PART 5-KERIBUTAN MALAM HARI

50 4 0
                                    

Hansa berlari sekuat mungkin, memakai syalnya sebagai penutup wajah, ia sungguh kesal dengan Jude, ibunya itu sangat keras kepala, bahkan hubungan mereka tidak pernah baik sejak tiga tahun lalu sejak kematian ayahnya. Kenapa bisa ibunya begitu teguh membela tanah ini, jelas ini bukan tanah kelahiran ibunya atau salah satu anggota keluarga mereka, hanya ada kenangan dan masa-masa pahit di desa ini.

Arah kaki Hansa menuju ke bukit dimana ia biasa menenangkan pikiran, ia selalu duduk di sebuah batu besar yang menghadap langsung ke arah lautan, ia berulang kali mengusap air matanya namun semua rasa kecewa dan kesal itu tidak sirna begitu saja. Hansa merindukan ayahnya. "Yah, kalau Ayah masih ada, pasti Ayah akan mendukung Hansa kan? Kita harus pindah dari desa ini kan? Semua orang harusnya mengerti akan pekerjaan Hansa, ini untuk kebaikan mereka juga, cepat atau lambat pemerintah akan mengambil alih desa ini secara paksa." Dengan air mata yang terus mengalir, Hansa merasa begitu dekat dengan ayahnya jika berada disini, hanya ayahnya yang tahu tempat kesukaan Hansa ini jika dia ingin sendirian, bahkan ibunya mungkin tidak tahu, Millie pun tidak.

"Yah kenapa Ibu begitu tega padaku? Apa Ibu tidak sayang padaku?" tanya Hansa, ia selalu saja bertentangan dengan ibunya semenjak kematian ayahnya, mereka semua sama-sama sedih, maka itu seharusnya mereka bersama, bukan Jude justru memilih tinggal disini, jauh dari Hansa dan Millie.

Mengingat semua kenangannya bersama ayahnya ketika kehidupan mereka berkecukupan, dimana tawa selalu menghangatkan keluarga mereka, sungguh potret keluarga seperti itu yang Hansa dambakan bisa terulang kembali, namun seketika pemikiran itu berubah saat melihat kenyataan bahwa ia adalah anak tertua yang harus menjaga Ibu dan adiknya, beban tanggung jawab dipundaknya begitu berat terlebih dengan keadaan saat ini.

Setelah 1 jam berlalu, Hansa merasa kepalanya sudah pusing, hidungnya sangat merah dan matanya juga masih berlinang air mata, ia sudah bertekad tidak akan menyerah, ia akan menang dari ibunya, dengan cara apapun ia akan membawa ibunya keluar dari desa ini, ia segera menghapus air matanya.

"Hansa!" Teriak Max dan Yelena, mereka kelihatan begitu lelah, memang butuh tenaga yang cukup untuk sampai ke atas bukit ini.

"Kalian? Baru aku akan mencari kalian." Ucap Hansa bingung melihat kedua rekannya itu.

"Kami baru saja selesai dijamu oleh ibumu, ah sayang sekali kita harus berurusan dengan wanita sebaik beliau, aku jadi tidak tega." Ucap Yelena segera menghempaskan bokongnya ke batu.

Sejujurnya Hansa juga tidak pernah ingin berada dipihak yang berlawanan dengan ibunya namun apa boleh buat, ini keputusan yang sudah ia ambil, dan akan ia tuntaskan. "Ayo temani aku makan."

"Wajahmu pucat, kau ingin makan apa? Banyak kedai-kedai makanan disini." Ucap Max langsung mempersilakan Hansa untuk lewat.

"Astaga Max, tenagamu itu berasal dari mana? Baru saja berjalan dan sampai disini kau sekarang semangat sekali menemani Hansa, aku curiga kalian pacaran dibelakangku." Ucap Yelena menghela nafas kemudian ia mendapat pukulan dari Hansa.

"Kau mau ikut atau ku tinggalkan disini?" tanya Hansa berjalan cepat diikut Max yang sudah menahan tawa melihat kedua sahabat ini.

"Sahabat macam apa kau!" teriak Yelena segera mengikuti Hansa dan Max.

Setelah berjalan menyusuri desa, semua orang menatap ketiga orang itu dengan tatapan menusuk, sinis, bahkan mereka langsung menutup kedai ketika Hansa baru saja akan masuk. Ketiganya menghela nafas. "Sebetulnya kita ini seperti buronan atau penjahat kelas kakap, mereka semua menolak kita." Ucap Yelena mengeluarkan kipas dari tasnya dan ia juga membuka cushion yang didalamnya tertempel kaca.

"Astaga make up ku luntur!" Yelena segera merapikan dirinya.

"Pakai saja cat tembok jika tidak ingin luntur." Saut Hansa, perutnya sudah sangat perih.

UNEXPECTED PARTNERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang