Bab 15

2.7K 161 3
                                    


Serena mempersilahkan Karin untuk masuk ke dalam rumahnya yang berdesain minimalis itu. Ken masih mengantar kepergian Katon, yang mendadak harus pergi tanpa bilang apapun pada Karin. Serena menuntun lembut tangan Karin, berusaha menghibur keresahan di benak Karin.

Walaupun Serena sesama manusia Alfansa sepertinya, tapi Karin dapat merasakan kalau Serena memiliki intuisi yang tajam. Dia seakan mengerti kekhawatiran dan kecemasan yang ada di dalam diri Karin, hanya dengan melihat gerak-geriknya.

"Karin siapa nama lengkapmu?" tanya Serena setelah menyuguhkan segelas teh hangat pada Karin.

Karin segera menyeruput teh itu, "Karin Nevada,"

Serena menautkan kedua alisnya kemudian melipat tangan di depan dada, "Aku senang bertemu denganmu,"

"Serena ... " panggil Karin, memainkan cangkirnya, "Sudah berapa lama kamu menikahi Ken?"

"Lima belas tahun ... mungkin?" Serena berusaha mengingat untuk dirinya sendiri, "Yang pasti sudah sangat lama sampai aku lupa," Serena tertawa ringan membodohi dirinya yang sudah tak ingat akan berapa lama dia menikah dengan Ken.

"Aku dengar dari para siswi, Katon adalah satu-satunya pewaris Bagaskara. Tapi ... "

"Iya," sela Serena cepat. "Ken dan Deswita sudah meninggalkan tahta keluarga," Deswita menumpukan sikunya pada kedua lutut, berusaha berbicara lebih intim dengan Karin.

"Deswita?"

Serena mengangguk, "Dia kakak tertua Ken dan Katon," Kemudian dia ikut meminum tehnya yang sebentar lagi dingin, "Tapi aku hanya bisa bicara sebatas itu, Karin. Maafkan aku ... "

Karin mengangguk pelan, "Aku juga nggak punya hak untuk bertanya,"

"Ngomong-ngomong, apa yang kamu suka dari Katon?" Serena berusaha mengalihkan pembicaraan yang mulai sedikit suram saat menyebut nama Deswita.

"Aku tidak tahu," jawab Karin tersipu, "Kami akan menikah tanpa didasari cinta,"

"Tapi Katon memilihmu," sahut Serena, "Para bangsawan tidak memilih pengantin mereka begitu saja, pasti ada alasan,"

Karin menggigit bibir, ragu untuk bertanya tapi benaknya sangat terganggu, "Kenapa Ken memilihmu?" tanya Karin pada akhirnya.

"Well ... " Serena menyandarkan punggungnya dengan tatapan nanar, "Ken tidak pernah memilihku ... "

* * *

"Kenapa kamu ajak dia ke sini?" tanya Hendery menunjuk pada Karin yang berdiri di samping Erna dengan wajah menahan tangis.

Erna mendekati Hendery, menarik tangannya untuk sedikit menjauhi Karin, "Kamu tidak tahu rasanya dicampakkan! Jadi lebih baik diam dan tidak usah banyak tanya,"

"Dia dicampakkan Katon?!" Hendery berseru kaget luar biasa, sampai Erna terpaksa menutup mulutnya.

"Kenapa? Kok bisa?" Kali ini suara Hendery lebih pelan.

Erna menggeleng keras, "Tidak usah banyak tanya,"

Reaksi kaget Hendery ternyata hanya berlangsung singkat, karena reaksi itu berubah jadi seringaian senang luar biasa.

"Jadi aku ada kesempatan mendekatinya?"

* * *

Katon mengamati seorang wanita paruh baya yang sedang menata puluhan buah jeruk di atas etalase. Wanita itu tampak lelah, namun sepertinya dia tak punya banyak pilihan karena memang hanya itulah mata pencaharian yang dia punya. Semakin Katon awasi, semakin tampak lemah wanita itu, dengan rambut setengah memutih dan kulit yang kusut. Berkali-kali dia mengernyitkan mata menahan teriknya sinar matahari yang tepat di atas kepalanya.

Katon berkali-kali melirik cerberus, seakan bimbang dengan pemandangan yang ada di depannya. Dengan isyarat mata Katon bertanya pada cerberus tentang diakah-orangnya dan cerberus mengangguk cepat.

"Kamu yakin?" tanya Katon dan lagi-lagi cerberus mengangguk.

Anjing itu berjalan perlahan ke arah tempat jualan si wanita tua, namun dia tak memasang tampang yang menyeramkan seperti saat pertama dia bertemu Karin. Anjing itu lebih tenang dan diam tanpa suara. Sedangkan Katon berjalan di belakang cerberus dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana. Hatinya bimbang luar biasa, tak yakin apakah wanita itu yang dia cari selama ini.

Saat melihat cerberus yang mendekat beserta Katon di belakangnya, wanita tua itu terperanjat hingga berdiri dari duduknya. Dia melotot menatap mereka, raut wajahnya panik seakan ingin segera melarikan diri. Namun seakan terhipnotis, kaki wanita itu tak bisa digerakkan.

"Katon?" tegurnya tak percaya. Suaranya dalam dan berat, tampak lelah namun berusaha keras menyambung hidup, "Kenapa kamu di sini?"

Katon lamat-lamat memperhatikan setiap sudut wajah wanita tua itu dengan mata hijau zamrudnya yang indah, "Deswita ... kenapa kamu ... "

Wanita tua itu menyentuh tangan Katon dengan tangannya yang gemetaran, "Aku tak menyangka akan bertemu denganmu lagi," isaknya, "Bagaimana kabarmu?"

"Kenapa kamu jadi seperti ini?"

Wanita tua itu mengusap air matanya yang menggenang, "Bukankah manusia memang makhluk fana?"

"Aku tidak mengenalimu," Katon menepis tangan wanita tua itu, "Kamu bukan Deswita,"

"Ya! Aku memang bukan Deswita Bagaskara!" Wanita tua itu, yang bernama Deswita berteriak memilukan, "Aku hanya manusia biasa, Katon! Manusia Alfansa yang tua renta,"

"Hanya demi lelaki itu kamu menjadi seperti ini?"

Deswita menangis kian deras, "Bukan salahnya," Dia menggeleng tersedu, berusaha keras menahan air matanya agar tak kian jatuh, "Dia sekarang sudah mati,"

"Aku akan menikahi anaknya,"

Deswita membelalak lebar, "Katon ... "

"Selama ini usahaku membuatnya menderita sudah berhasil. Dan akan kubuat dia semakin menderita. Tua dan menderita sepertimu,"

Deswita mendadak mencengkeram erat lengan Katon, memohon-mohon padanya, "Jangan, Katon. Anak itu tidak bersalah. Albert juga punya hak untuk mencintai, aku tidak bisa memaksanya memilihku,"

Katon menepis tangan Deswita, kemudian mengisyaratkan cerberus untuk lekas pergi, "Aku berjanji akan membalas sakit hatimu,"

Deswita meraung, memohon sangat keras supaya Katon menarik ucapannya kembali. Tapi sayang, Katon telah memilih pergi meninggalkan jejak langkah yang samar dan berdebu. Dia hilang begitu saja, tanpa ada yang menyadari. Tentu saja kecuali Deswita.

The Devil's Love Trap [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang