Part 39 - Menerima Keputusan
•
Seandainya Moses diberi kesempatan untuk memilih, Moses berharap jika keluarganya tidak pernah datang untuk menonton pertandingan basket dari timnya. Moses tidak pernah mengira jika hal tersebut justru akan mendatangkan malapetaka bagi keluarganya. Moses masih tidak bisa menerima jika ayah dan ibunya meninggal gara-gara dirinya. Seandainya, seandainya waktu bisa diputar kembali.
Pikiran buruk Moses selalu berputar di tempat yang sama. Moses selalu menyalahkan dirinya atas semua yang menimpa orang-orang terdekatnya. Dan seolah belum cukup dengan kepergian ayah-ibu, ia pun harus bisa menerima kenyataan jika Zia harus mengalami koma akibat kecelakaan mengenaskan itu dua tahun silam.
Moses tidak pernah salah karena pada dasarnya, semua masalah bersumber pada dirinya.
BRAK!
“Zia?”
Seorang dokter dan suster yang bertugas untuk memantau perkembangan Zia kini memandangi wajah Moses yang terlihat panik. Napas Moses terengah-engah. Tanpa berpikir panjang, laki-laki itu segera menghampiri adik perempuannya, diikuti oleh Samantha yang sedari tadi mengekori Moses.
Moses segera menggenggam erat jari-jemari Zia sambil menatap tidak percaya. Air mata pemuda itu mulai mengalir sembari menyebut nama Zia berkali-kali.
“A-abang?” ujar bocah itu dengan susah payah. Suara Zia masih terdengar lemah. Ia berusaha menggerakkan tangannya untuk menunjuk ke arah Moses yang sudah berada di samping. “I-ini Zia.”
“Iya Zia, ini Abang, Abang ada di sini,” jawab Moses. Laki-laki itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya bahagia. Tangisan itu terdengar semakin keras. Zia sadar dari komanya. Moses ulangi, Zia sudah sadar dari komanya! Moses tidak bisa mendeskripsikan kebahagiaannya melalui kata-kata.
“Terima kasih Tuhan, terima kasih banyak. Terima kasih...”
Zia ikut meneteskan air matanya dan berusaha untuk menyunggingkan senyumannya kepada Moses. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Semua kerja keras dan perjuangan yang dilewati oleh keduanya tidak pernah sia-sia. Moses tidak peduli jika hari ini ia tampak seperti orang gila, tapi Moses akan berseru pada dunia jika ia adalah salah satu manusia yang paling bahagia hari ini, percayalah.
Dokter yang menangani Zia ikut merasa lega sekaligus terharu melihat momen bahagia ini. Beliau paham betul bagaimana perjuangan yang Moses berikan kepada Zia. “Zia telah sadar. Zia bisa melihat dunia luar lagi.”
“Terima kasih Dok, terima kasih Suster,” ucap Moses membungkukkan badannya berkali-kali. Sungguh, Moses tidak bisa berhenti mengucapkan terima kasih kepada semua yang setia menemaninya dan berjuang untuk Zia. “Terima kasih banyak sudah mau merawat Zia selama ini, terima kasih.”
“Ini semua berkat kerja kerasmu selama ini, Nak,” dokter itu menepuk pundak Moses dengan pelan. “Untuk prosedur selanjutnya akan saya bahas lebih lanjut nanti. Saya tidak ingin menganggu pertemuan kalian. Pasti ada banyak sekali cerita yang ingin disampaikan.”
Mendengar penuturan dari sang dokter, Moses kemudian mengangguk kepalanya paham. Kedua tenaga medis itu kini meninggalkan ruangan Zia, membiarkan kedua kakak beradik itu saling melepas rindunya setelah sekian lama.
“Bang,” Zia kembali bersuara, membuat pandangan Moses yang semula menatap ke arah pintu mulai menoleh kembali pada adik kecilnya. Zia merasa asing dengan wajah baru yang ikut menjenguknya di rumah sakit ini. Ucapan bocah itu terbata-bata, berusaha untuk mengumpulkan tenaganya agar bisa melanjutkan kalimatnya dengan baik. “Kakak cantik yang berdiri di samping Abang, s-siapa?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Goodbye [TAMAT]
Fiksi Remaja[PART MASIH LENGKAP, NO PRIVATE-PRIVATE!!] • [15+] Sebagai salah satu anak dari korban broken home, Samantha tidak keberatan jika ia harus menjalani kehidupan dengan berbagai rintangan yang terus mengujinya. Apapun itu akan Samantha lewati, asalkan...