"Putra saya terus kesakitan! Mana mungkin luka lambung sampai seperti itu! Obat yang kalian kasih pun tidak berpengaruh sama sekali--""Yah, udah." Joan menarik lengan sang ayah. Baru pertama kali ini melihat ayahnya memaki orang lain seperti itu, pada seorang dokter pula.
"Diem dulu, Jo. Saya minta kalian berikan yang terbaik. Tolong bekerja lebih keras untuk putra saya. Berapa pun biaya tambahannya akan saya bayar. Lakukan lagi pemeriksaan. Dengan benar!"
Dokter itu terus meminta maaf. Dua orang perawat di sampingnya hanya menunduk.
"Baik, Pak. Kami akan melakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh. Sekali lagi kami meminta maaf."
"Yah!" Joan menarik mundur ayahnya. Mengucapkan maaf pada tiga tenaga medis itu.
Dokter mengangguk. Tersenyum. Sangat paham. Makanya dia tak membalas dengan amarah juga. Ini bukan pertama kalinya mereka dimaki pihak keluarga. Fase denial memang selalu ada.
--
"Joo!!! Saakiitt!!!!"
Lagi dan lagi. Tak sudah-sudah Joan mendengar keluhan itu. Bukan muak. Tapi ... apa yang bisa dia lakukan? Hanya menonton Jeno yang kesakitan. Itu menyakitkan juga untuknya.
Digenggamnya tangan kiri Jeno, sembari mengelus-elusnya. Menenangkan. Sementara tangan kanannya, sang ayah yang menggenggam. Tubuh Jeno menggeliat. Kalo saja tangannya tak diikat atau dipegang, mungkin dia sudah bergerak tak karuan. Dan sebagai gantinya untuk menyalurkan rasa sakit, kakinya kini menghentak-hentak.
"Jo, panggil dokter lagi. Kasih pereda nyeri."
"Gak bisa, Yah. Baru setengah jam yang lalu. Bahaya juga buat tubuhnya."
Luka menganga tak terlihat. Sebagai seorang ayah melihat putranya kesakitan tanpa bisa membantu apa-apa.
"Mau Ayah nyanyiin, gak?" Jonathan menatap. Tersenyum samar. Beberusaha mendapatkan perhatian Jeno. Sungguh di detik ini, dia merasa sangat tak berdaya. Dengan mata sayu dan kening mengkerut dalam, serta erangan yang tak bisa ditahan. Jeno menatap tepat pada manik Jonathan.
Dulu Jonathan adalah seorang vocalis di keluarganya, tapi hanya panggung gereja, tidak sempat menjadi artis. Suaranya yang khas, berat dan serak, sekilas mirip suara Jeno. Suara itu selalu terdengar merdu saat melantunkan lagu.
Jonathan tersenyum. Mulai menarik napas untuk mengeluarkan suara.
Blackbird singing in the dead of night.
Take these broken wings and learn to fly.
All your life ...
You were only waiting for this moment to arise.
🎶🎶
Baru satu bait. Jeno tak lagi menggeliat. Terfokus pada sang ayah. Senyum Jonathan semakin mengembang walau air mata sudah bersiap turun dari pelupuk mata.
Blackbird singing in the dead of night.
Take these sunken eyes and learn to see.
All your life ...
You were only waiting for this moment to be free.
🎶🎶
Air mata Joan ikut menetes mendengar suara berat ayahnya. Dia jelas ingat. Lagu itu. Lagu kesukaan mereka. Sering dinyanyikan saat dulu keluarganya masih utuh. Sebelum tidur, Jonathan akan menyanyikan lagu itu untuk Joan dan Jeno, di tengah temaramnya lampu tidur, di kasur Jeno yang kecil. Joan menidurkan kepala di kaki ayahnya dan ayahnya berbaring di samping adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
He's Jeanno (Selesai)
General Fiction**Jangan plagiat nyerempet copy paste** "JE-JE, JEN, JENO, ANJIR, JANGAN KENCENGAN!!" Teriakan dan suara tawa menggema di parkiran supermarket yang sepi. Hanya ada seorang pria berjas abu-abu yang hendak menyalakan mesin mobil, tapi urung saat mend...