Ingatan seseorang itu bisa terkontradiksi oleh beberapa hal; terlalu menyakitkan untuk dikenang sampai di lupakan oleh si pemilik atau membuat kamuflase kenangan lain untuk melindungi diri.
Apa mungkin aku melakukan salah satu dari hal itu?
"Kenapa melamun terus sayang?" Tanya Jay membuatku terkesiap dalam lamunan dan menemukannya yang masih sibuk memasak.
"Bukan apa-apa." Kataku tanpa memberitahunya perihal si penelepon misterius beberapa saat lalu. Lantas bangkit dari kursi counter untuk mendekat pada Jay.
"Ada yang bisa kubantu? Aku bosan." Keluhku dan ia menggeleng. "Sudah tunggu saja. Sebentar lagi selesai kok." Tolaknya yang kemudian mengusak puncak kepalaku sesaat.
Aku pun memeluknya dari arah belakang yang sesekali kukecup bahunya. "Jay-yaa..."
"Hm?"
"Kau pernah membahas tentang ingatan musim panas dulu. Apa ada suatu ingatan di musim panas itu yang aku lewatkan dan lupakan?"
"Tak ada. Itu bukan apa-apa." Katanya mengusap tanganku sesaat yang bisa kurasakan gemetar halus dari tangannya. "Jay, tolong, kalau kau tahu sesuatu beritahu aku."
Jay pun mematikan kompor dan memusatkan atensi sepenuhnya padaku. "Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin memastikan kau masih ingat saat mengungkapkan perasaanmu padaku di musim panas itu."
Aku mencebik sebal dan memelintir perutnya. "Aduh! Kenapa malah di cubit sayangg.." Katanya sambil mengusap perutnya.
"Kau senang ya meledekku. Suka ya mengingatku di tolak secara mentah-mentah olehmu Park Jongseong."
"Aniyaaa yeobo.." Ia memelukku erat dan sesekali menduselkan ujung hidungnya pada hidungku, "Aku hanya tidak ingin kau melupakan satu waktu itu." Katanya sambil tersenyum.
Aku menatapnya dan terasa benar. Tapi di satu sisi lain aku merasa tak yakin seolah puzzle lain tertinggal dan terlupakan.
•••••
Aku terbangun terenggah dengan nafas memburu sementara Jay sudah berada di dekatku tampak menatapku khawatir. "Ini minumlah sayangg.." Katanya menyodorkanku satu gelas air putih setelah aku duduk dengan benar.
Mimpi buruk itu kembali datang lebih sering dari biasanya. Suara ngengat berbaur dengan hujan dan aku berlari dari kejaran seseorang yang akan membunuhku.
"Hei, hei, sayang tenanglah." Jay memelukku yang semakin gemetar dan mengusap punggungku lembut. "Tenanglah, aku disini..."
Aku mengangguk dan membalas pelukannya untuk meyakinkan diriku bahwa aku tak sendiri. Tak perlu merasa khawatir untuk sesuatu yang berbahaya akan menimpaku.
Jay akan melindungiku. Aku yakin akan hal itu.
Setelah lebih tenang aku pun kembali tertidur dalam pelukannya dan terbangun keesokkan paginya tanpa Jay di sampingku.
Aku melihat ada sarapan bubur ayam di meja nakas untukku dan susu coklat. Satu note terselip yang mengatakan bahwa ia harus pergi untuk mengurusi beberapa hal di kampus.
Aku pun memakan sarapan buatannya dan bersiap untuk pergi pulang ke rumah agar ibu tidak khawatir karna kepergianku yang mendadak tanpa ucapan apapun lusa kemarin.
Meski Jay sudah memberi kabar telepon pada ibu mengenai keadaanku lusa kemarin. Tapi tetap saja aku perlu bertemu ibu untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku meski tidak semua kujelaskan.
"Bella." Aku yang sedang berjalan menuju rumah setelah turun dari bus pun berhenti tatkala mendengar suara seseorang memanggilku dari arah belakang.
Ternyata itu Jake membuatku hampir meloloskan satu dengusan namun di tahan demi kesopanan. "Baru pulang?"
Aku mengangguk dan ia berjalan beriringan denganku, "Bagaimana kandunganmu? Baik-baik saja?"
"Seperti yang kau lihat Jake." Kataku dan ia tersenyum seolah segala hal di dunia ini begitu manis seperti permen kapas. "Syukurlah. Jay pasti senang."
"K-kau mengenal Jay?"
"Tentu." Katanya ringan, "Aku mengenal suami bohonganmu."
"Apa?"
"Upsss.." Ia menutup mulut dan mengulum satu senyuman yang memberikan kesan janggal. "Apa maksudmu Jake. Berbicara dengan jelas." Tuntutku.
Kami berhenti berjalan di persimpangan dekat jejeran pohon mapple yang berdiri menjuntang di antara kami. "Jangan berbicara berbelit-belit. Kalau kau ingin mengatakan sesuatu katakan dengan jelas." Kataku dengan nada tegas.
Sementara ia malah tertawa keras seolah perkataanku itu lelucon paling lucu dan menepuk kedua bahu yang perlahan mencengkramnya.
Aku menatapnya lurus-lurus tanpa ingin terlihat terintimidasi sama sekali olehnya yang kini berganti air muka begitu kelam menatapku. "Kau tahu, mengetahui terlalu banyak rahasia akan membuatmu terbunuh lebih cepat Bella." Katanya dan aku menyentak kasar cengkramannya pada bahuku.
"Omong kosong." Desisku dan berjalan menjauh sementara ia masih berdiri di belakang sana. "PESTANYA AKAN SEGERA DI MULAI BELLA. TUNGGU SAJA!!"
Dasar gila.
Aku tidak menggubris teriakan keras dari Jake. Sepertinya dia memang orang tidak waras yang mungkin tengah kabur dari salah satu rumah sakit jiwa.
Setelah sampai di rumah ternyata ibu, Sunoo dan kak Taehyung sedang tidak ada di rumah karna keadaan rumah gelap lengkap dengan pintu pagar tergembok.
Sementara ponselku juga ntah dimana karna aku lupa menanyakan hal itu pada Jay setelah kehilangan kesadaran di rumah utama Park.
Aku pun memanjat pintu pagar yang memang tidak terlalu tinggi dan mudah di panjat karna malas kembali pulang ntah karna apa.
Seolah disini memang rumahku. Tempat teramanku.
Lalu menarik kunci cadangan yang kusembunyikan di salah satu pot tanaman di belakang rumah. Sampai masuk ke rumah aku pun menyalakan lampu dan akan segera naik ke atas kamarku kalau saja netraku tidak terpaku pada sesuatu di atas meja.
Aku mendekat dan membawa mainan kincir angin pemberian Jihoon dengan satu note kecil melekat. Aku kembalikan lagi ya sayang.
"Jay?!"
Aku kesal. Apa Jay sedang membuat lelucon atau kejutan bersama keluargaku?
"Jay aku tahu kau ada disini. Keluarlah!"
"Ibu, Sunoo, Kak Taehyung keluarlah! Ini tidak lucu tahu!" []
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET & SOUR
Fiksi PenggemarBella tidak pernah berencana menikah dalam kehidupannya setelah perceraian kedua orangtuanya. Baginya hubungan romantisme adalah lelucon paling lucu dalam kehidupan. Sampai takdir membelitnya bersama Park Jongseong yang tidak akan pernah melepasnya...