Part 01 - Si Peringkat Pertama
Samantha Dwi Ayunindya
•
"Kamu tidak dengar apa yang saya bilang? Keluar dari rumah saya! Saya tidak butuh orang yang tidak berkompeten mengajar anak saya di sini!"
"Bu? Maaf tapi kenap-"
BRAK!
Samantha tersentak, aksi kejam dari sang tuan rumah barusan berhasil membuat mulutnya terbuka dengan sempurna. Alih-alih mendengarkan, Naura justru bersikap acuh tak acuh terhadap kalimat-kalimat Samantha yang kini menggantung di udara.
Gadis itu masih berdiri terpaku di depan pintu. Kepalanya dipaksa untuk bekerja dua kali lebih cepat agar ia bisa memahami maksud dari ucapan Naura barusan. Lalu kemudian, Samantha langsung menggeleng kepalanya dengan pelan. Tidak-tidak, terlalu dini untuk berspekulasi jika Naura menyuruhnya untuk angkat kaki dari rumah ini. Setelah dua bulan bekerja sebagai guru privat Gretha, Naura tidak mungkin memecatnya tanpa alasan yang jelas 'kan?
"Bu, biarkan saya berbicara Bu. Jika ada masalah, tolong bicarakan baik-baik."
Kala itu, Samantha masih sempat berpikir optimis. Seandainya Samantha mau menjelaskan mengapa ia tetap ingin bekerja di sini, mungkin Naura akan mempertimbangkannya dan memberi kesempatan kedua kepadanya. Atau setidaknya, biarkan ia mendengar alasan mengapa Naura ingin memecatnya secara tiba-tiba. Mungkin dengan adanya tujuan yang jelas, Samantha bisa mengerti dan memaklumi keputusan Naura hari ini.
Samantha bukan ingin mencari pembenaran. Tapi selama ia mengajar di rumah ini, gadis itu tidak pernah melakukan kesalahan sekecil apapun di sini. Seribu satu daftar tata krama yang begitu ketat dari keluarga kaya ini secara tak langsung membuat Samantha harus ekstra hati-hati.
Namun percayalah, semua rasa semangat yang Samantha kumpulkan pagi itu mendadak lenyap dalam sekejap. Harapan-harapan itu sirna tepat di hadapannya.
Naura masih kekeh dengan pendiriannya. Ia bahkan tak mau merespons panggilan dari gadis itu di luar sana, hingga membuat Samantha akhirnya menyerah setelah mengetuk pintu untuk kesekian kalinya. Gadis itu membalikkan badannya dengan tatapan sedih. Pupus sudah harapannya untuk bekerja di sini.
"Padahal gue sudah bersusah payah mengajari Gretha," ujar Samantha sambil menggerutu. Pandangannya kini beralih pada amplop cokelat yang sempat dilempar oleh wanita itu. Sejenak, ia menghela napasnya dengan gusar sebelum tangan Samantha dengan perlahan meraih amplop berisi uang tersebut dengan perasaan campur aduk.
"Ya iyalah, buat apa juga Mama mau mempekerjakan anak buangan itu? Pokoknya gak nyaman banget belajar sama dia, Ma!"
"Iya, iya Mama tahu. Udah, gausah dipikirin lagi ya? Mama akan carikan orang yang bisa mengajar kamu. Kamu tahu 'kan ajaran baru akan dimulai?"
Samar-samar, Samantha yang baru ingin beranjak dari tempat itu tidak sengaja mendengar percakapan antara Gretha dan Naura. Gadis itu terdiam seribu bahasa, sambil meremas ujung amplop cokelat itu dengan kesal. Ia merasa jika kedua bola matanya kian memerah hingga kemudian, setetes air mata mulai jatuh, mengalir tanpa seizinnya.
Samantha merasa kecewa pada dirinya. Ia sendiri yang berjanji kepada sang ayah untuk segera mendapatkan pekerjaan tetap. Kondisi Andrian yang masih membutuhkan perawatan tak jarang membuat Samantha sering merasa khawatir, sekaligus iba. Pertanyaan demi pertanyaan kini mulai melintas di kepalanya. Apa, memang cuman segini kemampuan Samantha untuk mendapatkan pekerjaan yang layak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Goodbye [TAMAT]
Teen Fiction[PART MASIH LENGKAP, NO PRIVATE-PRIVATE!!] • [15+] Sebagai salah satu anak dari korban broken home, Samantha tidak keberatan jika ia harus menjalani kehidupan dengan berbagai rintangan yang terus mengujinya. Apapun itu akan Samantha lewati, asalkan...