Tubuh Erna berdesir hebat mendengar bisikan menggoda dari Hendery. Lelaki itu masih melingkarkan lengannya di leher Erna. Dia hendak menggeser tubuh menjauhi Hendery, namun tak bisa. Dan sekarang Hendery justru mendorong tubuhnya untuk berbaring bersama, dengan kepala Erna bertumpu pada lengan Hendery."Seperti ini yang kamu inginkan? Tidur bersama sambil memandangi langit?" tanya Hendery.
"Lepaskan ... " Sekuat tenaga Erna berusaha menggunakan akal sehatnya.
Hendery lelaki yang licik. Dia pasti punya tujuan dibalik sikapnya ini.
"Kenapa?" Hendery tertawa lirih. "Kita kan sekarang sekutu yang akan menghancurkan Katon dan Karin bersama-sama,"
Erna bangun sekuat tenaga, segera menjauh dari Hendery. Nafasnya tersengal seakan baru saja melakukan aktivitas berat.
"Aku hanya membantu membujuk Karin, tak lebih,"
Hendery perlahan bangun, memandangi Erna dengan sisa tawa di wajahnya.
"Kamu ini kenapa? Kenapa wajahmu pucat?" tanyanya. "Aku tahu kamu menginginkan ini, ayo kita tidur bersama," Hendery merentangkan kedua tangannya.
Erna membuang muka. "Kamu kira aku cewek rendahan? Apa bedanya kamu dengan Tyo?"
"Tentu beda! Tyo menggoda semua wanita, sedangkan aku hanya pada orang tertentu. Harusnya kamu senang. Banyak siswi Alfansa yang mendambakanku. Bahkan rela hanya kucicipi tanpa kunikahi,"
Erna kesal bukan main. Dia mendorong tubuh Hendery untuk keluar dari kamarnya.
"Keluar sekarang!"
Namun tubuh Hendery yang besar dan tinggi tak bergeser sedikit pun meski Erna sudah mendorong dengan seluruh kekuatannya. Hendery tentu tertawa melihat tingkah Erna.
"Kamu mau apa sih? Ini kan tempat persembunyian keduaku,"
"Ini kamarku!" Erna tak berhenti mendorong tubuh Hendery.
"Oke, oke, aku pergi," Hendery berjalan menuju pintu kamar Erna. "Tapi aku pasti kembali. Kamar ini adalah tempat persembunyian keduaku,"
Dia mengerlingkan matanya pada Erna sebelum pergi. Erna memandang muak, dan segera menutup pintu setelah Hendery pergi.
Erna menendang pintunya berkali-kali, sebagai pelampiasan atas kekesalannya pada dirinya sendiri. Erna merasa sangat bodoh. Bisa-bisanya dia sempat berdesir sewaktu Hendery menyentuh tubuhnya. Erna merasa jijik pada dirinya sendiri. Hendery lelaki brengsek dan licik, tak seharusnya dia luluh dengan sikap Hendery.
Begitulah pergolakan batin yang sedang terjadi di dalam hati Erna. Dia selalu melampiaskan kemarahannya dengan menendang sesuatu. Kemudian ponselnya bergetar ketika dia masih dalam keadaan emosi memuncak.
"Halo!" Erna menyapa dengan nada ketus.
"Jangan lupa besok, kamu harus melakukan rencana itu,"
"Aku tahu, brengsek!"
Erna mengumpat lalu menutup ponselnya. Tanpa rasa berdosa Hendery menghubunginya dan malah membahas rencana mereka untuk menjebak Karin.
* * *
Erna tahu kesempatannya untuk mendekati Karin sangat tipis, mengingat Aldo dan juga Rama selalu ada disisinya. Bahkan pagi ini, Aldo sudah menunggui kedatangan Karin di depan gerbang sekolah. Erna bersembunyi untuk menghindari ketahuan. Namun Karin datang sendirian tanpa Rama. Pria itu tak tampak batang hidungnya dimanapun.
Ponsel Erna kembali bergetar.
"Sepertinya Rama tidak datang. Tugasmu jadi makin ringan,"
"Diam, brengsek," bisik Erna mengumpat Hendery via telepon.
"Aku mengawasi dari atap,"
Erna segera memasukkan ponselnya ke dalam tas, malas meladeni celotehan Hendery.
"Erna?" tegur Karin keheranan melihat Erna bersembunyi di pojokan. "Kamu ngapain di situ?"
Erna heran Karin menemuinya sendirian. Tak tampak tanda sosok Aldo bahkan setelah Erna mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Ayo," Karin menggandeng tangan Erna untuk pergi ke kelas bersama.
"Rin, kamu hari ini sibuk?"
Karin tampak berpikir. "Tidak. Hari ini Katon tidak di rumah, jadi aku tidak sibuk. Kenapa?"
"Sebenarnya aku ingin minta tolong ... "
"Apa?"
Erna memasang wajah memelas. "Sebenarnya di hari aku menemukanmu di hutan terlarang, ternyata dompetku hilang di sana,"
Karin khawatir, "Terus gimana Er?"
"Aku tidak mungkin berani ke sana sendirian,"
"Apa yang bisa kubantu?"
Erna menggenggam kedua tangan Karin. "Kamu mau menemaniku ke hutan terlarang?"
Karin berpikir, ragu-ragu. "Tapi ... " Dia memutus ucapannya. "Aldo tak bisa menjaga kita di sana,"
Tampak raut kecewa di wajah Erna. "Oke, tidak masalah. Biar nanti aku coba cari sendiri,"
Dia melambaikan tangan lalu pergi menuju kelasnya.
"Er!" panggil Karin di tengah perjalanan.
Erna memutar tubuh ke belakang menghadap Karin. Karin berjalan cepat menghampirinya.
"Oke, aku akan bantu. Tapi sekarang,"
"Sekarang?" Erna membelalak lebar.
"Tapi jam masuk sebentar lagi bunyi,"
"Ini satu-satunya cara supaya Aldo tidak membuntutiku,"
"Kamu yakin Rin?"
Karin mengangguk mantap. "Kalau itu aku, kamu pasti akan melakukan hal yang sama,"
Erna senang bukan main. Kemudian mereka berdua diam-diam menuju halaman belakang sekolah, jalan utama masuk ke dalam hutan terlarang. Erna memandang sekeliling, takut kalau Aldo tiba-tiba datang dan menggagalkan rencananya. Tapi semua aman, tak ada satu pun yang lewat di halaman belakang. Karin berjalan lebih dulu kemudian disusul Erna di belakang.
* * *
Karin sudah berjalan sekitar lima menit dengan kepala terus menunduk menyisiri tanah di bawahnya, berharap dia dengan cepat menemukan dompet Erna.
"Er, kamu inget, kan, terakhir kali jalan lewat mana?" tanya Karin masih terus menyusuri hutan.
"Er?" panggil Karin karena Erna tidak menyahut. Dia kemudian menoleh ke belakang.
"Er?" panggil Karin sekali lagi, kaget mendapati Erna sudah tak ada di belakangnya.
Hutan itu kosong sejauh pandangan mata Karin. Hanya tersisa kesunyian, udara lembab dan pepohonan tinggi disertai akar yang besar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil's Love Trap [END]
FantastikMenikah atau ibunya mati. Karin harus memilih salah satu. Katon Bagaskara telah menandainya sebagai calon pengantin, semenjak Karin masih dalam kandungan ibunya. Dan kini, demi menyelamatkan hidup sang ibu, Karin terpaksa pergi meninggalkan kehidup...