Part 11 - Menahan Luka
•
Malam ini, Samantha dan Andrian sedang berkumpul untuk menyantap makan malam bersama. Semua lauk yang ada di meja makan adalah masakan yang disajikan khusus kepada Andrian karena ada pantangan untuk beberapa jenis makanan tertentu. Andrian yang duduk di hadapan piring-piring tersebut mulai menatap sendu karena harus mengonsumsi sayur-mayur setiap hari.
“Sayur mulu, Tha. Ayah udah bosan,” ujar Andrian sambil menyengir. Sementara gadis yang baru melepaskan celemeknya hanya menatap bingung.
“Makan apa yang sudah dianjurkan dokter ya, Ayah sayang,” Samantha segera menyendokkan sayur yang banyak kepada piring Andrian dengan senyuman mematikan. “Kalau Ayah gak habisin, dua minggu ke depan lauknya sama.”
“Ngeri,” mendengar ancaman dari Samantha, Andrian kemudian berpura-pura ketakutan dan segera menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Untung saja masakan Samantha selalu enak.
“Oh iya,” Andrian tiba-tiba membuka balon percakapan ketika keduanya tengah fokus makan, membuat Samantha segera mengangkat dagunya. “Mumpung kamu udah kelas 12, ada rencana gak nih mau ke mana habis ini?”
Samantha berdeham mendengar pertanyaan dari sang ayah. Saking fokusnya dengan belajar, ia tidak pernah memikirkan akan menjadi apa di masa depan nanti.
“Pokoknya setelah Ayah sembuh deh baru mikirin hal-hal itu.”
“Jangan. Kamu tahu sendiri ‘kan kalau Ayah gak akan sembuh?” kata Andrian sambil tersenyum pahit. “Dengar, Nak. Sudah saatnya kamu harus tahu akan melakukan apa ke depannya.”
Samantha hanya terdiam setelah mendengar kalimat itu keluar. Gagal ginjal kronis memang bersifat permanen dan ia sendiri tahu maksud Andrian baik. Tapi tetap saja, Samantha tidak suka ketika sang ayah mengatakan hal tersebut seolah Andrian memang tak memiliki harapan untuk pulih.
“Ayah, berhenti bilang kalau hal itu tidak bisa disembuh-”
Drit... drit...
Suara ponsel Andrian yang berasal dari ruang tamu menghentikan ucapan Samantha saat itu juga. Keduanya lalu menatap ponsel yang ada di atas meja. Karena tahu ini bukan waktu yang tepat untuk membahas kesehatan Andrian, Samantha segera memakan makan malamnya dan membiarkan Andrian untuk menjawab panggilan yang sudah berdering lama.
Andrian sempat menatap Samantha sekilas sebelum ia benar-benar beranjak dari tempat duduknya. Sederet nomor tak ia kenal lagi-lagi meneleponnya untuk yang kesekian kalinya. Agar bisa menjawab panggilan ini, Andrian tak ingin ada yang mengetahui isi percakapannya, termasuk Samantha sendiri. Ia segera masuk ke dalam kamar untuk menjauhi area ruang makan dan menguncinya. Jempol Andrian segera mengusap ikon bewarna hijau itu ke atas dan menempelkan ponselnya pada telinga.
“Lama sekali kamu menjawab teleponnya?” seru perempuan itu kesal karena telah mengabaikan teleponnya berkali-kali.
“Bukankah saya sudah bilang jangan pernah menelepon lagi ke sini?” ujar Andrian kemudian. Pria itu berusaha untuk memelankan suaranya agar Samantha tidak bisa mendengar isi percakapannya dengan orang ini.
“Apa saya salah menagih utang-utang kamu yang belum kamu bayarkan sejak bulan lalu?”
Andrian terdiam cukup lama sebelum kemudian ia menghela napasnya dengan berat. Ucapan yang sempat dilontarkan oleh Miranda terus terngiang dengan jelas di kepalanya, bersamaan dengan deretan peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Kejadian dua belas tahun silam, kejadian di mana Miranda menghilang tanpa kabar, kejadian di mana Miranda tega menelantarkan Samantha begitu saja, kejadian di mana awal dari semua penderitaan itu menimpa dirinya dan juga Samantha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Goodbye [TAMAT]
Teen Fiction[PART MASIH LENGKAP, NO PRIVATE-PRIVATE!!] • [15+] Sebagai salah satu anak dari korban broken home, Samantha tidak keberatan jika ia harus menjalani kehidupan dengan berbagai rintangan yang terus mengujinya. Apapun itu akan Samantha lewati, asalkan...