(2) her

5.3K 179 6
                                    

Azzam mengambil beberapa buku yang ia siapkan dari semalam untuk materi mengajar, beberapa tumpukan kertas ulangan pun ia bawa pagi ini.

"Assalamualaikum" ucapnya memasuki kelas.

Ia mulai menyampaikan materi nahwu yaitu pembahasan tentang Masdar mim dan masdar ghairu mim, dan juga melakukan tanya jawab.

"Kita setor hafalan tasrif di mulai absen atas ya? Sambil saya bagikan hasil ulangan kemarin. Ok.. Amina syifa silahkan!"

"Belum datang ustad," ujar salah satu santriwati.

Bersamaan itu datang lah murid dengan nafas ngos-ngosan, dengan kerudung yang tampak berantakan menyambut ke netra Azzam.

"Afwan ustad, saya telat karena tadi bangun kesiangan" ucapnya dengan wajah paniknya.

"Karena itu murni kelalaian kamu, maka keliling lapangan 3 kali"

"Yah kebanyakan ustad, kurangin dong" Amina mencoba menegoisasi.

"yaudah 6 kali" seru Azzam.

"Eh kok namb.." Amina belum sempat meneruskan sudah di potong oleh Azzam.

"9 kali, semakin kamu mengelak saya tambah hukumannya."

Amina berjalan ke lapangan sambil mengerucutkan bibirnya.

"Saya tidak mau murid saya yang lain ada yang terlambat lagi, saya ingin kita saling menghormati satu sama lain, mengerti?"

"Naam ustad." Jawab mereka serentak.

Setelah mengajar ia pun kembali ke pesantren, netranya melihat beberapa tamu di ndalem, ia berfikir bagaimana takdirnya setelah ini. Haruskah menerima perjodohan ini dan berhenti mengingat kejadian itu lagi?

Azzam pun menyalami para tamu, kemudian pamit ke kamar untuk membersikan dirinya, begitu selesai ia langsung berbaur dan duduk tenang sambil mendengarkan berbincangan Abi dan tamunya.

"Zam, pun istikharah ta?" Tanya perempuan cantik bernama Aisyah, kakak perempuan Azzam.

"Nanti"

"Mbokyo ojo nanti nanti loh Zam, Iki kesempatan emas, calonmu iku uayu yaken! Gak ada tandingannya," ujar Aisyah menggebu-gebu. (Jangan nanti-nanti zam, ini kesempatan emas, calon kamu itu cuantik)

"Yang aku cari bukan tentang cantiknya saja kak, banyak yang masih Azzam pertimbangkan."

"Iya aku paham, jangan samakan mira dengan wanita itu!"

Azzam hanya berdehem menimpali dan langsung pergi ke kamar untuk beristirahat.

Azzam terbangun dari tidurnya di sajadah karena selesai istikharah ia merasakan kantuk yang berat dan tertidur di sajadah, ia bermimpi dan sudah menemukan jawabannya. Dan ia yakin, setelah ia menatap kotak kecil berisi cincin lamarannya di atas nakas.

Bagaimana pun kita tidak boleh menentang takdir bukan, biarlah rasa Azzam terhadap ziya menghilang seiring berjalannya waktu.


"Zam!" Panggil umi dari ruang tengah.

"Dalem mi" saut Azzam menuju ruang tengah dan melihat uminya sudah rapi.

"Lah kok hurung Lapo Lapo seh, ini loh udah mau berangkat kok" ujar uminya menatap anak laki-lakinya yang hanya mengenakan kaus dan sarungnya. (Lah kok belum ngapa-ngapain, ini udah mau berangkat loh,)

"Kemana sih mi, azzam loh mboten tau" jawabnya menatap uminya kebingungan.

"Loh Aisyah ini gimana, kamu semalem nggak di bilangin kak Aisyah?" Tanya umi.

"Ndak kok, ya semalem di suruh istikharah mawon" balas azzam menatap keheranan, jangan lupakan wajahnya yang masih muka bantal.

"Yasudah kalo gitu kamu langsung ganti zam, cepetan 15 menit" perintah uminya, ia pun segera bergegas menuju kamarnya.

Setelah perjalanan selama 2 jam mereka akhirnya sampai ke pondok pesantren Darussalam,
Dan di sambut oleh keluarga besar pondok pesantren.

"Mi, ini lamaran atau langsung akad nikah kok ya rame gini, harusnya sederhana aja" gerutu Azzam menatap sekitarnya yang sangat ramai untuk acara lamaran.

"Kalau kamu mau sekalian akadnya sekarang ya Monggo loh," sahut umi'nya cengengesan.

"lah mi', kalau akadnya sekarang nggih Azzam macak ganteng loh"

"Wes ta lah, ngene loh wes ganteng zam." Bantah uminya sambil menatap gemas. (Udahlah gini loh sudah ganteng, zam.)

Azzam menatap abinnya yang turun dari mobil yang berbeda dengannya, kedatangannya di sambut banyak santri yang ingin mencium tangannya.

Di depan ndalem di dekorasi pelaminan berlatar bunga bunga mawar berwarna putih dan juga ada sebuah mawar merah di tengah di bentuk nama Azzam dan zelmira.

Azzam pun bergegas membuntuti Abi nya untuk menyapa kiai Salim dan keluarganya.

"Mari duduk hasan, nak Azzam" ajak kiai Salim, Azzam bergegas meraih tangan calon mertuanya itu untuk bersalaman.

Sedangkan bu nyai bergabung dengan istri kiai salim, setelah berbincang ringan mereka pun bergegas bersiap untuk memulai acaranya.

"Bi, umi ten pundi ? Katanya aku di suruh ganti baju" bisik azzam ke telinga abahnya. (Bi, umi dimana?)

"Nyapo zam ganti baju?" Tanya Abinya heran. (Kenapa zam ganti baju?)

"Tadi di mobil aliya gak sengaja jatuhin coklat ke baju azzam" ujar Azzam sambil menunjukkan noda di bajunya.

Tiba tiba bu nyai datang memanggil Azzam untuk ganti baju setelah tadi berbicara dengan calon besanya.

Azzam di pinjamkan bajunya kakaknya zelmira, Gus Azka.

"Mik, kenapa secepat ini?" Gumam Azzam pelan.

"Sudah terlalu lama zam, umi hanya ingin kamu menemukan kebahagiaanmu sekarang" ujar uminya memegang bahu putra sulungnya itu, yang melamun seolah tak siap padahal jawaban istikharahnya bagus.

"Permisi Bu nyai, Gus, Niki acara e badhe di mulai njenengan di timbal i pak kiai" ucap salah satu khodamah di rumah kiai Salim.

"Oh nggih" jawab umi sambil mengandeng tangan Azzam keluar dari kamar tamu.

"Mi', aku kok takut ya,"

"zelmira tidak kemana-mana zam."
Ucapan umi itu seakan menegaskan pada Azzam, bahwa ia tidak akan ditinggal lagi oleh seorang wanita di hari pertunangannya sendiri.

Azzam menghembuskan nafas pelan.
"Jadi datangnya saya disini saya ingin meminang putri njenengan menjadi istri saya, dan saya sudah siap untuk menafkahi dia baik lahir maupun batin dan membimbingnya, dan insyaallah saya siap menerima segala kekurangannya," ujar Azzam menatap calon mertuanya serius.

"Saya sebagai walinya menyerahkan keputusan ini ke zelmira, saya akan menghormati apapun keputusannya. Bagaimana nak keputusanmu?" Kiai Salim menatap zelmira dan menggenggam tangannya menenangkan.

"Saya menerima pinangan ini"

"Alhamdulillah..."

Setelah doa pun di panjatkan untuk mereka berdua, dan di susul dengan pertukaran cincin.

"Mi', sungkan aku yaken" ucap azzam ke uminya membuat gelak tawa bagi yang mendengarnya.

"Gapapa zamm"

Azzam memasangkan cincin dengan sangat hati hati dan di bantu oleh uminya, begitupun sebaliknya.

Dan di susul oleh foto bersama Azzam dan zelmira dan keluarganya.
Kemudian para tamu menikmati jamuan yang telah di sediakan, sesekali Azzam melirik ke Ning zelmira yang memakai gaun putih sederhana jilbabnya pun senada, tapi yang membuatnya terpesona adalah senyuman wanita itu.

"Azzam!"
Suara Aisyah itu membuat Azzam refleks menoleh ke arah kakaknya, Azzam mengangkat alisnya seolah berkata ada apa.

"Gimana Ning mira cantik kan? Percaya dong kata kakak kemarin" cerocos Aisyah sambil memegang bahu zelmira yang malu karena ia puji.

"Sangat cantik sampai ketika aku melihatnya, hatiku bergetar untuknya"



Gus AzzamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang