"Kamu ke sini lagi?" Hendery tak berhenti tersenyum lebar saat melihat Erna masuk ke ruangannya sambil membawa sekantong buah pir.Erna hanya memasang wajah cemberut.
"Katanya marah?" goda Hendery.
Erna masih cemberut dan mengambil duduk di samping ranjang Hendery. Kemudian dia mulai mengupas buah pir.Hendery melirik Erna dengan senyum lebar yang belum memudar sejak saat kemunculan Erna ke ruangannya.
"Apa yang terjadi?" tanya Hendery.
"Karin tidak datang ke sekolah, dan aku tak nyaman sendirian di sana. Tanya bergosip soal aku,"
"Apa?" Tubuh Hendery yang semula lemas karena kesepian, mendadak semangat lagi. Tak dapat dipungkiri, jika kedatangan Erna tiap hari menjadi semacam imun baginya.
"Katanya aku pacaran sama Hendery,"
Hendery tertawa lepas. "Bilang saja iya. Apa susahnya?"
Erna melotot tajam. "Tidak akan! Gimana kalau Edo sampai tahu?"
"Edo?"
Erna mengangguk dengan semburat senyum tipis di bibirnya. "Iya. Kami berkenalan beberapa minggu lalu. Dia bangsawan rendahan, tapi kami merasa sangat cocok,"
"Wah, wah, jadi sebentar lagi kamu akan punya calon suami? Selamat, akhirnya kamu tidak jadi mati!"
"Belum sampai ke situ! Tapi ... aku berharap lebih padanya,"
Erna memberikan sepotong buah pir yang sudah bersih pada Hendery. Namun Hendery tak segera meraih pir itu, melainkan menatap Erna dengan mata tak berkedip.
"Dia tahu kamu ke sini?" tanya Hendery.
Erna mengangguk. "Dia justru bangga padaku. Selain menjadi sahabat Karin, aku juga berteman denganmu, Hendery Damon yang buas,"
"Harusnya dia berhati-hati ... "
"APA?" Erna tak mendengar gumaman Hendery karena dia sedang sibuk membuka satu persatu kado di pojok ruangan.
"Lupakan!" kilah Hendery, merasa lega Erna tak mendengar ucapannya tadi.
* * *
Saat Karin membuka matanya, dia mendapati dirinya sedang tidur menyandarkan kepalanya di atas dada bidang milik Katon. Terlihat senyuman hangat Katon yang menyambut Karin saat gadis itu bangun dari tidurnya. Karin merintih sedikit kesakitan sambil memegangi lehernya yang kaku, karena secara tak sadar dia tidur dalam posisi duduk sepanjang malam.
"Selamat pagi," sapa Katon.
Karin yang sudah sangat sadar segera meraba bekas tusukan di perut Katon.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya.
Katon mengangguk. "Sudah tak sesakit semalam,"
Karin langsung bernafas lega. "Biar kuambilkan sarapan,"
Katon segera menarik tangan Karin yang hendak pergi, lalu menciumnya mesra. Dia mengelus lembut kening Karin, merasa sangat bersyukur atas semuanya.
"Tuan, selamat pagi," James tiba-tiba masuk tanpa permisi, membuat suasana menjadi canggung.
Tapi sepertinya James tak peduli, karena dia segera membawa satu troli makanan serta pakaian bersih untuk Katon dan Karin.
"Tuan, Anda harus segera sarapan dan berganti pakaian, karena keluarga besar Bagaskara akan datang menjenguk," ucap James, menyerahkan baju Katon pada Karin. Lalu dia permisi untuk pergi keluar dari kamar.
"Aku yang harus mengganti pakaianmu lagi?" tanya Karin.
"Kenapa? Kamu tak mau?" Katon pelan-pelan bangun dari ranjangnya. Dia sudah bisa berjalan, meski sedikit tertatih.
Karin menghampiri Katon, bersiap untuk melepas pakaian suaminya satu persatu. Jantungnya berdegup sangat kencang hingga Katon bisa mendengarnya. Meski dia bisa dengan jelas membaca ketegangan di wajah Karin, namun Katon tak tahu pasti apa yang dipikirkan istrinya itu.
Satu persatu Karin melepas pakaian Katon, berusaha sepelan mungkin agar Katon tak merasakan sakit di perutnya. Dalam keadaan menegangkan seperti itu, peluh Karin tak berhenti mengalir, berdebar luar biasa. Hatinya berdesir hebat. Andaikan dia tak menggunakan akal sehatnya, mungkin Karin sudah berteriak pada Katon ingin dipuaskan. Namun Karin harus menahan diri, karena kondisi Katon yang masih lemah dan belum stabil. Dia ingin menjadi istri yang baik untuk suaminya.
* * *
"Biarkan aku masuk, James!" bentak Stefani saat James menghalangi jalannya untuk mendekati ruangan Katon.
"Tuan Katon sedang bersama istrinya,"
Stefani makin marah. "Istri? Sejak kapan Katon menganggap perempuan itu istrinya? Aku kekasih Katon, James!!"
James tak bergeser sedikit pun dari tempatnya berdiri. "Sebaiknya kamu tak datang lagi, Stef,"
"Tidak! Aku harus menemui Katon! Aku ingin tahu kondisinya! Minggir, James! Atau aku akan ... "
"Akan apa?" potong Rama yang tiba-tiba muncul menghampiri pertikaian antara Stefani dan James.
Rama menatap Stefani dengan tatapannya yang dingin. "Kalau kamu cukup punya malu, harusnya kamu pergi,"
Stefani menggigit bibir, sambil mengepalkan kedua tangannya erat. Matanya yang indah dan tajam seakan ingin keluar saking marahnya.
"Kalian akan menyesal telah memperlakukanku seperti ini," ucap Stefani pelan.
"Kami tak akan menyesal. Kami hanya melindungi privasi Katon dan istrinya," timpal Rama enteng.
"Aku tak akan membiarkan hidup Karin tenang ... Lihat saja,"
Stefani mengancam Rama dan James bergantian, lalu berjalan cepat pergi meninggalkan ruangan Katon, meninggalkan rumah sakit dengan hatinya yang penuh dendam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil's Love Trap [END]
FantasyMenikah atau ibunya mati. Karin harus memilih salah satu. Katon Bagaskara telah menandainya sebagai calon pengantin, semenjak Karin masih dalam kandungan ibunya. Dan kini, demi menyelamatkan hidup sang ibu, Karin terpaksa pergi meninggalkan kehidup...