45. Voice

2.5K 308 39
                                    

Aku terbangun dengan tubuh yang sudah terbaring nyaman di ranjang lain lengkap dengan pakaian pasienku. Jarum infus pun kembali menancap di punggung tanganku.

Sementara Jay tak terlihat di manapun. Bahkan ranjang miliknya yang tadi malam menjadi tempat pergumulan kami tampak rapih seolah tak pernah ada kejadian panas semalam.

Apa itu hanya mimpi?

Aku bangun terduduk memeriksa diri dan bangkit berdiri dengan milikku yang terasa perih membuatku sedikit banyak lega. Bahwa semalam bukanlah mimpi.

Tapi dimana Jay?

Aku menarik jarum infusku agar tak kesulitan berjalan keluar dari ruangan dan menemukan kondisi rumah yang lenggang memberikan kesan janggal.

Sampai sebuah suara lantunan melodi terdengar dari arah ruang rawat lain.

"Jay, kau kah itu?"

"Jayy..."

Aku terus berjalan sampai di depan pintu ruang rawat inap 111 dengan papan nama huruf kanji Jepang.

"Bella!!"

Aku terkesiap oleh panggilan keras Jay yang terlihat di ujung lorong segera berlari tergopoh-gopoh mendekat padaku. Lantas tanpa berkata apapun ia menarik lenganku menjauh dari ruangan itu.

Sampai kembali pada ruang rawat inapnya. "Kenapa kau kesana huh?!" Katanya dengan suara membentak membuatku kaget, heran dan sedih mendapati bentakannya bercampur menjadi satu.

"Hei, hei maaf.." Katanya merangkum wajahku penuh sesal dan mempertemukan keningnya yang sudah tidak di balut perban dengan keningku.

"Okay.." Sahutku pelan dan ia memelukku erat yang bisa kurasakan tubuhnya gemetar seolah aku baru saja akan mencapai pada kumbangan kematian. "Hei, kau yang kenapa Jay? Kau baik-baik saja?"

"Tak apa." Katanya mengurai pelukan untuk menatapku seolah meyakinkanku tapi dari netranya yang kulihat malah ia terlihat mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

"Kita pulang sekarang." Katanya segera meraih tanganku keluar dengan gemetar. "Aku sudah mendapati ijin untuk hal itu." Katanya yang kuterima dengan sepenuh hati.

Aku juga tidak betah berada di rumah ini yang ternyata seperti paviliun kecil yang terletak di selatan rumah utama keluarga Park.

Yoonji dan Sunghoon terlihat keluar dari paviliun lain dengan wajah muram yang kentara. Lantas tanpa sempat bertegur sapa Jay sudah membawaku masuk ke dalam mobil yang terparkir di depan paviliun.

Ia melaju cukup cepat keluar dari perkarangan rumah utama keluarga Park yang halamannya begitu luas bukan main. Bahkan untuk mencapai pagar utama butuh sepuluh menit lamanya dengan kendaraan mobil.

Kalau dengan kedua kaki harus di tempuh berapa lama?

"Aku seharusnya pamitan dengan keluargamu dulu Jay terutama kedua orangtuamu." Kataku setelah laju mobilnya lebih manusiawi dan air muka Jay sudah tak setegang tadi.

"Tak apa. Aku sudah mewakilkannya Bella." Ia melirikku sambil tersenyum seolah semua akan baik-baik saja.

"Lagi pula aku tak sabar ingin memperlihatkan rumah baru untukmu."

"Rumah baru lagi?"

"Rumah di gangnam itu kan kau tidak menyukainya." Katanya ringan seolah membeli rumah seperti membeli cemilan.

"Padahal aparteman juga sudah cukup." Kataku dan ia terkekeh kecil.

"Selagi aku mampu Bella." Katanya dan mengamit tanganku untuk ia kecup sesaat. "Aku ingin memberikan segala hal yang terbaik untukmu dan anak kita."

••••

Rumah yang Jay beli kali ini tampak lebih sederhana tak semewah yang ada di gangnam namun memberikan kesan hangat membuatku mengulum senyum. "Kau suka?" Tanyanya dan aku mengangguk dengan heboh.

Ini baru rumah impianku.

Apa lagi ini tidak ada desain yang ada Seulhae ikut campur di dalamnya.

Rumah bertingkat dua dengan halaman belakang yang luas membuatku bisa menanam banyak tanaman. Mungkin pohon juga.

"Syukurlah kalau kau suka." Katanya memelukku dari belakang dan mengecup puncak kepalaku.

"Sejak kapan kau memindahkan foto pernikahan kita?" Tanyaku menunjuk foto pernikahan kami di dinding ruang keluarga.

"Aku membuat duplikatnya. Satu disini dan satu di aparteman."

"Pemborosan lagi." Cibirku dan ia malah terkekeh semakin memelukku kembali sampai kemudian berjongkok mengecup perutku sesaat.

"Sayang kau dengar tadi? Ibumu suka sekali mengomeli ayah."

"Soalnya ayahmu boros. Suka sekali menghamburkan uang padahal itu bisa di pakai dengan hal lain yang lebih bermanfaat." Omelku dan Jay membuat wajah mencebik.

Lalu memeluk perutku dengan sengaja menduselkan ujung hidungnya, "Nak, dengar ya? Kamu kalau lahir nanti harus membela ayah ya. Jangan ikut mengomeli ayah."

"Sudah Jay gelii..." Kataku mengangkat wajahnya yang semakin cemerut lucu membuatku lupa untuk semua kesalahannya sesaat dan mengecup ujung hidungnya.

Ia tertawa dan membawaku lagi ke dalam pelukannya. Sampai suara dering ponselnya terdengar yang perlahan ia melepas pelukan dan berjalan menjauh.

Sampai suara deringan telepon rumah berdering keras membuatku terkesiap kaget. Aku pun mengangkat sambungan telepon dengan heran, "Hallo?"

Lama tak ada suara. Sampai suara bunyian melodi yang sempat kudengar tadi di ruangan 111 itu terdengar.

"Hallo? Dengan siapa saya bicara?" Kataku dengan jantung bertalu dan akan menutup telepon kalau satu suara tak terdengar.

"Bella, kau menyukai rumah itu? Rumah dimana tempat kita menua nantinya."

"Kau pasti menyukainya." Kekehnya dari sebrang telepon. "Aku selalu tahu apa yang kau sukai Bella."

"Siapa kau?" Tanyaku gemetar. "Kau mengenalku?"

"Tentu saja sayang, mana mungkin aku tidak mengenal orang yang aku cintai selama ini..."

"Jangan banyak bicara, cepat katakan siapa kau huh?!"

"Tenang sayang, tenanglah... sebentar lagi kita akan bertemu dan aku tidak akan pernah melepasmu lagi Bella." []

SWEET & SOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang