Kemenyan

5 1 1
                                    

Nama dan tempat di ubah oleh si Penulis (Erza)

Nama ku Syidah, aku berusia 18 tahun. Aku tinggal bersama ayah ku, ia adalah pedagang benda pusaka dan kemenyan.

"Nduk, ini sudah Bapak bungkusi. Malam ini malam satu Suro, pasti banyak yang butuh. Kamu jual keliling kampung pakai sepeda, ya ...." titah bapak sore ini. Sebuah perintah yang selalu berusaha kuhindari selama bertahun-tahun.

Aku hanya mengangguk tanpa suara. Selepas salat Ashar, mengenakan kerudung hitam panjang, aku berkeliling menawarkan kemenyan dagangan Bapak.

"Menyan ... menyan .... Barang tidak bermanfaat yang bikin musyrik ... siapa mau beli ... siapa mau beli ... menyan ... menyan ...." sambil berteriak dari rumah ke rumah

Tidak ada yang merasa aneh dengan caraku menjajakan kemenyan. Mereka sudah hafal dengan kalimat-kalimat yang kuteriakkan setiap kali berkeliling. Hanya saat awal-awal dulu saja mereka mencibir, lalu lama-lama terbiasa.

Meski sudah kubuat sedemikian rupa, tetap saja laku. Mungkin karena memandang posisi Bapak yang seorang dukun sekaligus juru kunci sebuah tempat keramat. Para pelanggan biasanya adalah orang yang sudah sering datang ke rumah.

Hanya satu putaran saja aku berkeliling. Meski begitu, hari sudah senja saat aku tiba di rumah. Kampung ini amatlah luas tanpa ada rumah yang berdempetan sehingga waktu yang kusia-siakan untuk berjualan barang syirik ini jadi cukup lama.

Segera aku berganti baju lalu mengerjakan tugas sekolah sambil menunggu maghrib. Uang dan sisa kemenyan kuletakkan di meja dapur. Bapak tak terlihat, mungkin sudah mulai bersiap-siap untuk ritualnya.

Malam ini, seperti pesan Bapak, aku harus tetap di kamar sepanjang malam tanpa boleh keluar. Ku manfaatkan waktu untuk memperbaiki hafalan Qur'anku dan murojaah, lalu tidur tanpa menghiraukan suara-suara yang berseliweran di depan kamar.

Hal itu terus terjadi selama bertahun-tahun. Bapak merapal mantra, aku menghafal Al Qur'an.

Suatu kali, pernah aku menyampaikan apa yang ku pahami sebagai hal yang benar kepada Bapak.

"Pak, Bapak tahu Syidah sayang Bapak?"

Bapak yang sedang meracik sesuatu entah apa, menoleh lalu tersenyum menatapku.

"Anak Bapak sudah pasti baik dan sayang Bapak. Begitu juga dengan Bapak'' jawab Bapak

"Kalau begitu, berhentilah, Pak ... Syidah sedih melihat Bapak terus-terusan begini," ucapku pelan dan hati-hati. Sekuat tenaga aku berusaha agar sedu itu tak terlepas.

Bapak menghampiriku. Menatap, lalu membelai rambutku.

"Bapak lakukan ini demi kamu, Nduk, sigaraning nyowone Bapak." ucap Bapak

Mataku memanas mendengarnya. Selalu itu alasan Bapak. Sungguh dia adalah sosok Bapak yang penyayang dan lembut kepadaku.

Ada yang menganak sungai saat Bapak memelukku. Aku menjerit dalam hati. Tidak adakah cara lain untuknya menyayangiku?

"Nurul hanya ingin bisa berkumpul dengan Bapak di akhirat nanti," ucapku lirih. Bapak hanya diam sembari mengusap punggungku.

Bapak tak pernah melarangku untuk mendalami agama. Sejak kecil, apa pun yang kumau selalu diberikannya untukku. Sedikitpun orang tua itu tak pernah marah apalagi memukulku. Sering jika aku bermain terlalu lama, ia akan segera menyusulku. Pernah satu kali, dulu, aku menumpahkan setampah sesaji yang susah payah bapak siapkan, tapi yang dilakukannya hanyalah mengelus kepalaku, lalu berkata agar aku tidak mengulanginya lagi. Dibereskannya sesaji yang berantakan itu dalam diam.

Bapak yang sejak dulu selalu kubanggakan, membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Ibu telah lama tiada. Kata Paman, adik dari Ibu, Ibu adalah seorang wanita soleha. Besarnya cinta ibu pernah membawa Bapak pada jalan yang lurus. Namun, sayang, kepergian ibu membawa kesedihan yang mendalam di hati lelaki penyayang itu. Ibu wafat dalam keadaan syahid saat melahirkanku, saat itu juga, bapak terpuruk dan kembali kepada ritual-ritual lamanya.

Dialah lelaki terbaik yang pernah kutemukan di dunia. Dia yang tak pernah menolak permintaanku, justru tak bersedia melakukan hal yang paling kuinginkan sepanjang hidupnya.

***

Aku ikut Paman tinggal di kota dan bekerja sebagai guru. Seminggu sekali aku pulang menjenguk Bapak. Tapi lelaki yang merawatku sejak kecil itu tak sedikit pun berubah. Ia masih sama, Bapakku yang penyayang, juga masih dalam kepercayaan yang dipegang.

Telah berbagai cara kucoba untuk membujuk Bapak. Namun yang kudapatkan tak lebih dari senyuman.

Satu bulan terakhir, karena padatnya kesibukan, aku belum sempat pulang ke kampung. Hingga suatu pagi, Paman menjemputku di tempatku mengajar. Disampaikannya bahwa Bapak telah tiada setelah melalui beratnya sakaratul maut, begitu sulit karena banyaknya pusaka yang bersemayam di tubuhnya. Keluarga besar Bapaklah yang merawat beliau selama sakit. Kabarnya, mereka tak ingin aku tahu kesulitan yang dialami Bapak, dan ritual-ritual penyembuhan yang mereka usahakan untuk lelaki kebanggaan mereka itu.

Tubuhku lemas. Tak sempat aku menyelamatkan keimanan Bapak di saat-saat terakhirnya. Iblis telah membawa pergi belahan jiwaku yang berharga.

***

"Bapaaakkkkk!" teriakku kelu di rumah yang kami tinggali dulu.

Aroma menyan sialan itu masih memenuhi seluruh penjuru rumah. Kusadari betapa lemahnya aku sebagai manusia. Meski telah kukerahkan segala upaya dan tenaga, aku tetap saja kelihangan Bapak dalam kegelapan.

Mbah Putri, nenek dari pihak Bapak, tergopoh-gopoh menghampiriku lalu memelukku erat.

Walau beribu maaf diucapkannya, tak akan bisa membawaku mengulang waktu untuk menyelamatkan Bapak di saat-saat terakhirnya.

"Nduk, semua yang dilakukan Bapakmu adalah untuk menyelamatkanmu. Kamu terlahir istimewa dalam ilmu yang kami pahami. Banyak yang mengincar nyawamu, bapakmu hanya ingin melindungimu, cucuku. Tak ada di antara keluarga besar ini yang bisa melakukan seperti yang bapakmu lakukan. Dia begitu kuat, begitu rela, Nduk. Seluruh hidupnya hanya demi kamu ... demi kamu, satu-satunya peninggalan wanita yang dicintainya." ucap mbah Putri

***

Aku berusaha keras menerima bahwa Bapak telah pergi. Maut telah memisahkanku dengannya. Dan lebih buruk lagi, perpisahan ini tak semudah seperti laraku yang ditinggal ibu sejak lahir. Bapak harus pergi dalam keadaan musyrik. Sebagaimana dijelaskan dalam Al Qur'an, orang musyrik akan kekal di neraka. Tak ada harapan di sana meski begitu besar cinta dan baktiku kepadanya.
Mungkin seperti inilah yang Rasulullah rasakan ketika pamannya, Abu thalib berpulang dalam kekafiran. Begitu kejamnya syaitan, ia memisahkan para pecinta dengan yang dicinta. Harus bagaimana aku merayu Tuhan agar mengampuni lelaki yang sangat kucintai itu? Jika rasul pun tak bisa, lalu bagaimana dengan aku?

Hanya Allah yang tahu, jika saja ada sepercik iman dalam hati Bapak. Oh, Allah ... ampuni aku karena tak bisa berhenti mendoakan lelaki penyayang itu!

_Selesai_

Terimakasih

Total HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang