Last Goodbye - 09

101 14 4
                                    

Part 09 - Merasa Ganjil

“Katanya hari ini kamu ada jadwal mengajar, kok malah ikut Ayah ke rumah sakit?”

“Oh, jadi ceritanya ngusir nih?”

Kepala Andrian mulai mangut-mangut setelah gadis itu melontarkan pertanyaan barusan, membuat Samantha mulai mendengus napasnya kesal. Untung orang yang di sebelahnya adalah ayahnya sendiri.

“Gak apa-apa sih. Lagian gak enak tahu sendirian ke mana-mana.”

“Kamu datang ke sini pasti karena dokternya ganteng,” goda Andrian. Samantha mulai menunjukkan ekspresi bingung tepat setelah Andrian menyelesaikan kalimatnya dan berjalan mendahului Samantha. Sepertinya, hari ini ia sangat puas mengerjai anaknya.

Hari ini adalah jadwal rutin Andrian untuk melakukan cuci darah. Karena kebetulan gadis itu sedang dalam waktu senggang, ia sengaja datang untuk menemani Andrian menuju rumah sakit. Andrian terkadang sangat keras kepala dan tidak akan pernah mau datang jika Samantha tidak memaksanya. Samantha tahu apa yang selama ini Andrian pikirkan, bahwa biaya rumah sakit yang harus mereka keluarkan tidak sepadan dengan hasilnya. Satu-satunya jalan agar Andrian bisa menjalani hidup dengan normal adalah dengan rutin melakukan cuci darah, atau mungkin, melakukan transplantasi ginjal sesegera mungkin.

Huh! Lama-lama, Samantha jadi iri dengan orang-orang berada. Seandainya saja ia terlahir kaya, mungkin Andrian tidak akan menderita sampai selama ini.

“Pasien atas nama Andrian Hermanto. Silakan masuk,” panggil seorang suster bagian resepsionis. Perawat itu kemudian menuntun Andrian untuk masuk menemui sang dokter. Sambil menunggu Andrian yang akan diperiksa, Samantha dimintai untuk menunggu sejenak di bangku rumah sakit yang besar ini. Ia memilih untuk memainkan ponsel untuk menghilangkan rasa jenuhnya.

Jauh beberapa meter dari tempat duduknya. Samantha dapat merasakan ada sesuatu yang menganggu ekor matanya. Gadis itu buru-buru menoleh ke arah lorong bagian timur, tempat di mana sosok yang tak asing di matanya keluar dari salah satu ruangan.

“Eh, itu Andy ‘kan?”

Pada awalnya, Samantha mencoba untuk bersikap abai pada apa yang baru saja ia lihat. Toh, ini bukan pertama kalinya Samantha melihat sosok laki-laki itu ‘kan? Hampir setiap hari Samantha terkena masalah gara-gara orang itu. Jadi, mengapa Samantha harus bersikap peduli? Bukannya semua orang bebas untuk berpergian ke mana saja tanpa terkecuali?

Samantha yang berusaha menyembunyikan wajahnya kembali mendongakkan kepalanya untuk memperhatikan sosok Andy yang terlihat masih asyik berbicara dengan salah seorang dokter. Karena sudah terlanjur penasaran, Samantha mulai beranjak dan sengaja mengekori orang itu secara diam-diam.

 Andy? Ngapain orang itu ke sini?

Laki-laki itu sempat memperhatikan sekelilingnya sebelum ia memakai topi dan berjalan pergi, membuat langkah Samantha kemudian berhenti saat itu juga. Ia bersembunyi di balik tembok agar pemuda itu tidak mencurigai gerak-geriknya saat ini. Andy terlihat sangat hati-hati, seolah dirinya tidak ingin ada seorang pun yang mengetahui keberadaannya di tempat ini.

Samantha memang tidak bisa menilai orang dari luarnya saja. Tapi selama ia berada di sekolah, Andy tidak pernah terlihat sakit secara kasat mata, atau sesimpel gejala-gejala yang menunjukkan jika Andy memang dalam kondisi tidak sehat. Laki-laki itu menjalani kehidupan sebagaimana mestinya, dan bisa dibilang, mungkin dialah orang yang paling semangat untuk membully-nya di sekolah. Jadi, bagaimana bisa orang yang ‘terlihat’ baik-baik saja akan datang berkonsultasi di rumah sakit ini?

Last Goodbye [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang