(6) kopi di balkon

2.8K 109 0
                                    

Pagi ini terdengar suara hujan yang menenangkan, membuat Azzam menarik selimutnya lagi setelah sholat subuh di masjid pesantren, terpaksa ia lakukan karena badannya pegal semua karena keputusannya tidur di sofa.

Ia melirik jam, sudah pukul 06:56 bentar lagi sarapan di bawah bersama-sama, lalu ia mandi dan bersiap-siap menggunakan baju santai.

"Zam makan woi di panggil umi" suara rehan menggema di penjuru kamarnya, Azzam melihat temannya itu sudah rapi.

"Lo pindah ke kamar tamu? Terus lo biarin gue di sofa sampe encok gini" tanya Azzam melirik tajam temannya, rehan terkekeh.

Setelah sarapan azzam menikmati kopi di balkon dan membuka lembar perlembar buku tebal yang ia bawa, suasana dingin dan pemandangan hijau memanjakan matanya.

"Azzam...gimana persiapan pernikahannya? Lancar semua kan?" Suara wanita paruh baya itu membuyarkan lamunannya.

"Sudah kok, umi gak perlu khawatir. Tinggal nunggu hari nikahnya aja" jawab Azzam sambil mengeser beberapa buku dari kursi untuk uminya duduk.

"Gimana udah ngulang baca Fathul izar dan qurrutul uyyunnya lagi?" Tanya uminya membuat Azzam tersipu malu lalu terkekeh pelan.

"Buru-buru banget mi mau gendong cucunya?" Senyum Azzam tertahan membentuk lesungnya.

                               ***

Sore di halaman pondok sangat segar, bunga-bunga banyak yang mekar dan baunya yang semerbak ketika zelmira melewati beraspal itu. Kakinya melangkah menghindari genangan air hujan.

"Nduk, kamu tahu filosofi payung tidak?" Zelmira menggeleng. "Saat kamu ingin memulai hubungan, kamu harus siap menjadi payung di rumah tanggamu. Karena hujan itu ibarat masalah, payung mungkin tidak dapat menghentikannya, tapi mungkin payung bisa membawa kita tetap berjalan melewati hujan dan sampai ke tujuan,"

Zelmira merenungi ucapan abinya yang sedang memayunginya dari gerimis yang ia lalui sekarang, ia pikir benar juga ternyata pernikahan memang harus melibatkan kedewasaan antara dua pihak.

Setelah sampai di depan ndalem zelmira segera membasuh kakinya, kakinya melangkah masuk dan mendapati ada seorang tamu laki-laki yang memandangnya, lalu berjalan mendekat____ 'hah ngapain dia mendekat?'

"Maaf bi, tidak ngabarin kesininya sekalian nganter cetakan undangan" Azzam mencium takdim tangan calon mertuanya yang kebetulan tadi berjalan di belakang zelmira. Zelmira berdehem kikuk lalu melangkah gontai ke ruang tengah dan mendapati calon mertuanya ngobrol santai dengan uminya.

"Kamu habis darimana sama Abi nak?" Uminya mendongak menatap zelmira yang merapikan khimarnya.

"Hehehe...tadi ke depan mik, liat liat di bazar" zelmira menggaruk tengkuknya lalu ikut duduk di lantai yang di lapisi karpet khas timur tengah itu.

"Eh iya sayang ini Azzam bawain buku buat kamu, katanya kamu suka baca ya? Terus katanya kamu bisa masak mie instan dan nasi goreng pake bumbu kemasan ya? Tenang aja nanti umi ajarin menu menu baru deh. Lagian umi lagi cari mantu bukan mau buka restoran hehe," Calon mertuanya memegang tangannya dengan senyum tulusnya, sungguh sangat beruntung ia dipertemukan dengan calon mertua yang sangat baik dan pengertian padanya.

"Nggih mi', matur nuwun sudah mau menerima mira apa adanya" zelmira memeluk hangat calon ibu mertuanya.

"Umi yang lebih seneng punya menantu seperti kamu nduk"

Bibir zelmira tersenyum lebar dan menggeleng tak setuju. "Zelmira yang lebih beruntung menjadi menantu umi"

Mata Azzam memperhatikan lingkungan sekitar pondok, tampak lebih sejuk dari pondoknya, masih asri dikelilingi banyak pohon-pohon rindang.

Wanita disampingnya diam melihat sekitar dan santri yang berlalu-lalang memandang mereka sungkan.

"Sungai disini masih jernih?" Suara Azzam memecah keheningan mereka berdua.

"Masih Gus, itu ke arah selatan sana. Spot favorit santri buat hafalan" zelmira menjawab mengikuti langkah Azzam mendekat ke sungai kecil.

"Wah masih seperti dulu ya?" Azzam tersenyum tipis melihat air bening yang bergalir dengan batuan-batuan besar di pinggir.

Zelmira menggerjap. "Emang pernah kesini?"

"Beberapa kali waktu aku masih Mts dulu, kayaknya dulu kamu masih mi ya? Pas haul disini aku kesini, terus pas MA aku udah mondok terus gak pernah lagi, baru kali ini" Azzam memperhatikan aliran sungai, wanita di belakangnya diam memperhatikan laki-laki di depannya.

"Berarti aku pas masih kelas 2 mi ya?" Zelmira tampak mengingat-ingat.

"Iya, aku agak inget kamu sembunyiin sendalku sama mas Aska, kamu lempar ke pohon, terus pulang sowan aku nyeker sampai malang"

Azzam tertawa kecil mengingat kejadian itu, zelmira memerah menahan malu mengingat kelakuannya yang tengil.

"Gus serius? Saya minta maaf" zelmira tampak menyesal.

"Hahaha santai, kayaknya setelah sekian lama yang buat aku balik kesini lagi ternyata sendalku yang kamu lempar nggih," Azzam berjalan memimpin untuk kembali ke ndalem, zelmira berjalan dibelakangnya, sesekali mereka terkekeh mengingat kejadian itu.

"Lebih lucunya lagi saya kesini bukan untuk ngambil sandal, tapi untuk jemput yang lempar sandal untuk saya bawa ke malang" Azzam tidak berhenti tertawa mendengar alasan zelmira yang menggelak, tawanya berhenti saat ia memasuki pintu ndalem.

"Gimana sudah lihat-lihat lingkungan sini?" Kyai Salim tersenyum melihat calon menantunya yang duduk bersimpuh, diikuti putrinya yang duduk menghampiri uminya.

"Sampon bi,"

"Niki bertemuan terakhir nggih, seminggu kedepan kalian di pinggit tidak boleh bertemu sampai hari pernikahan,"

Azzam dan zelmira mengangguk faham, tidak asing dengan tradisi ini, zelmira berdehem melihat Azzam yang memperhatikan foto masa kecilnya di figura dinding.

"Besok kalau pindahan tolong bawa foto ini ya? Lucu soalnya"

Setelah mengatakannya Azzam pergi dan berpamitan untuk segera pulang ke malang.

Sampai jumpa 1 Minggu lagi, calon suami.

Gus AzzamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang