37. Wretched

2.4K 325 64
                                    

Ruangan yang di miliki oleh tante Wendy seperti selayaknya ruang kerja pada umumnya. Jendela yang terbuka menampilkan suasana musim gugur terlihat begitu sendu.

Begitu mendukung sekali perasaanku yang redup tatkala bersebrangan dengan Jay yang duduk di samping Seulhae dengan kedua tangan saling tertaut.

Lantas memilah banyak ingatan bagaimana ia seolah begitu mencintaiku, apa itu hanya kamuflase miliknya untuk menundukkanku?

"Urusanku dengan mereka belum selesai bu." Kata Jay memecahkan keheningan lamat di ruangan ini yang sempat membeku.

"Para tetua selalu mengawasi Jay, kau tahu itu sejak lama bukan?"

"Tapi bu--" Jay tampak mengusap wajah frustasi dan tidak pernah sedikitpun menatapku. Seolah aku tak ada dan hanyalah angin lalu.

"Mereka mengancam keselamatan Seulhae."

"Lantas?" Tante Wendy menaikkan satu alisnya, "Ibu juga harus melindunginya? Begitu?"

Jay terdiam, "Bu, kumohon, ini--"

"Sudahlah. Ibu tidak punya waktu untuk mengurusi wanita simpananmu."

"Apalagi wanita rendahan sepertinya."

"Ibu!" Jay membentak dengan suara keras. "Jaga bicara ibu, bagaimana pun Seulhae sedang mengandung anakku."

"Anakmu yang akan aku akui adalah yang di kandung oleh istrimu, Bella."

"Jadi berhentilah bermain-main Jay, sebelum para tetua murka dan ibu tak lagi bisa melindungimu."

Tante Wendy pun beranjak pergi dan tinggalah kami bertiga dengan kesunyian pekat. Sampai suara isak tangis Seulhae terdengar memecahkan keheningan, "Bagaimana ini Jay hikssss aku takuttt hiksss..."

"Sudah Seul tenanglah..."

Aku terdiam masih mencerna segalanya sampai netraku bersinggungan dengan Jay yang mengatakan satu kata maaf tanpa suara padaku.

Ah sial. Sakitnya bukan main sampai sulit kurangkai dalam kata.

Segera beranjak namun saat akan melangkah semua terasa berputar dan pandanganku menggelap.

Sayup suara Jay terdengar dan aku merasa tubuhku di rengkuh hangat sebelum kesadaranku hilang sepenuhnya.

••••

Suara ngengat dan hujan berbaur. Aku berlari seolah sesuatu tengah mengejarku yang memberikan rasa ngeri begitu kentara sampai aku kesulitan mengais nafas.

"Bella!"

Aku terbangun dengan nafas memburu dan tubuh bergetar penuh keringat.

Mimpi buruk itu kembali yang membuatku sesak mencoba bernafas dengan benar. Mengingat hitungan mundur dalam ritme pelan yang di ajari oleh dokter Yun dulu.

Satu

Dua

Tiga

"Hei, tenanglah sayang..." Jemari dingin Jay mengusap kedua pipiku lamat dan menyodorkanku satu gelas air yang segera aku tenggak sampai habis.

"Sayangg, sudah lebih baik?" Aku menatap Jay dengan pandangan basah oleh air mata yang tergenang dan perlahan jatuh di kedua pipiku.

"Kenapa?"

Kenapa mimpi buruk itu kembali?

Jay menatapku dengan tatapan hangatnya dan memelukku sampai aku terisak keras ingin meluruhkan rasa sesak yang semakin menyesakkan.

"Aku lelah Jay hikssss aku ingin pulang."

"Iya, nanti pagi aku antar kamu pulang."

"Hikssss..."

Bahkan sekarang ia tidak menahanku sama sekali.

"Dasar brengsek." Makiku melepaskan pelukannya dan mengepalkan kedua tanganku untuk memukul dadanya keras berulang kali.

Jay membiarkanku sampai aku kelelahan sendiri menyandarkan kepalaku di dadanya sambil terisak pilu, rasanya air mataku tak pernah habis jika menyangkut si sialan ini.

"Sebetulnya kau mencintai siapa Jay? Aku atau Seulhae?"

"Mianhae..."

"Aku tidak butuh maafmu sialan!!" Teriakku dan mencengkram erat kerah kemejanya sampai pandangan kami tertaut mati, "Aku butuh kepastian Park Jongseong."

"Aku tidak bisa terus dipermainkan olehmu seperti ini."

"Bella, sayang.." Jay merangkum wajahku lembut yang masih terasa begitu adiktif seolah aku tenggelam dalam feromon yang memabukkan.

"Aku mencintaimu sayang, selalu. Bahkan sebelum kau mencintaiku."

Aku terdiam. Stagnan. Tak mengerti dengan dirinya yang begitu lihai dalam sandiwara.

"Apa aku terlihat begitu mudah untuk kau bodohi Jay?"

"Tidak." Ia mendesis lirih. "Itu kebenaran dan kau sudah pasti tidak mempercayaiku."

Aku mendorongnya kasar menjauh. Mendadak begitu kesal dan jijik berdekatan dengannya yang penuh manipulatif.

"Pergilah."

"Okay." Jay beranjak dari atas ranjang dan aku menyadari kini bukanlah di kamar aparteman kami.

Mungkinkah ini masih di rumah utama?

"Aku akan tidur di sofa." Katanya mencoba membenahi sofa yang ada di sudut ruangan. "Akan sangat aneh jika pagi nanti kita keluar dari kamar yang berbeda."

"Terserah. Mau kau tidur di mana pun aku tidak peduli yang terpenting tidak di dekatku."

Jay malah tersenyum, "Araseo."

"Jangan harap kau bisa menyentuhku lagi Jongseong."

"Okay. Tidurlah Bella." Katanya ringan membuatku mendecih kasar.

"Tidurlah sayang, kau masih demam dan aku tidak ingin bayiku ada apa-apa."

"Bayi?" Aku bingung dengan konteks bayi yang si Jongseong kuapkan. "Apa maksudmu?"

"Kau tengah mengandung Bella, bayi kita."

"A-apa?" Aku beranjak turun untuk memastikan dengan jelas mendekatinya. Siapa tahu aku salah dengar karna jarak yang cukup jauh.

"Kau bicara apa tadi?"

Jay bangkit dan berlutut di hadapanku mengusap perutku lamat, "Disini, sekarang ada bayi kita Bella. Anak kita." Katanya yang kemudian mengecup perutku membuatku stagnan.

Dalam detik berlalu aku bukannya merasakan kebahagian yang meletup-letup seperti dalam kumbangan permen kapas.

Malah rasanya begitu getir dan pahit, "Aku tidak ingin anak ini lahir." []

SWEET & SOURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang