"James, Katon baik-baik saja, kan?" Karin mencecar James dengan pertanyaan yang sama sejak saat mereka masih di kamar Karin. Hingga sekarang mereka di tengah jalan menuju ruangan Katon pun, pertanyaan Karin tak berubah."Tuan pasti baik-baik saja,"
"Ayo cepat, James!" Karin meminta James untuk lebih cepat mendorong kursi rodanya.
Namun saat mereka sudah sampai di depan pintu kamar Katon, James mendadak menghentikan gerakannya. Dia mematung di tempat dengan wajah cemas.
"Kenapa James?" tanya Karin kesal.
"Ayo cepat masuk, James!"
James masih mematung tanpa menjawab. Dia hanya menggerakkan tangannya, mengisyaratkan Karin untuk diam di tempatnya.
"Kalau begitu biar aku yang masuk," Karin bersikeras untuk segera masuk.
Dia bangkit berdiri, memegangi tiang infus dengan jalan yang tertatih. Dia mendorong pintu kamar tempat Katon dirawat.
Di sana dia bisa melihat Katon yang terbaring tak sadarkan diri dengan seorang perempuan yang duduk di sisinya sambil menangis tanpa henti. Perempuan itu menggenggam erat tangan Katon, menangis keras memeluk tangan itu.
"Karin?" James memastikan Karin baik-baik saja.
Namun tatapan Karin belum bisa lepas dari perempuan itu. Stefani Maura, menangis memeluk tangan suami Karin.
"Kenapa ada dia?" tanya Karin pada James.
"Aku sudah mencegah Stef untuk datang kemari, tapi dia memaksa," ungkap James. "Maafkan aku, Karin,"
Karin diam. Sorot matanya meredup. Hatinya yang semula sangat khawatir berubah hampa, dan memilih untuk putar badan, bermaksud kembali ke ruangannya sendiri. Karin berjalan tertarih dibantu tiang infus di sebelahnya. Dia menolak tawaran James untuk menggunakan kursi roda. Sekali lagi, hatinya harus dibuat sakit oleh sepasang kekasih yang belum ingin menerima kenyataan jika mereka tak akan bisa bersama.
* * *
"Setelah ini, Katon akan bertarung serius denganku," ucap Hendery. "Dan kamu, maksudku, Katon akan menyadari perasaannya padamu,"
"Tapi harga yang harus kubayar sangatlah mahal," timpal Karin.
Hendery mendorong tubuh Karin untuk telentang, dengan dia menumpukan kedua tangannya di atas tubuh Karin.
"Kamu senang?" tanya Hendery sambil menyeringai lebar. "Ayolah, kamu bisa tinggalkan Katon untuk bisa menikmati ini setiap hari,"
Karin buru-buru mendorong tubuh Hendery menjauhinya. "Kamu memang iblis,"
* * *
Karin kembali teringat malam di saat dia harus kehilangan harga dirinya untuk pertama kali. Harga yang sangat mahal, demi bisa melihat Stefani semakin berani menunjukkan kepada Karin bahwa dia dan Katon tak bisa dipisahkan.
"Rin?" panggil James. "Kamu mau sesuatu?"
Karin menggeleng lemah. "Aku hanya ingin istirahat, James,"
* * *
"Gimana? Sakit?" seru Erna setelah dia berhasil menemukan keberadaan Hendery.
Nafasnya menderu, melaju cepat saling sambar menyambar dengan ucapannya.
Hendery tertegun melihat Erna berdiri di depannya, dengan mata melotot kesal dan berkacak pinggang. Gadis itu mondar-mandir mencari-cari sesuatu.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Hendery. Suaranya serak, setengah jam lagi dia akan mati kehabisan darah.
"Mau menyelamatkan orang tak berguna di depanku!!" teriak Erna.
Hendery masih tertegun, tak berniat balas berteriak dengan kata-kata tajam yang biasa dia lontarkan pada Erna.
"Kamu mau apa? Apa yang kamu cari?" tanya Hendery.
Erna menggerutu kesal. "Bagaimana caraku menyelamatkanmu kalau kamu menggantung di atas?"
"Bilang dari tadi ... " Tubuh Hendery perlahan turun ke bawah, sejajar dengan Erna. Namun pedang besar Katon masih tetap menancap kuat di jantungnya.
"Kalau kamu bisa pakai kekuatanmu, kenapa tidak melepas pedang itu?" Erna keheranan melihat Hendery masih sanggup menggunakan kekuatannya untuk bergerak.
"Pedang ini tidak bisa kulepas, kecuali dilepas orang lain,"
Erna maju untuk memegang pedang itu dan berniat untuk segera mencabutnya.
"Dia tidak akan lepas dengan mudah," komentar Hendery. "Apalagi kalau niatmu ke sini setengah hati untuk menolongku,"
Erna menatap Hendery kesal. "Bisa diam? Sebentar lagi kamu mati, jadi jangan banyak omong!"
Erna kembali mencoba menarik pedang itu, sekuat tenaga hingga dia menekan gigi atas bawah seakan untuk mendongkrak kekuatannya. Namun nihil, pedang itu seakan hanya bergeser satu senti.
"Sepertinya kamu bakal mati cepat," komentar Erna dengan nafas terengah-engah, memberi kesimpulan kejam setelah dia tak sanggup menarik pedang besar itu.
Hendery hanya menatap pias tanah di bawahnya, memandangi darahnya yang makin lama makin habis.
"Kalau kamu mati, jangan hantui aku ya," celetuk Erna kemudian mencoba menarik pedang itu lagi.
Kali ini dia menggunakan sepenuh tenaganya. Perlahan pedang itu mulai bergeser lebih panjang. Ada secercah harapan di raut wajah Erna. Dia mengusap peluh di keningnya.
"Setidaknya aku tidak sendirian saat mati nanti. Walaupun temanku harus iblis memuakkan macam kamu," gerutu Erna, lebih kepada dirinya sendiri, karena Hendery sama sekali tak menanggapi.
Tubuh Hendery mulai lemah, karena waktu tinggal seperempat jam lagi. Perasaan kaget melihat Erna serta sakit di tubuhnya, bercampur satu hingga dia memilih menyimpan energinya untuk tak lagi banyak bicara.
Erna mengatur nafas dan mengikat rambutnya kencang. Setelah menghela nafas sekali, dia mencoba menarik pedang itu sekali lagi. Dan ajaib, pedang itu perlahan mulai lepas dari tubuh Hendery. Tubuh Erna sampai mundur ke belakang karena tak kuat mengangkat pedang besar milik Katon itu. Dia melepas pedang itu sekenanya, menimbulkan bunyi gemuruh lirih di tanah. Dia buru-buru memegang luka Hendery, berusaha menutupnya dengan kedua tangan.
Hendery yang tertegun hanya bisa memandangi Erna dengan bola mata bergetar. Dia seakan membeku, mengunci pandangannya pada gadis penuh kesialan bernama Erna Wijaya.
"Ayo, cepat kita ke rumah sakit!!" Erna memegangi dada Hendery dengan kedua telapak tangannya agar tak makin banyak darah yang keluar.
Dengan tertatih-tatih, Hendery berusaha meraih tangan Erna di dadanya. Dia menatap dalam wajah Erna.
"Terima kasih," ucapnya sangat pelan, kemudian sosoknya mulai hilang perlahan bersama Erna, meninggalkan pedang besar Katon yang tergeletak sembarangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil's Love Trap [END]
FantasyMenikah atau ibunya mati. Karin harus memilih salah satu. Katon Bagaskara telah menandainya sebagai calon pengantin, semenjak Karin masih dalam kandungan ibunya. Dan kini, demi menyelamatkan hidup sang ibu, Karin terpaksa pergi meninggalkan kehidup...