Part 26 - Ancaman
•
Kamar nomor lima atas nama Pak Andrian Hermanto di mana ya?”
“Lurus saja dari sini, kamar paling ujung.”
Samantha mengangguk paham sebelum ia kemudian berlari menuju kamar yang baru saja diarahkan oleh resepsionis rumah sakit tadi. Ia baru saja menerima kabar jika Andrian sempat pingsan di tempat kerja beberapa waktu yang lalu. Salah satu kolega baiknya kemudian membawa Andrian untuk segera dilarikan ke rumah sakit. Samantha panik setengah mampus gara-gara pesan yang ditujukan kepadanya tadi. Untuk kali ini saja, Samantha berharap jika Andrian tidak kenapa-napa.
“Harusnya Bapak gak perlu memberitahu anak saya,” samar-samar, suara Andrian yang terdengar dari luar ruangan membuat langkah Samantha terhenti. Ia segera memperhatikan kaca pintu dengan sekilas sebelum kedua matanya mulai berkaca-kaca. “Lihat! Saya udah sehat-sehat kok. Besok juga-”
BRAK!
“Ayah!” Samantha segera menghampiri Andrian dengan wajah panik, tak peduli dengan rekan kerja Andrian yang sedang mengelus dadanya akibat terkejut dengan dobrakan pintu barusan.
“Ayah gak apa-apa?” ujar Samantha dengan mata yang sudah sembab akibat menangis di sepanjang jalan. “Ayah gak terluka sama sekali ‘kan?”
Gadis itu lalu memeluk Andrian sambil menangis, takut jika akan ada terjadi sesuatu yang buruk dengan ayahnya. Mungkin Andrian tidak pernah tahu jika setiap malam Samantha selalu mengkhawatirkan dirinya secara diam-diam. Samantha sering berpikir yang tidak-tidak, takut jika suatu saat waktu akan datang untuk menjemput Andrian, hingga hal itu berhasil membuat Samantha menjadi overthinking dengan segala hal.
“Hei,” Andrian segera menatap wajah Samantha. “Kamu gak malu nangis-nangis di depan teman Ayah?” ujarnya terkekeh sebelum kedua mata pria itu mengarah pada seseorang yang masih setia berdiri di sampingnya. Pria berkaca mata itu kemudian menggeleng cepat, sempat menatap sedih dengan momen mengharukan yang terjadi di depan matanya.
“Huh?” mendengar kabar tersebut, Samantha segera menghapus air matanya dengan gerakan cepat. Gara-gara panik duluan, ia sampai tidak sadar jika masih ada orang lain yang berada di ruangan ini.
“Kamu beruntung memiliki anak yang begitu menyayangimu,” ujar Effendi, selaku teman baik Andrian. Effendi sempat memperhatikan jam tangannya sebelum ia berpamitan dengan kedua orang itu secara bergantian. “Saya tidak ingin menganggu waktu kalian, kebetulan kerjaan di kantor masih banyak. Kalau begitu, saya pamit.”
Andrian menganggguk, memberikan Effendi kesempatan untuk keluar dari kamar inap tersebut. Pintu kemudian tertutup dengan sempurna bersamaan dengan suara Effendi yang sedang menerima panggilan. Sadar akan suara Effendi yang semakin menjauh, Andrian kemudian menatap putri tunggalnya sambil mengacak-acak rambut anak itu dengan gemas.
“Astaga, dekil banget anak Ayah,” ucap Andrian sambil berdecak. “Rambutnya udah lepek, matanya bengkak, padahal Ayah baik-baik aja kok. Bapak Effendi tuh yang lebay sampai bawa ke rumah sakit orang-”
“Ayah ngerti gak sih kalau enggak semua hal bisa dibercandain?”
Samantha sempat meninggikan nada bicaranya di depan Andrian. Mungkin karena efek perubahaan mood-nya hari ini, Samantha jadi tak bisa mengendalikan perasaan kesalnya terhadap Andrian. Setelah semua kejadian barusan, Andrian masih sempat-sempatnya bercanda dengannya? Yang sudah memcemaskan kondisi ayahnya itu setengah mati?
Ucapan Andrian berhenti seketika itu juga ketika Samantha tiba-tiba berseru kesal. Kedua bola mata Samantha kembali memerah. Gadis itu berusaha keras untuk menahan air matanya dengan baik agar tidak menetes di depan ayahnya. Pria itu kemudian menunduk, mengerti jika Samantha begitu mengkhawatirkan dirinya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Goodbye [TAMAT]
Teen Fiction[PART MASIH LENGKAP, NO PRIVATE-PRIVATE!!] • [15+] Sebagai salah satu anak dari korban broken home, Samantha tidak keberatan jika ia harus menjalani kehidupan dengan berbagai rintangan yang terus mengujinya. Apapun itu akan Samantha lewati, asalkan...