Tiga hari ini terlewati dengan berat. Menyadari positif thinking ada batasnya. Entah sampai kapan, sampai akhirnya nanti memilih netral. Tidak negatif tidak positif. Lebih ke pasrah. Tidak usah dijelaskan apa yang telah terjadi. Dengan melihat raut wajah frustasi itu, kantung mata yang menghitam itu, dan betapa lelahnya wajah itu. Sudah dapat disimpulkan bukan hal baik yang tengah terjadi.
Sebagian dari diri sudah mengucap pasrah dalam hati, tapi sebagian lagi tetap ingin berpijak kuat pada optimis.
-
Terhitung sejak 3 hari yang lalu, Joan lebih suka melihat Jeno tertidur. Terlihat tenang dan damai. Walaupun semua karena pengaruh obat. Tak apa. Asalkan Jeno tak terlihat kesakitan lagi. Sampai saat ini tidak jelas apa penyebab sakitnya. Sakit di perutnya tak kunjung hilang sejak terbangun malam itu.
Tetap. Dokter hanya bilang luka lambung. Lambungnya infeksi. Tak ada lagi. Organ hatinya aman tak ada pembengkakan. Cairan di perut juga sudah dikeluarkan. Tidak ada infeksi lain. Tak ada luka lain, selain di lambungnya. Ya, Joan bersyukur tak ada yang begitu parah. Tapi tidak, lama-lama dia pikir, ini bukan untuk disyukuri. Jeno selama membuka mata pasti selalu meringis, mengerang, bahkan berteriak. Teriakan yang sama. Kenapa sakitnya tak juga hilang? Dokter sempat melakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh. Berbagai tes, Ct scan, USG, dan semua yang perlu dilakukan untuk melihat apa yang membuat perutnya terus terasa sakit.
Tapi jelas tidak ada apa-apa. Lambungnya luka, itu saja. Namun, kenapa obat dokter seakan tak berpengaruh banyak. Hanya pereda nyeri yang membantu, yang akan membuatnya tenang dan tertidur. Tak peduli apa efeknya, saat Jeno mulai berteriak kesakitan, Joan meminta dokter untuk menyuntikan pereda nyeri. Dan itu terjadi setiap hari, setiap waktu saat Jeno terjaga.
"Tan, Joan pergi dulu." Joan pamit pada Mey yang Joan mintai tolong untuk menjaga Jeno barang sebentar. Joan sudah menceritakan semua pada Mey, akan ke mana dan mau apa dia pergi.
Mey tersenyum, kali ini tampak sangat tipis, tak seperti biasanya yang selalu terlihat ceria. Bagaimana mau ceria saat melihat seseorang yang sudah dia anggap seperti putra sendiri, sedang dalam kondisi tak baik sejak kemarin.
"Hati-hati, Jo," katanya.
Joan mengangguk. Melirik Jeno. Memastikan adiknya itu terlelap nyenyak, lalu dia pergi.
--
Dengan langkah lebar, Joan berusaha menyangkal rasa takut dalam hatinya. Rasa segan. Entah apa yang harus dia katakan. Joan salah. Joan minta maaf.
Pintu lift terbuka. Tiba di lantai 10. Joan melangkahkan kaki keluar. Seorang lelaki bertubuh tegap berdiri di sana, bersandar pada pintu apartementnya.
"Yah."
Jonathan melirik putra sulungnya yang tampak kusut.
Joan membuka pintu. Mempersilahkan sang ayah masuk. Kelu untuk memulai pembicaraan.
Jonathan duduk di sofa menunggu penjelasan dari si sulung. Kepercayaannya. Kebanggaannya.
"Segitu marahnya kamu sama Ayah, Jo? Akhirnya Jonathan memulai duluan. Berucap dengan senyum tipis, tapi sarat akan sesak.
Joan berdiri di hadapannya dengan kepala menunduk. Mempertahankan getar di tubuh.
"Ayah paham. Ayah pun belum bisa memaafkan diri Ayah sendiri, apalagi kamu. Melihat Jeno, rasanya Ayah mau mencekik leher Ayah sendiri, Jo. Ayah lihat ibumu di matanya. Bahkan Ayah gak berani menghubungi Jeno duluan, Ayah terlalu malu. Ambil dua ginjal Ayah untuk Jeno. Jantung sekalipun akan ayah beri. Kenapa gak bilang dari awal? ... Ayah tetap ayahnya walaupun tak pantas lagi disebut ayah."
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...