Bab 11

3K 177 0
                                    


"Kamu tahu, kan, para siswi membicarakan kamu di belakang?" ujar Erna saat dia bersama Karin di kantin sekolah. 

Karin angkat bahu, "Memang aku peduli?" 

Erna menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka, "Tapi Rin, kamu tidak bisa meremehkan ini begitu saja," 

"Dulu waktu kamu belum datang dan Tanya masih mengaku calon pengantin Katon, para siswi bekerja sama untuk melenyapkan Tanya. Tapi belum sempat mereka mengeroyok Tanya, kamu datang," 

Karin melebarkan matanya, "Maksudmu?" 

"Mungkin karena sekarang aku temanmu, mereka tidak memberi tahu aku rencana mereka," bisik Erna masih dengan sikap waspada. 

"Siapa yang punya ide brutal seperti itj?" tanya Karin. Dia mendekatkan wajahnya ke telinga Erna, "Stefani?" 

Erna menggeleng keras, "Aku tidak tahu," 

"Karin ... " Suara itu tiba-tiba ada di samping Karin dan Erna yang masih serius mengobrol. 

Betapa kagetnya mereka saat tahu Katon entah dari mana tiba-tiba muncul. Karin bahkan sampai mengelus dadanya karena kaget. 

"Katon?! Sejak kapan ... " 

Katon melirik Erna seakan mengisyaratkannya untuk pergi. Jadi tanpa diperintah dua kali, Erna memutuskan beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Karin berdua saja dengan Katon. 

"Kamu sudah pulang?" 

Katon mengangguk, "Bagaimana kabarmu?" tanya Katon dengan wajah lebih tenang dari saat pertama kali bertemu dengan Karin. Bola matanya berwarna hijau zamrud, menandakan suasana hatinya sedang baik. 

"Selama ini kamu kemana saja?" tuntut Karin. 

"Ada sedikit urusan," jawab Katon singkat.

Karin memutar bola matanya, tanda bosan dengan jawaban Katon yang tak pernah jelas. Dia beranjak berdiri dan hendak pamit, sebelum tangannya ditarik Katon. 

"Aku ke sini ingin menemuimu, dan kamu pergi begitu saja?" 

"Kamu tidak mau menjawab pertanyaanku," gerutu Karin kesal. 

Katon mengelus punggung tangan Karin dengan jempolnya, membuat hati Karin berdesir hebat, "Aku akan menceritakan semuanya nanti, di asrama," 

Perlahan Katon menuntun Karin untuk kembali duduk di sampingnya. Namun entah mengapa Karin hanya menurut walaupun dalam hati masih menyimpan sedikit dendam pada Katon karena telah membuat ayahnya mati. 

"Makanan di sini enak?" tanya Katon basa-basi. 

"Kamu ... tidak makan nasi?" 

Katon tertawa lirih, "Aku hanya memakan yang disediakan James," 

"Apa?" 

Katon mendekatkan wajahnya ke wajah Karin. Tatapan mereka berdua bertemu, dan Karin dapat dengan jelas mengamati mata hijau zamrud milik Katon. 

"Apa kamu mau membuatkannya untukku?" goda Katon.

Karin menelan ludah, karena bagai terhipnotis, tubuhnya tak bisa digerakkan. Berada di dekat Katon membuat akal sehatnya susah bekerja dengan normal.

"Nanti malam kutunggu di tempatku. Biar James menjemputmu," 

"K-ke tempatmu?" Belum hilang rasa gugup Karin, Katon kembali menghujaninya dengan kejutan.

Katon melirik sekitarnya, "Terlalu banyak orang yang mengawasi," 

"Katon ... " panggil Karin setelah sesaat diam. "Selama ini nyawaku selalu terancam saat di Alfansa. Apakah aku akan aman setelah ada di dekatmu?" 

Katon terdiam, "Apa Stef mengancammu?" tebaknya setelah membaca isi hati Karin.

Karin menggeleng ragu, "Tapi kata Erna mereka semua berencana melenyapkanku ... " 

Walaupun tampak tak peduli di depan Erna, dalam hati Karin tetap muncul perasaan was-was yang membuatnya teringat akan kehidupan kelamnya selama di Alfansa. 

* * * 

Erna berkali-kali menendang keras dinding yang ada di depannya. Sejak pertama kali datang dan dicampakkan, Erna menemukan tempat persembunyian untuk menenangkan dirinya. Tempat itu adalah rooftop, bangunan paling atas di sekolahnya yang luas terbuka namun tak ada satu pun orang yang berani ke sana karena terlalu tinggi. Ketika suasana hatinya sedang buruk, Erna selalu melampiaskan dengan menendang dinding tempat penampungan air yang ada di sana, sambil mengucapkan sumpah serapah. 

"Kamu iri melihat kemesraan temanmu?" seru seseorang dari arah belakang Erna. 

Spontan Erna menoleh. Dan saat dia mendapati sosok Hendery sedang berdiri dengan senyuman mengejek, membuat hati Erna makin panas. 

"Maumu apa?!" sentak Erna.

Hendery tertawa dan mulai memakan apelnya, "Kalau aku jadi kamu, aku tidak akan berteman dengan Karin," 

Erna mendengus kesal dan kembali menendang dinding di depannya. 

"Seisi sekolah, apalagi para wanita Alfansa, tidak ada yang mau berteman denganmu karena kamu teman Karin Nevada," 

"Sebelum ada Karin mereka juga tidak mau berteman denganku," timpal Erna pedih.

Hendery tertawa makin kencang, "Ternyata kamu memang dikucilkan sejak awal," 

Erna dengan cepat merampas apel yang ada di tangan Hendery dan melemparkannya ke udara. Lelaki itu hanya bisa melongo melihat apelnya terlempar jauh entah kemana. Selama hidup seratus tahun, hanya Erna yang berani melawannya seperti itu.

"Kamu marah?" tebak Hendery. 

"Kalau kamu hanya ingin menghinaku, lebih baik pergi dari sini," 

"Pergi? Aku datang lebih dulu," Hendery memandang Erna tajam.

"Aku yang sejak awal datang ke tempat ini!" balas Erna.

Hendery tersenyum, mendekati Erna. "Aku di sini dari 100 tahun lalu. Ini tempat persembunyianku, dan kedatanganmu membuatku berisik" 

Erna sedikit memundurkan langkah dan kembali sadar. Dia sedang tidak berada di Alfansa, melainkan di dunia bangsawan iblis. 

"A ... apa maumu?" tanya Erna terbata-bata. 

Menyadari ada rasa takut dari Erna, membuat Hendery memundurkan langkah dan tertawa, "Aku akan menghancurkan Katon. Dan akan kurebut Karin Nevada ... " kelakarnya.

The Devil's Love Trap [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang