Bab 56

1.7K 116 1
                                    

“Berhenti menghasutku!! Aku tidak akan luluh kali ini,” sergah Erna, kesal luar biasa setelah mendengar pengakuan Hendery.

“Kapan aku pernah menghasutmu? Kamu sendiri yang bersedia menolong Karin di hutan terlarang,” Hendery balik bertanya. “Aku memberitahumu, karena jika sampai Katon tahu ini semua ulahmu, dia tidak akan membiarkanmu hidup,”

“Memang aku sebentar lagi mati,” dalih Erna, sama sekali tak terpengaruh.

Klik! Dia memutus sambungan, tak peduli jika Hendery masih punya seribu topik yang ingin dia pakai untuk membujuk Erna agar berhenti. Tapi satu hal yang pasti, ketika Erna mengarahkan matanya ke tempat Karin, temannya itu sudah tidak ada di tempat. Justru Tanya tiba-tiba muncul dengan raut puas di depan Erna.

“Harus kuakui, ternyata kamu ada gunanya juga,” komentar Tanya, tersenyum licik sekaligus meremehkan.

“Dimana Karin?”

“Justru itu aku ke sini karena ingin mengajakmu menemuinya,” sahut Tanya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan telinga Erna. “Stefani sudah memasang segel agar para pelindung Karin tidak bisa masuk,”

Tanya dan Erna, berduaan pergi diam-diam menuju sebuah tempat yang telah ditunjuk Stefani untuk menghabisi Karin. Mereka menuju sebuah gudang lusuh yang letaknya cukup jauh dari sekolah, yang jika ditempuh dengan mobil berjarak sekitar 10 km dari sekolah. Gudang itu sangat terbengkalai dan tampak sepi tak berpenghuni. Namun ketika mereka mendekati pintu masuknya, tiba-tiba tampilannya berubah sangat besar, dengan puluhan siswi yang telah berkerumun di dalam gedung. Erna belum melihat Karin, namun dia sudah melihat Stefani, sedang berdiri di tengah kerumunan dengan senyum amat gembira. Dan wanita itu menghampiri Erna.

“Berkatmu, rencanaku akhirnya berhasil terlaksana,” pongah Stefani. “Tidak seperti rencana Hendery, aku tidak akan membiarkanmu menggagalkannya,”

“Dimana Karin?” Pertanyaan sama kembali diulang oleh Erna.

Stefani menyuruh para siswi untuk memberi jalan pada Erna, dan kini, dia bisa melihat Karin yang sedang terikat tangan dan kakinya, duduk bersimpuh di lantai kotor dengan wajah lebam dan menyedihkan. Erna tidak sanggup menatapnya. Apalagi ketika Karin mulai berteriak dan mengumpat penuh kekecewaan pada Erna, tidak menyangka akan dikhianati untuk kedua kalinya.

“Kamu brengsek, Er!!” umpat Karin. “Aku sangat percaya padamu, tapi kenapa kamu tega begini padaku?” jerit Karin, sekuat tenaga melepas ikatan erat itu.

Erna diam, tak tahan mendengarkan jeritan dan amukan pedih itu. Dia memilih berdiri di pojokan, dan membiarkan Stefani serta anak buahnya menyelesaikan rencana mereka. Erna tak mau terlibat dan menghindari Karin adalah satu-satunya cara agar dia tak merasa terlalu bersalah. Baginya, tak masalah jika Karin membencinya, toh sebentar lagi dia akan mati.

“Edo terpaksa melamar Karin di depan banyak orang atas ancaman Stefani. Jika dia tidak melakukannya, Stefani akan membunuh seluruh keluarga Edo yang miskin. Itu memang cara cerdik Stef untuk membangkitkan kemarahanmu, karena hanya kamu yang bisa membuat rencananya berhasil. Ya, dia berkaca dari rencanaku, yang juga berhasil karenamu. Dan satu lagi, Karin sedang mengandung seorang janin. Masih terlalu kecil, sebesar biji apel, tapi aku tahu. Dan sebentar lagi Katon pasti akan tahu,”

Ucapan Hendery di telepon tadi masih terus menggema dan terngiang berulang kali di kepala Erna, bagaikan sebuah bisikan yang terus menghantui kepala Erna bahkan ketika dia berusaha menutup kedua telinganya. Ucapan Hendery itu terus menggema, sesak di otak dan hatinya.

Kini Erna bisa mendengar dengan jelas jeritan Karin, ketika para siswi suruhan Stefani itu mulai beringas melucuti pakaian atas Karin. Mereka menampar, memukul dan segala perlakuan kejam lainnya, sedangkan Stefani hanya diam dengan tawa menggelegar yang membuat sesak seluruh isi gudang itu.

Erna tak tahan mendengarnya. Semua terasa sangat pilu, bahkan lebih pilu dari saat dia merasa bersalah ketika menjebak Karin masuk ke dalam hutan terlarang. Berkali-kali, dia mendapatkan tamparan ghaib yang hanya bisa dia rasakan sendiri, yang mungkin adalah ulah hati nuraninya yang memberontak. Maka Erna pun tak bisa mundur lagi, ketika kakinya mulai berlari masuk ke dalam kerumunan dan mendorong siapapun yang menyakiti Karin. Dia mengacungkan sebuah pisau dapur yang diam-diam dia sembunyikan dibalik kaos kakinya.

“Mundur!! Jangan coba-coba menyakiti Karin lagi!” Erna mengacungkan pisau itu, dia tebaskan ke segala arah.

Para kerumunan itu mundur, ngeri melihat Erna yang beringas dan menebas siapa saja yang berhasil ditangkap oleh matanya. Maka Stefani yang semula diam menonton, spontan maju dengan mata yang sangat marah.

“Sekali lagi kamu mengacaukan rencana yang kamu buat sendiri,” geram Stefani. “Kamu sendiri yang memintaku untuk membalas Karin, tapi kini kamu hancurkan semuanya!!” Stefani melolong, kesal luar biasa.

Erna mengacungkan pisaunya ke arah Stefani. “Ayo kita bertarung sampai mati,”

Stefani menyunggingkan separuh senyumnya. “Tanganku terlalu bersih untuk menghabisimu,”

Dengan satu isyarat, Stefani memerintahkan puluhan siswi itu untuk maju, tapi kali ini menyerang Erna. Pisau dapur yang tadi dibawa Erna, kini telah hilang secara misterius, sebagai ulah dari Stefani yang licik. Mereka menampar, mendorong, dan memukul Erna membabi buta, lebih kejam daripada tindakan mereka pada Karin. Hal itu mereka lakukan atas dasar kecewa dengan pengkhianatan Erna.

Dan kini, Karin yang tak memakai pakaiannya, mulai mundur perlahan agar tak menimbulkan perhatian. Dia terus mundur, dengan satu tangan menutupi dua asetnya yang berharga. Namun, dia lupa kalau masih ada Stefani yang dari awal hadir sebagai penonton sekaligus sutradara dari pertarungan mengerikan itu. Stefani memergoki Karin yang hendak kabur, kemudian menjambak rambut Karin sambil dia seret sedikit menjauh dari kerumunan.

“Apa kamu pikir, kamu bisa kabur dengan selamat dari sini?” ancam Stefani tak kenal ampun.

Karin tak tahu apakah semuanya mungkin, namun dia terus menggumamkan nama Katon. Meskipun Stefani mulai menancapkan kuku pisaunya ke lengan Karin, dia tak berhenti memanggil Katon dalam hati. Dan lagi, satu hal putus asa yang Karin lakukan, sebagai cara untuk menyelamatkan Erna, dia memegang tato setengah rusak cinderamata dari Hendery. Dia tahu, dengan dia memegang tato itu, dia bisa memanggil Hendery.

“Maafkan aku, Stef,”

Dalam waktu beberapa detik, tubuh Stefani dipukul mundur, jatuh berdebam meruntuhkan dinding tempatnya mendarat. Katon memukul mundur Stefani, menjauh dari istrinya. Dengan cepat Katon menutupi tubuh Karin yang terbuka, memeluk istrinya yang kini menangis ketakutan.

“Katon … tolong aku,” isak Karin.

Katon mengelus lembut rambut Karin, berusaha menenangkannya. “Kamu aman sekarang,”

Stefani bangkit, hendak membalas perbuatan kejam Katon padanya, ketika secara tiba-tiba pintu gudang itu jatuh berdebam, dan sosok Hendery melesat masuk sambil melempar belatinya tepat menusuk jantung seorang siswi yang hendak memukul Erna.

“Siapapun yang menyakiti Erna, mati di tanganku hari ini,” ancamnya, dengan nada berat yang menggelegar. Membuat siapapun berhenti bergerak, kaku tak berani mengambil banyak tindakan.

The Devil's Love Trap [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang