Seberapa keras pun aku mencoba mengingat. Memilah lembaran ingatan atau partikel yang mungkin terselip dalam laci kenangan. Tetap saja aku tidak pernah merasa pernah mengenal Jake.
Tapi mengapa ia mengatakan senang bertemu denganku lagi?
Padahal jelas sekali kalau itu pertemuan kali pertamaku dengannya.
Ah. Lupakan. Lupakan.
Aku mencoba tertidur namun terusik oleh satu suara dari arah jendela kamarku dan terkejut bukan main seolah jantungku di renggut dalam satu sentak saat melihat Jay masuk lewat jendela. "Sstt jangan berisik." Katanya pelan sementara aku tetap stagnan.
Aku tipe orang yang kalau kaget bukannya berteriak keras sekali tapi diam membeku seperti orang idiot.
Ia terlihat mengulum senyum dan berbaring begitu saja sambil menompang kepalanya dengan satu tangan menatapku. "Aku tetiba saja merindukan istriku." Katanya membuatku mendengus setelah menguasai rasa kagetku.
"Aku akan berteriak maling kalau kau berbuat macam-macam." Kataku kembali berbaring dengan nyaman dalam selimbut.
"Oh ya?" Ia malah semakin mengikis jarak membuat aroma musk khas miliknya tercium dan masih memberikan afeksi berlebihan.
Aku juga tak menampik detak jantungku yang kian anomali. "Bella, tahu tidak?"
"Tidak. Tidak mau tahu."
Ia terkekeh dan dengan santainya merengkuh tubuhku dalam pelukannya memberikan rasa hangat seperti damar dalam kegelapan. "Aku mencintaimu sejak kecil."
"Kebohongan apa lagi itu?"
"Itu kebenaran Bella." Bisiknya semakin mengeratkan pelukan dan mengecup ringan pipiku.
"Aku akan teriak sekarang." Kataku menahan tangannya yang mengusap perutku. "Kenapa? Aku kan hanya ingin menyapa anakku?"
Ia perlahan membuka selimbut membuatku menahan nafas dan merasakan bibir panasnya mengecup perutku lamat. Bertubi-tubi, "Selamat malam sayang.. ini ayah."
Aku memalingkan wajah. Berusaha keras mengeraskan hatiku agar tidak mudah luluh oleh peranggainya yang sekarang seperti lelaki penuh gulali.
"Bella.."
"Apa." Ketusku. Masih tidak ingin menatapnya dan merasakan Jay mulai mengukung tubuhku.
"Lihat aku."
"Tidak mau."
Kekeh gemanya yang menggelitik seperti rayuan iblis yang akan membawa pada satu pintu neraka, "Kau tidak ingin lihat suami tampanmu?"
"Kata siapa tampan? Kau jelek mirip kuda."
Ia terbahak keras membuatku menutup mulutnya, "Jangan terlalu keras nanti ibu dengar dan curiga. Kau kan bilang ke luar kota."
Jay mengangguk dan perlahan kulepas bungkamanku. Sampai netra kami terpaku mati seolah menyelami perasaan satu sama lain.
"Aku mencintaimu Bella dan itu bukanlah kebohongan."
"Kabar buruknya aku tidak mempercayaimu lagi Jay, seberapa pun aku ingin tapi tetap tak bisa." Kataku yang bisa kulihat kilat redup menyedihkan dalam netranya yang menatapku.
"Tak apa. Aku mengerti dengan benar konsekuensi yang akan aku terima setelah memilih Seulhae untuk tetap ada di antara kita Bella."
"Menyingkir." Kataku berusaha mendorongnya menjauh dari atas tubuhku. Mendengar nama Seulhae dari mulutnya membuatku meradang oleh amarah yang kembali menggebu.
"Aku sudah bilang. Tidak akan membiarkanmu menyentuhku lagi." Kataku semakin berusaha mendorongnya menjauh dari atas tubuhku.
"Sayangg, tenanglah." Katanya berbisik dengan suara seperti madu. "Kumohon tenanglah, aku hanya merindukanmu."
Ia mendekapku erat dan menciumi puncak kepalaku sampai aku perlahan berhenti memberontak. "Aku tak akan memaksa. Jika kau ingin berhenti maka aku akan berhenti." Katanya yang kemudian mengecupi setiap inchi tubuhku membuatku dalam rengkuhan rasa hasrat yang menggelora.
"Tidak. Berhenti." Kataku keras dalam sisa kewarasanku. Menatapnya lurus yang terdiam membeku seolah tak menyangka akan penolakanku. "Aku akan sangat membencimu jika kau terus melanjutkan ini."
Jay pun mengangkat tubuhnya menjauh dariku dan terduduk di sisi ranjang. Kelewatan tampan dan panas sekali yang segera kupalingkan wajahku.
Aku tidak akan membiarkannya menyentuhku lagi. Tak akan.
"Bella..."
"Pergilah. Aku sudah tegaskan kalau aku akan tetap disini jika kau masih bersama Seulhae."
"Aku tak akan membiarkanmu menyentuhku selama kau bersama Seulhae," Aku menjeda pahit dan tetap melanjutkan agar ia mengerti.
"Kita jalani saja pernikahan rusak ini. Hanya status tanpa hubungan ataupun sentuhan apapun jika perceraian memang tidak bisa dilakukan."
Jay terkekeh parau sambil mengusak surainya yang kemudian memalingkan wajah sesaat aku melihat titik air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.
"Kau memang selalu pandai menyakitiku Bella."
"Apa?" Aku beranjak tak terima. "Aku menyakitimu?"
"Sudahlah. Berbicara pun kau tidak akan mengerti posisiku." Katanya beranjak dan aku menahan tangannya yang segera ia tepis.
"Kau jangan begini Jay." Kataku berjalan meraihnya yang akan kembali keluar lewat jendela kamar. "Jelaskan permasalahanmu agar aku mengerti."
"Tidak perlu. Kau istirahat saja." Ia keluar begitu saja yang aku dengan tanpa pikir panjang keluar mengikutinya.
"Pembicaraan kita belum selesai Jongseong." Kataku mengejarnya menuju mobilnya yang terparkir cukup jauh dari rumahku.
Ia perlahan berhenti dan berbalik menatapku redup, "Kau masih tidak ingat kejadian musim panas saat itu?"
Aku terdiam stagnan. Di kedua sisi jalan terlihat dedaunan mapple berguguran memberikan kesan sendu sekaligus magis yang tercipta antara aku dan Jay yang kini berhadapan menatap satu sama lain penuh luka.
"Tidak." Kataku pada akhirnya. "Musim panas yang kau maksud apakah saat kita satu kelompok dalam proyek musim panas?"
"Iya," Suara Jay tersendat dan sedikit bergetar, "Musim panas itu."
Aku mencoba mengingat hal-hal janggal namun dalam ingatanku semua terlihat biasa saja. Sementara Jay perlahan menghela nafas dan berjalan memelukku.
"Sudah lupakan. Aku hanya asal bicara." Katanya yang sudah jelas itu hanyalah angkara memuakkannya.
"Aku pergi. Jaga dirimu baik-baik." Ia perlahan melepas pelukan sampai punggungnya menjauh dan pergi bersama mobilnya.
"Aku tidak menyangka kalian akan bersama." Kata seseorang dari arah belakang membuatku terkesiap menoleh ke asal suara.
Itu Jake. Lelaki aneh yang baru kutemui tadi sore di toko klontong paman Hoseok.
"Tak heran sih." Katanya terkekeh manis namun terasa begitu janggal dan membuatku melangkah mundur.
Ia mendekat dan mengusap sisi wajahku membuatku terdiam seolah di paku mati dalam udara, "Kau tidak ingat berhutang nyawa padaku Bella?" []
KAMU SEDANG MEMBACA
SWEET & SOUR
FanfictionBella tidak pernah berencana menikah dalam kehidupannya setelah perceraian kedua orangtuanya. Baginya hubungan romantisme adalah lelucon paling lucu dalam kehidupan. Sampai takdir membelitnya bersama Park Jongseong yang tidak akan pernah melepasnya...