Terkadang perlu menyukai dan membenci itu sekedarnya. Jangan berlebihan. Sebab sesuatu yang berlebihan itu akan menemukan ujung yang mencuat memberikan rasa muak absolut.
"Bella." Ayah menatapku stagnan. Tampak terkejut dengan pandangan yang membuatku nyeri di ulu hati. "Kau baik-baik saja?" Tanyanya setelah menahanku yang akan limbung karna mendadak kedua tungkaiku tak bisa menahan bobot tubuhku lagi.
Ntah karna syok atas apa yang dokter Sakura paparkan beberapa saat lalu atau menemukan presensi seseorang yang kelewat aku benci sekaligus kusayang. "Tak apa." Suaraku keluar dengan getir. Padahal aku berusaha untuk terlihat kuat.
Ayah merangkul bahuku memapahku ke bangku tunggu terdekat yang sialnya masih memberiku rasa hangat membuatku terkekeh getir.
Rasanya. Aku hanya tumbuh dewasa begitu saja tapi jauh di dalam sini masih ada sosok kecilku yang masih haus akan kasih sayangnya.
"Ayah.." Aku menjeda sesaat untuk menahan getar tangis yang di ujung kerongkongan, "Kenapa ayah disini? Bukankah ayah pergi ke Jepang untuk perjalanan bisnis?"
"Ah itu, " Wajah ayah terlihat pias yang menohokku. Jelas sekali bahwa kepergiannya hanyalah kebohongan agar Seulhae bisa berada di dekat Jay.
"Aku hamil." Kataku membuat ayah terlihat tercekat dan ingin mengatakan sesuatu namun tertahan, "Tapi kandunganku lemah dan mungkin tidak bisa di pertahankan sebab si bayi katanya mendengar apa yang aku rasakan."
"Bayi ini tahu aku tidak menginginkannya ayah."
"Bayi ini tahu mungkin ia perlu mengemis kasih sayang ayahnya di masa depan nanti seperti yang aku rasakan."
"Bella.." Ayah akan mengamit tanganku namun aku tepis dan beranjak berdiri dengan kekuatan yang sudah terkumpul sebisaku. "Ayah puas?" Tanyaku menunjuk dadaku gemetar.
"Disini. Ayah selalu dengan lihainya menghancurkan perasaanku." Kataku dan dengan tertatih berjalan keluar dari rumah sakit tanpa ayah kejar.
Aku juga tidak ingin melihat ke belakang untuk mengetahui air muka apa yang ayah tunjukan setelah mendengar perkataanku.
Sampai langkahku terhenti saat melihat seseorang menghalangi jalanku. Saat mendongak aku melihat beberapa pengawal ada di belakangnya. "Saya sekertaris Joan. Kami di titahkan untuk mengawal nona pulang ke kediaman utama Park."
Ah. Sial. Keluarga kolot konglomerat Park ternyata masih memantauku dan aku melupakan hal penting itu.
•••••
Rumah utama keluarga Park terlihat lebih lenggang dari biasanya. Bahkan beberapa pelayan yang biasanya terlihat di beberapa tempat pun tidak terlihat membuatku menelan saliva kelu.
"Silahkan nona, para tetua sudah menunggu."
Para tetua?
Aku masuk dengan jantung bertalu setelah dua pengawal yang sedari tadi mengikuti mulai membuka pintu.
Rasanya seperti pertemuan dalam sidang kerajaan yang sering aku lihat di platform komik online. Beberapa para tetua yang ada sekitar lima orang itu tampak duduk melingkar di tingkatan teratas.
Sementara nenek Soji duduk sendiri di tingkatan kedua dan di tingkatan terakhir ada tante Wendy serta paman Chanyeol.
Jay terlihat duduk bersimpuh di lantai membuatku tercekat. "Selamat siang Bella, bagaimana harimu?" Tanya salah satu tetua dengan satu senyuman yang tidak sampai kedua mata.
"Ba-baik nenek." Kataku bingung harus memangilnya apa sementara ia mengulas satu garis senyuman yang bahkan tak menaikan sudut bibir.
"Keadaan kandunganmu yang tidak baik-baik saja membuatmu merasa baik?"
Aku diam dengan jantung serasa seperti jatuh ke dasar perut.
"Bisa kau jelaskan Park Jongseong kenapa istrimu merasakan hal itu?"
"Maaf. Ini salahku karna telah lalai menjadi suaminya."
"Maaf bukan penyelesaian Jongseong." Kata salah satu tetua tegas. Yang sekon kemudian ia mengetukan tongkat kecil ke meja seperti tanda.
Sampai satu lelaki kekar datang mendekat sambil membawa tongkat bisbol dan menarik Jay yang sedari tadi bersimpuh untuk berdiri.
Belum sempat aku mencerna apa yang akan terjadi orang itu sudah memukul kaki Jongseong dengan tongkat bisbolnya sampai suamiku itu jatuh tersungkur dengan erangan tertahan.
Aku tahu itu sangat menyakitkan membuatku berteriak tertahan dengan kedua pipiku basah oleh air mataku tanpa bisa kutahan.
"Bagaimana Jongseong? Sakit?"
Jongseong mengangguk dengan geraham bergemelutuk, "Pukul lagi. Aku pantas menerimanya."
Satu tetua yang terlihat paling tua tampak mengusak dagu berpikir, "Untuk kerugian saham yang sedikit menurun karna skandalmu mungkin pukulan di kepala?"
Ruangan semakin memberat dengan teror absolut yang mencekik sementara tante Wendy dan paman Chanyeol hanya diam tanpa mencuatkan pembelaan pada anaknya.
"Tidak. Jangan." Aku dengan gemetar bersuara yang begitu menggema di dalam ruangan karna begitu hening sampai para tetua menarik atensi padaku sepenuhnya.
Seperti mesiu yang bisa kapan saja membuatku tumbang mati dalam sekejap. "Aku mohon maafkan Jongseong." Kataku dalam isak tangis tertahanku. "Ini hanya salah paham."
Para tetua itu tak bergeming hanya menatapku lurus seolah perkataanku tidak ada artinya sama sekali yang layak untuk mereka pertimbangkan.
Satu ketukan terdengar seperti lonceng kematian dan aku stagnan melihat dengan jelas bagaimana tongkat bisbol itu menghantam kepala Jongseong.
Ia terjerambab ke lantai dengan perlahan darah tercecer membuatku menjerit terjatuh berusaha menggapai Jongseong namun di cekal oleh seseorang ntah siapa.
"Peraturan utama di keluarga Park itu tidak ada maaf dalam setiap kesalahan Bella. Kau harus membayar kesalahan yang di perbuat meski dengan nyawamu sekalipun, ingat itu." []
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET & SOUR
FanfictionBella tidak pernah berencana menikah dalam kehidupannya setelah perceraian kedua orangtuanya. Baginya hubungan romantisme adalah lelucon paling lucu dalam kehidupan. Sampai takdir membelitnya bersama Park Jongseong yang tidak akan pernah melepasnya...