45. sabar dan mengikhlaskan

969 37 4
                                    

"wes ta bilang ndak usah capek-capek," Arfan memarahi Zahra yang mengeluh perutnya nyeri dan keram, wanita itu kesakitan memegang perutnya.

Sebenarnya Zahra tadi kepleset di balkon karena salju turun membuat lantai balkon licin, menurutnya juga hanya kepleset biasa kenapa efeknya seperti ini. Zahra hanya mengaku kecapean pada Arfan yang baru saja pulang bekerja menjadi barista.

"Kok berdarah si?" Zahra melihat bekas spreinya yang ada bercak merah.

"Nggak mungkin datang bulan kan?" Arfan memastikan pada Zahra, wanita itu menggeleng. "Ayo ke rumah sakit sekarang,"

Arfan mengendong istrinya menuju taksi, sebenarnya taksi di sini cukup mahal karena biasanya transportasinya adalah kereta.

Zahra menahan nyeri yang sangat perih di dalam kandungannya, ia ingin buah hati mereka baik-baik saja. Ia merintih meremas bahu Arfan yang tengah memeluknya. "Bentar lagi nyampe, bertahan ya"

Vonis pahit yang di berikan dokter membuat Arfan terpukul, Zahra keguguran di usia kehamilan yang sangat muda. Apalagi sedang operasi kuret membuat Zahra tidak sadar sudah 3 jam yang lalu, Arfan mencoba mengabari mertuanya tentang keadaan Zahra.

Arfan mencoba menenangkan bahwa Zahra baik-baik saja bersamanya, ia berjanji akan merawat zaha sepenuh hati sampai ia benar-benar pulih.

[Nggih bah, Zahra baik-baik saja sudah pemulihan pasca operasi] Azzam berbicara pada mertuanya di sambungan telepon.

[Uangnya bagaimana? Abah transfer ya]

[Mboten bah, Arfan ada uang. Zahra sekarang sudah tanggung jawab Arfan sepenuhnya]

[Yaudah, kalau Zahra benar-benar sehat kalian kembali saja ke malang. Uminya Zahra sakit-sakitan di tinggal putrinya pergi jauh, lagian tidak ada yang di tutupi lagi, maksud Abah Zahra kan sudah keguguran-]

[Nggih bah, tak tutup telfonnya. Katanya Zahra mau di pindah ke ruang inap. Assalamualaikum]

_____________

Pagi-pagi sekeluarga pesantren di kejutkan dengan kiriman spanduk besar bertuliskan azzam penipu, Gus tidak tahu aturan syariat. Gus abal-abal.

Kyai Hasan menyuruh santri untuk melepas dan membakar banner itu sebelum di lihat banyak orang, Azzam juga sudah menjelaskan sejujurnya padanya dan ia percaya bahwa Azzam sepenuhnya tidak salah karena adanya perjanjian pembelian.

Zelmira yang mendengar itu ikut geram sendiri, bagaimana bisa orang itu nekat dengan meneror mereka di pondok pesantren begini.

"Uwes Ndak usah di pikir, di diemin juga nanti juga berhenti sendiri" Azzam langsung merogoh hp di sakunya menelfon karyawan kantor agar gerbang di tutup dan yang masuk hanya yang mempunyai izin saja karena takut terjadi hal-hal yang tidak di inginkan.

"Hati-hati mas, seperti orangnya juga nekat. Aku khawatir bahayain kamu dan karyawan loh, pokonya karyawan kamu kasih pengawasan keamanan juga." Zelmira melipat tangannya di dada menatap suaminya.

"Bener kata istrimu, hati-hati entah kenapa perasaan umi nggak enak. Semoga tidak terjadi apa-apa, masalahnya uangnya sangat fantastis loh zam, kok bisa mereka lalai sampai di tipu," umi ikut kebingungan.

"Walah tidak tau mi, Azzam ikutan pusing. Yaudah Azzam ke kantor dulu ya....." Azzam mencium tangan Abi dan uminya.

"Sayang, berangkat dulu ya? Zaf bye bye"

Azzam melambai sebelum masuk ke dalam mobilnya, banyak masalah yang harus ia atasi sebelum semuanya menjadi kacau. Ia ingin tidur tenang tanpa memikirkan apapun yang mengusik pikirannya termasuk saat ini.

Gus AzzamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang