Part 12 - Momen Ketika
•
Dua tahun yang lalu, tepat di hari yang sama pula, Andy mengira jika penderitaan yang selama ini menyelimuti dirinya akan berakhir kalau saja ia bisa merebut peringkat pertama dari Samantha. Makanya, ia sangat nekat mengancam Samantha agar gadis itu mau mengalah deminya. Mengalah, demi mendapat kebahagiaan yang hanya bersifat sementara.
Andy duduk di salah satu bangku taman yang sudah lama tak terurus itu. Matanya mengerjap sambil sesekali memandangi langit yang sebentar lagi akan berganti malam. Sinar oranye yang dipancarkan oleh matahari sempat membuat pemuda itu tersenyum beberapa detik, sebelum ia meneguk minuman yang ada di tangannya sampai habis. Lingkungan yang tenang tanpa adanya aktivitas manusia di sini berhasil membuat suasana hatinya menjadi sedikit lebih damai. Definisi dari kata ‘sempurna’ versi pemuda itu.
Karena kejadian semalam, Rudy memutuskan untuk menyita kendaraan beroda empat miliknya untuk beberapa minggu. Hal ini memaksa Andy untuk mencari jalan keluar sendiri agar tetap bisa bersekolah, karena bolos bukanlah jawaban terbaik pada masalah yang ia hadapi saat ini. Seandainya saja Maudy dan Shenna tidak menyuruhnya, ia juga ogah menebeng mobil Rudy untuk pergi ke sekolah. Hujan yang sedemikian derasnya membuat Andy tidak mempunyai pilihan lain selain diantar oleh sang ayah. Tapi bahkan sampai saat ini, keduanya masih bersikap acuh tak acuh satu sama lain. Mereka berdua saling mempertahankan ego dan gengsi yang begitu tinggi padahal sebenarnya, keduanya sama-sama salah.
Dan dalam kondisi seperti ini, Andy rindu dengan keberadaan Edy di sampingnya.
“Foto-foto hasil tangkapanmu bagus. Abang simpan beberapa ya?”
Suara itu. Ingatan Andy tiba-tiba dibawa pada kejadian beberapa tahun yang lalu, momen ketika Edy sedang memperhatikan foto hasil jepretan miliknya. Senyuman dari wajah Edy masih membekas di ingatannya. Kebiasaan yang tidak pernah berubah sama sekali dari orang itu, yaitu memberikan senyuman hangat dan menghargai semua kerja kerasnya. Orang itu membuat Andy terasa, lebih ‘hidup’.
“Enggak,” Andy kemudian menggeleng pelan. Hobi fotografinya ditentang keras oleh Rudy setelah Edy telah tiada. Pria itu tak segan menyita kamera dan beragam hasil tangkapan yang ada di kameranya, menyuruh Andy untuk fokus belajar. “Papa gak pernah menyukainya. Lo tahu sendiri ‘kan?”
“Abang tahu kamu udah berusaha yang terbaik. Jangan terlalu memaksakan diri ya?”
Kalimat yang pernah dilontarkan oleh Edy seketika membuat Andy tertawa miris. “Kalau seandainya Papa juga berpikir begitu.”
Tak lama, satu kalimat yang terbesit di kepalanya membuat kedua bola mata Andy memerah. Seingat Andy, itu adalah kalimat terakhir yang sempat ia dengar sebelum kecelakaan mengenaskan itu menimpa abangnya. Malam yang sangat kelam.
“Jangan keluar malam-malam lagi, Dek. Kamu membuat satu keluarga khawatir tahu gak!”
Sial. Tanpa ia sadari, air mata tiba-tiba mengalir begitu saja. Andy segera menghapus air mata dengan telapak tangannya walau suara sesegukan terdengar semakin menjadi.
Menangis adalah sesuatu yang paling dibenci oleh Andy karena hal ini akan membuatnya terlihat lemah. Kata Rudy, anak laki-laki tidak seharusnya gampang menangis, karena hal itu akan membuat pandangan orang menjadi berbeda. Anak yang mudah menangis adalah dia yang gampang ditindas, mudah menjadi sasaran untuk di-bully, dan tidak becus dalam melaksanakan tanggung jawabnya. Rudy bahkan memberi penegasan berkali-kali pada kata ‘anak laki-laki’ di setiap topik tersebut, berharap jika Andy tidak tumbuh menjadi sosok pengecut untuk ke depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Goodbye [TAMAT]
Novela Juvenil[PART MASIH LENGKAP, NO PRIVATE-PRIVATE!!] • [15+] Sebagai salah satu anak dari korban broken home, Samantha tidak keberatan jika ia harus menjalani kehidupan dengan berbagai rintangan yang terus mengujinya. Apapun itu akan Samantha lewati, asalkan...