak perlu, Katon,"

"Kenapa?" tanya Katon curiga. "Apa kamu mau menemui seseorang lagi?"

Karin buru-buru menggeleng. Namun dia juga tak hendak menjawab. Ekspresinya kikuk, nampak bingung menyusun kata-kata.

Katon pun mendekatkan wajahnya, sedikit mengangkat dagu Karin, supaya bibir mereka bisa saling beradu.

"Pilihannya hanya, aku ikut, atau kamu tak pergi kemana-mana dan hanya melayaniku,"

Wajah Karin bersemu merah, mendengarkan godaan penuh muslihat dari suaminya. Maka dia tak punya pilihan, selain mengizinkan suaminya untuk ikut menemani ke sekolah. Karin akan mengundurkan diri sebagai siswi, dan mulai menjalani kehidupan normalnya sebagai istri dari seorang Katon Bagaskara.

Tak seperti biasanya, hari ini sekolah nampak lebih lengang dan kosong, bahkan ketika mereka tak sengaja melihat Katon Bagaskara yang lewat dengan menggandeng tangan Karin. Tak ada desas-desus, tak ada dengungan lebat penuh rasa penasaran, seperti yang sudah-sudah. Semua tampak membisu, memalingkan muka dan menunduk. Kabar hilangnya Stefani menjadi debu tentu telah didengar oleh semua orang, dan seorang bangsawan iblis tak bisa mati, kecuali dibunuh oleh sesamanya sendiri.

"Apa kamu menyesal? Kehilangan Stef," tanya Karin, ketika mereka berdua berjalan beriringan di koridor menuju ruang kepala sekolah.

Katon menyiratkan senyum tipis. "Kupikir, ini semua adalah akhir yang indah untuk Stef. Setidaknya dia tak perlu melihatku hidup bersamamu,"

Karin melirik Katon, untuk beberapa waktu yang lama, seakan mencari raut kesedihan di sana. Tapi mata hijau zamrud itu tetap indah, tak berubah legam. Dan Karin pun yakin, Katon tak berbohong padanya.

***

Tak seperti Karin yang berakhir bahagia, Erna selalu mendapatkan hal sebaliknya. Segalanya runyam, dan kini dia sendirian sesuai keinginannya. Dia sendirian tanpa teman, dan hanya menunggu gilirannya untuk mati. Bahkan ketika dia berusaha menatap langit untuk mencari jawaban, langit pun tampak kosong, tak biru atau bahkan bertekstur putih. Benar-benar kosong, kelabu dan kelam seperti hatinya.

Erna berdiri di pinggir atap, tempatnya biasa bersembunyi, sambil sesekali memastikan berapa meter jaraknya dengan tanah di bawah. Erna pikir, tak ada salahnya mencoba. Ya, tak ada salahnya jika dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri, toh tak ada siapapun yang akan menangisinya.

Satu kaki hendak dia naikkan, tapi Hendery tiba-tiba muncul, mengunyah apel kesukaannya tanpa beban. Erna tahu, Hendery pasti senang dan sangat menunggu momen ini. Seakan Hendery siap menjadi satu-satunya saksi mata yang menyaksikan hilangnya nyawa Erna secara langsung.

"Kamu tahu, kan, tempat ini juga tempatku? Aku tidak mau tempat ini berhantu karenamu," seloroh Hendery, santai. Dia terus mengunyah apelnya, yang membuat Erna sangat risih dan ingin segera membuang jauh apel itu.

"Percuma aku hidup. Sebentar lagi juga akan mati," Erna menatap nanar pemandangan di bawahnya. "Aku terlalu malu untuk datang ke asrama, atau pun bertemu orang-orang di sekolah,"

Hendery melipat bibirnya. "Apa kamu sudah menyerah mencari suami?"

Erna tertawa, berusaha sangat keras membuat hatinya baik-baik saja. "Tak ada yang menginginkanku, Hen. Harusnya aku tahu diri,"

"Siapa bilang?" sambar Hendery cepat.

Kemudian lelaki itu membuang apelnya ke sembarang arah, dan mulai berjalan cepat ke arah Erna. Secara tiba-tiba, Hendery sedikit membuka kerah seragam Erna, dan mengecup tulang selangkanya. Dan terteralah tato dengan inisial H di sana.

"Kamu milikku sekarang," tandas Hendery, singkat namun sangat kuat hingga membuat Erna membisu tak bergerak.

-END-

The Devil's Love Trap [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang