Meski sekuat tenaga, nyatanya Karin sangat berusaha melepas genggaman tangan Katon di wajahnya. Dia berteriak, berontak, namun Katon tak mengindahkan penolakan dari Karin. Entah apa yang dipikirkan Katon, namun dia seakan ingin menyedot keluar jiwa Karin."Katon ... "
Suara Stefani yang berada dekat sukses melepaskan Karin dari cengkeraman Katon. Gadis itu berdiri di belakang Karin, memandangi mereka berdua dengan kedua matanya yang tajam namun indah.
"Apa yang kalian lakukan?"
Katon mendongak dan saat melihat Stefani, dia sedikit kaget. Tidak biasanya dia lengah, karena siapapun yang berniat mendekatinya dari jarak ratusan meter pun Katon akan langsung tahu. Tapi kedatangan Stefani kali ini sungguh luput dari pengawasannya.
"Kenapa kamu menciumnya?" protes Stefani pada Katon sambil memandangi Karin dengan tatapan jijik.
Karin menahan kekesalannya, "Aku harus pergi,"
Dia langsung berlari masuk ke dalam asrama, tak peduli Katon dan Stefani yang masih tertinggal jauh di belakang. Dia mengusap bibirnya berkali-kali, tak mengharapkan ciuman paksaan seperti yang baru saja dilakukan Katon.
"Dia tampak tidak senang," ucap Stefani setelah Karin hilang dari pandangan mereka.
Katon masih diam seribu bahasa dengan nafasnya yang tersengal. Matanya masih hitam legam, menahan amarah yang dia tujukan pada Karin yang berani menolaknya.
"Kenapa kamu bisa di sini bersamanya?" tanya Stefani sekali lagi. "Apa kamu berencana kembali padanya?"
Katon mendekati Stefani dan memegang pelan bahu gadis itu. "Ayo kuantar pulang," ajaknya.
Stefani tentu senang bukan main, meskipun dia bisa saja pulang hanya dalam waktu sekejap saja. Tapi mengendarai mobil bersama Katon dan menikmati indahnya berduaan dengan kekasih layaknya manusia, membuat Stefani tak akan melewatkan kesempatan itu. Dia melingkarkan tangannya di lengan Katon, menyandarkan kepala dan berjalan bersama beriringan. Stefani tahu dia tak akan bisa memiliki Katon selamanya, tapi selama masih ada kesempatan, dia akan selalu mengulur waktu Katon sebelum waktu pernikahan Katon tiba.
* * *
Hendery melompati tembok pembatas yang ada di kantin, berlari layaknya iblis kesurupan. Matanya menyorotkan kemarahan dan dia berkali-kali mengumpat kasar. Saat melihat Erna dan Karin, Hendery makin mempercepat larinya.
"Rin!" seru Hendery, mengguncang bahu Karin. "Apa yang dia lakukan padamu semalam? Kamu tidak apa-apa kan?"
Karin yang sangat terpana dengan tingkah Hendery pagi ini hanya bisa tersenyum nyengir, mengawasi sekitarnya. Dia tak suka menjadi pusat perhatian, bahkan kedekatannya dengan Hendery juga menimbulkan banyak cibiran terbuka padanya.
"Sebaiknya kamu diam dan tenang," bisik Erna. "Semua orang melihat kita,"
Erna melirik sekelilingnya yang mulai berbisik betapa tak adilnya dunia karena telah membuat dua orang paling kuat di Alfansa memperebutkan Karin.
Hendery manut. Dia duduk di samping Karin dengan posisi tubuh menghadap Karin. Matanya masih menanti jawaban, karena Karin tak kunjung membuka suara.
"Kamu tidak tahu ada kejadian heboh di asrama semalam?" Erna yang memilih untuk buka suara.
Hendery memalingkan tubuhnya pada Erna, "Apa?"
Erna mendekatkan mulutnya ke telinga Hendery, "Katon mencium Karin di depan gerbang asrama," jawab Erna. "Dan Karin berteriak, membuat semua siswi pada iri,"
Hendery spontan bangkit dari duduknya dan menggebrak meja, "Brengsek!"
Erna dengan cepat menarik baju Hendery untuk membuatnya duduk. "Kubilang tadi apa? Diem!" Dia menutup kencang mulut Hendery.
Hendery menepis tangan Erna yang membungkam mulutnya, "Rin, kenapa kamu diam saja? Kenapa tidak menolak?"
"Bukannya sudah jelas ya? Kita manusia Alfansa tidak seperti kalian," protes Karin seakan tak terima.
Hendery diam sambil mengangguk setuju. Kemudian dia kembali mendekatkan wajahnya pada Karin. "Akan kuhabisi dia,"
"Maksudmu apa? Katon masih calon suami Karin!" Erna menyahut tak terima.
Lebih karena dia tak ingin ada pertempuran sesama bangsawan iblis yang membayangkannya saja sudah membuat Erna ngeri.
Hendery mendadak menguncir mulut Erna karena dianggap banyak bicara. "Er mending kamu pergi saja daripada banyak omong," gerutu Hendery kesal.
"Tapi Erna benar," Karin tiba-tiba menyahut, menyelamatkan Erna yang sudah bersiap ditendang Hendery. "Lebih baik kita biarkan saja dia,"
Ucapan Karin sukses membuat dingin hari Hendery, begitu pula Erna. Mereka berdua yang sejak tadi ribut dan berkelakar tak tentu arah, seketika memilih diam dan tenang.
* * *
Karin tak menyadari jika dia masih ingat jalan menuju rumah Serena, karena nyatanya dia sudah sampai di depan rumah itu sekarang. Rumah Serena tak jauh dari asrama, jadi sekalian sambil jalan-jalan sore, Karin memutuskan untuk mampir. Dan beruntung, Serena sedang menyirami tanamannya di halaman depan saat Karin mulai memencet bel yang dipasang di pagar.
"Karin!" seru Serena girang, segera membuka pagar untuk mempersilakan Karin masuk. "Seneng banget kamu main ke sini," Dia memeluk Karin layaknya bertemu dengan adiknya.
Karin menyerahkan oleh-oleh yang sengaja dia beli untuk Serena. Dia mengikuti panduan Serena untuk duduk di kursi yang disediakan di pojok taman. Duduk di situ membuat Karin bisa melihat seluruh sisi taman yang kecil tapi sangat hijau dan segar. Karin benar-benar nyaman berada di rumah Serena, seakan berada di rumah kakaknya sendiri.
"Dimana Ken?"
Belum sempat Serena menjawab, Ken keluar dari rumah dan tak lupa tersenyum menyambut Karin. Penampilannya sangat rapi, dengan rambut yang dikuncir dan sweater santai warna hijau zamrud. Mengingatkan Karin pada Katon.
"Kukira kamu datang bersama Katon. Mana dia?" tegur Ken.
Mendengar nama Katon disebut membuat wajah Karin sedih. Sebagai seorang bangsawan iblis, Ken tentu tahu apa yang dipikirkan Karin. Maka dia memilih untuk kembali masuk ke dalam rumah dan tak lagi bertanya soal Katon.
Tapi hal itu tak terjadi pada Serena. Melihat raut wajah Karin yang berubah membuat Serena cepat bertanya, "Kenapa? Kalian bertengkar?"
"Justru aku ke sini karena hal itu," ungkap Karin. "Aku tak punya seseorang yang bisa kumintai nasehat," Dia kembali memandangi taman kecil di rumah Serena yang basah. "Aku tak tahu harus bicara dengan siapa,"
Serena memegang pelan tangan Karin, "Aku pernah bilang kan, kamu bisa menemuiku kapanpun,"
Karin menghembuskan nafas keras, "Katon ... mencampakkanku ... "
Diluar dugaan reaksi Serena tidak kaget. Dia hanya memejamkan mata sesaat sambil menahan nafas. Terlihat begitu keras menyusun kata-kata yang pas untuk diucapkan.
"Lalu apa rencanamu?" tanya Serena, berusaha untuk tidak bertanya mengenai hal itu lebih jauh.
"Ya ... " Karin memperbaiki posisi duduknya. "Katon ... dia belum menghapus tatonya, tapi aku yakin sebentar lagi dia akan melakukannya,"
Serena hanya diam menggigit bibir bawahnya. "Lalu apa rencanamu?" tanyanya sekali lagi.
Karin memandangi Serena keheranan. Dia kira Serena akan bertanya tentang alasan Katon mencampakkannya, tapi diluar dugaan Serena justru tampak tenang.
"Apa Katon pernah begini sebelumnya?"
Serena menggeleng. "Hanya Stefani ... dan tentunya kamulah wanita yang pernah berurusan dengannya,"
Serena kembali menggenggam kedua tangan Karin. "Aku tahu ini sulit dan aku tak memintamu untuk melupakannya dengan cepat."
Serena berhenti sejenak. "Tapi jika ada seseorang yang hendak mengganti posisi Katon ... lebih baik kamu terima,"
Karin terperanjat. Seakan tahu apa maksud kedatangannya, Serena telah lebih dulu membuka topik yang sangat sulit untuk Karin dahului.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil's Love Trap [END]
ФэнтезиMenikah atau ibunya mati. Karin harus memilih salah satu. Katon Bagaskara telah menandainya sebagai calon pengantin, semenjak Karin masih dalam kandungan ibunya. Dan kini, demi menyelamatkan hidup sang ibu, Karin terpaksa pergi meninggalkan kehidup...