Pembuangan Mayat

2 0 0
                                    

Nama dna tempat di ubah oleh si Penulis (Erza)

Namaku Habiba, seorang gadis yang masih duduk di bangku SMP. Aku tinggal bersama ibu dan nenekku disebuah rumah tua yang berdinding kayu dan beralaskan tanah. Sebenarnya, baru-baru ini saja kami tinggal hanya bertiga, sebelumnya rumah itu kami di tinggali pamanku, adik kedua dari ibuku beserta anak-anaknya.

Banyak cerita yang tersimpan di dalam rumah kami, tapi bukan hanya di rumah kami saja. Di desa tempat ku tinggal ini sebenernya bekas tempat pembuangan mayat budak pada zaman penjajah Belanda.
****

"Bibah, ibu berangkat ke warung ya, kamu buruan mandi dan siap-siap ke sekolah", pamit ibuku yang hendak mencari nafkah. Ya, ibuku adalah seorang pedagang kelontong yang memiliki warung di pinggir jalan, ibu menjaga warung bergantian dengan nenekku.

Aku yang sedang asyik merapikan seragam sambil bercermin, seketika mataku terbelalak dan bulu kudukku meremang. Seakan tidak percaya dengan apa yang ku lihat, seorang perempuan berbaju putih berambut panjang dengan lingkar mata hitam lewat di belakangku sembari menoleh dan menatapku dari cermin.

Dengan tubuh yang gemetar aku segera mengambil tas sekolahku dan berlari keluar.
Sejak saat itu aku selalu terbayang sosok itu.

*Dalam hati ku
"Jangan - Jangan yang ku lihat tadi, adalah arwah budak yang di kubur di bawah rumah ku.....hiiiiii serem...."

Bukan hanya di rumah ku saja, Balai desa dan sekolah ku yang jaraknya hanya 50 meter dari rumah ku.
Cerita di  MTS ku yang sudah berdiri sejak 30 tahun lalu, ya bisa dikatakan pusat pembuangan mayat berada disitu 'itu yang ku dengar dari warga kampung ku sini'
akan tetapi kepala sekolah periode 2013 memutuskan untuk melebarkan bangunan sekilah di samping rumah ku sebab terdapat sebidang tanah seluas 100×80.

Kejadianya bermula saat kegiatan pramuka di sekolah kami. Waktu itu saya bersama 4 teman yaitu : Apri, Sandi,Apin dan Maura. Saya bertugas ronda malam tepat malam Jum'at jam 22:30. Aku memutuskan untuk mangajak temanku, Sandi untuk melakukan ronda malam dengan mengelilingi sekolah kami yang lumayan luas. Kami berdua pun berkeliling, awalnya sih santai santai aja.

Di saat sampai di toilet wanita kami berdua mendengar suara gayung berjatuhan dan aku mencoba membuka pintu toilet satu demi satu alangkah kagetnya kami berdua karena ada seorang anak perempuan bersimpah darah berlari sambil menembus pagar-pagar tanaman toga sampai berhenti di kantin.

Melihat hal itu sontak Sandi berteriak "Maling... maling...!"

Sontak para peserta bangun dan menghidupkan semua lampu yang ada saat kami melihat keluar pagar, toilet, dan kantin serta ruang-ruang kelas. Terdengar juga suara auman seperti gajah diikuti dengan batu sebesar kepal orang dewasa menghantam atap kantor kepala sekolah dan malam itu sekolah kami riuh, terdengar pula suara kursi terbanting.

Sampai sekarang sekolah kami sering mendapat gangguan seperti kesurupan, benda bergerak sendiri dan banyak lagi. Karena itu kegiatan di tahun - tahun setelahnya di tiada kan.

Lalu cerita dari Apri yang waktu itu melihat Kuntilanak Belanda sedang ditandu di atas lima pria, ia melihatnya di samping Balai desa saat waktu menunjukan pukul 18:00 atau lebih tepatnya setelah adzan Maghrib. Apri pun lari terbirit birit melihatnya, ia pun sempat kesurupan.
Memang si Apri ini sejak kecil dapat melihat hal - hal ghaib.

Dan di perbatasan Desa.
Ada sebuah sungai kecil yang biasa dijadikan tempat pemancingan warga disini. Salah satu anak dari warga disini yang biasa di panggil Kiki, pernah melihat pocong yang sedang berbaris di tepi sungai. Saat itu ia sedang mencari umpan untuk memancing, Kiki pun melihat pocong - pocong yang tak utuh bentuknya. Ada yang tak mempunyai mata, ada yang kedua tangannya hilang, dan pula ada pocong tanpa kepala.

Cerita lainnya dari teman sekolah ku bernama Apin dan pacarnya Maura. Mereka saat itu sedang lewat depan rumah ku dengan sepeda, sedang asyik-asyiknya menikmati suasana malam setelah hujan. Mereka dihampiri sesosok anak kecil yang tubuhnya setengah kerangka, mereka berdua pun lari sampai meninggalkan sepeda mereka di depan rumah ku.

Sudah menjadi kebiasaan warga sini setiap malam satu suro untuk menyajikan sesajen di depan rumah mereka. Banyak orang pintar yang berkunjung di Desa kami, tetapi tak seorang pun yang mampu bertahan.
Terkadang Ibu ku memikirkan untuk pindah rumah, karena nenek ku yang selalu menahannya. Sebab rumah ini adalah satu-satunya harta nenek.

Begitulah cerita ku, jadi maaf jika agak ngelantur.

Terimakasih

Total HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang