Pagi ini Erna sengaja bangun pagi untuk bisa berangkat lebih awal ke sekolah. Dia tak langsung menuju kelas, melainkan pergi menuju rooftop dan berharap ada Hendery di sana. Namun pagi ini sepertinya dia harus kecewa, karena meski sudah berkeliling, Hendery tak dia temukan. Dia menghela nafas kesal, kemudian menghirup kuat-kuat udara pagi yang masih teramat segar. Hal yang selalu dia lakukan sejak pertama kali datang ke Alfansa. Menikmati indahnya pemandangan dari atas rooftop sekolah."Kamu mencariku?" ujar Hendery yang tiba-tiba saja sudah di belakang Erna.
Spontan dia memutar tubuh ke belakang. Ada secercah lega di hatinya."Tumben pagi?" sahut Erna.
Hendery berjalan ke samping Erna. Dia ikut menghirup udara kuat-kuat dan menghembuskannya keras. "Ada yang harus kulakukan hari ini,"
"Apa?" Tanpa sadar Erna bertanya dengan cepat.
Hendery meliriknya tajam. "Sejak kapan kamu ingin tahu?" tanyanya. "Kamu kan bukan temanku?"
Erna salah tingkah. "Ya siapa tahu ada hubungannya dengan Karin? Kamu lupa aku ini teman Karin satu-satunya di sini,"
Hendery diam berpikir, kemudian, "Benar juga,"
"Terus apa?" Erna kembali bertanya. Kali ini dia memasang wajah tak peduli.
"Kamu tahu kalau selain bisa membaca pikiran, kita juga bisa menutupnya?" Hendery mengganti topik pembicaraan.
Erna hanya diam tertegun, tak paham.
"Aku sudah memutuskan untuk tidak mau tahu apa yang kamu pikirkan," lanjut Hendery. "Berterima kasihlah,"
Erna menganga, "Aku harus berterima kasih? Atas apa?" Dia masih tak paham.
Hendery mendengus kesal, "Kamu bisa bicara bohong apa saja padaku. Itu merupakan kebebasan!" tukasnya. "Kalau tidak, kita tidak akan bisa ngobrol sepanjang ini karena aku sudah lebih dulu tahu isi pikiranmu," omelnya.
Dia lantas berjalan pergi meninggalkan Erna dengan sisa kedongkolan di hatinya.
Erna tertawa lirih, "Oke, oke," Dia berusaha menghentikan langkah Hendery. "Terima kasih. Oke?"
Hendery hanya melambaikan tangan tanpa ingin menghentikan laju kakinya.
"Kamu belum selesai cerita!" teriak Erna.
Mendengarnya seketika Hendery berhenti. Secepat kedipan mata dia sudah berada di depan Erna, sangat dekat. "Apa kamu bilang?"
Erna mengangguk polos, "Iya, belum cerita,"
"Kita tidak seakrab itu sampai aku harus menceritakan semuanya. Paham?"
Erna mengangguk pelan, "Urusan kita hanya karena Karin," sahutnya.
Hendery menepuk bahu Erna keras, "Kuanggap kita sekutu. Sekutu dalam menghancurkan Katon,"
Erna menepis tangan Hendery dengan muka mendadak marah, "Menghancurkan Katon? Aku tidak pernah ngomong seperti itu!" omelnya keras. "Kita hanya dua orang yang berbagi tempat sembunyi yang sama!"
Kali ini giliran Erna yang pergi. Dia bahkan berjalan sangat cepat dengan omelan yang masih bisa didengar Hendery. Lelaki itu hanya menyeringai, meskipun kini dia tak tahu apa yang dipikirkan Erna.
* * *
Hendery menunggu kedatangan Karin di depan gerbang sekolah dengan lagaknya yang selalu sok akrab dengan semua orang. Dia menyapa satu persatu siswa yang masuk, tak peduli walau mereka tak ada yang berani menjawab sapaan Hendery. Selain Katon, para siswa memilih untuk tak berurusan dengan Hendery. Meskipun dia punya wajah yang lebih ramah dari Katon, namun Hendery bagaikan pembunuh berdarah dingin. Dia bisa menyerang kapan saja.
Beda halnya dengan para siswi yang selalu berusaha keras menarik perhatian Hendery, walaupun mereka sudah memiliki calon suami. Berharap salah satu dari mereka ada yang berhasil memikat hati Hendery yang terkenal sulit ditaklukkan. Maka ketika berita Hendery yang mendekati Karin tersebar, para siswi marah luar biasa. Dia menjadi calon pengantin Katon tapi masih juga menggoda Hendery. Entah apa yang mereka rencanakan, namun Karin harus tetap waspada.
"Hendery?" Karin keheranan saat melihat Hendery berdiri layaknya tiang bendera di depan gerbang sekolah.
Hendery tersenyum lebar, "Pagi," sapanya.
Karin balas tersenyum. Mereka berdua berjalan beriringan masuk ke dalam sekolah. Tak menyadari bahwa puluhan pasang mata mengawasi mereka dengan penuh kemarahan.
"Rin, pulang sekolah nanti, ada yang ingin kubicarakan berdua denganmu," ucap Hendery ketika Karin sudah sampai di depan kelasnya. "Jangan ajak Erna ya,"
Karin tertawa dan menyanggupi. Kemudian mereka berpisah karena bel masuk sudah berbunyi.
* * *
Sepulang sekolah, Hendery sudah menunggu kedatangan di tempat biasanya. Dia sengaja tak membawa mobil biru kesayangan, karena dia ingin mengobrol sambil berjalan kaki menuju asrama Karin. Maka ketika mereka sudah bertemu, ekspresi Karin senang luar biasa karena untuk pertama kalinya dia berjalan pulang ke sekolah selain dengan Erna. Meski puluhan sorot tajam tetap memperhatikan setiap langkah Karin.
"Rin," panggil Hendery tersipu.
Karin meliriknya sekilas, "Kenapa?" Dia tertawa renyah, "Mau ngomong apa sih? Aku tidak bisa baca pikiran,"
Hendery balas tersenyum, masih dengan wajah tersipu. Kemudian dia menghentikan langkah Karin.
"Aku ingin kita berkencan," ucap Hendery tegas dan lugas. "Bagaimana?" tambahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil's Love Trap [END]
FantasiaMenikah atau ibunya mati. Karin harus memilih salah satu. Katon Bagaskara telah menandainya sebagai calon pengantin, semenjak Karin masih dalam kandungan ibunya. Dan kini, demi menyelamatkan hidup sang ibu, Karin terpaksa pergi meninggalkan kehidup...