2

192 34 4
                                    

Sembilan tahun bersekolah di sekolah yang sama membuat Matthew hapal mati dengan teman-temannya yang hampir tidak pernah berubah sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Sekolahnya adalah salah satu sekolah swasta terbaik di Kota Bandung, hanya anak dari keluarga berduit saja yang bisa masuk ke sana atau anak yang benar-benar pintar sampai bisa mendapatkan beasiswa. Dari jenjang taman kanak-kanak hingga SMA, semuanya ada dalam satu sekolah dan bisa dikatakan Matthew adalah murid tersetia di sana. Keluarganya memiliki sejumlah saham di sekolah itu sehingga ia tidak mungkin pindah ke mana-mana.

Kehidupan sekolah yang membosankan jadi berubah sejak Matthew bertemu Dinda. Perempuan itu baru bergabung saat SMA setelah berturut-turut memenangkan medali emas dalam perhelatan Olimpiade Sains Nasional se-Indonesia saat SMP, menjadi salah satu teman kelasnya yang paling sederhana, yang memperlihatkan Matthew jenis kehidupan lain yang tidak pernah ia ketahui ada.

Dinda Clarissa.

Matthew merapal namanya dalam diam, memandang Dinda dari kelokan gang yang tidak jauh dari rumah perempuan itu. Dinda yang tengah menjaga toko kelontong kecil milik keluarganya sambil memandang layar ponsel dengan intens.

Tidak ada yang berubah dari Dinda kecuali garis wajah yang lebih tegas, memperlihatkan kedewasaan perempuan itu dan rambutnya yang terpotong pendek. Ingin sekali Matthew melihatnya lebih dekat, ingin mengajak perempuan itu berbicara meski jantungnya bisa meledak karena gugup. Menatap Dinda dari kejauhan saja membuat dadanya berdebar tidak keruan. Debar yang sudah lama tidak pernah ia rasakan kembali setelah putus dengan Dinda, bagaimana saat mendekat?

Matthew menghela napas pelan, senyum tipisnya tercipta saat seorang anak kecil menyapa Dinda hingga perempuan itu tersenyum lebar. Senyum yang selama ini ia rindukan.

~~~

"Mau beli apa, Neng?" Dinda menyapa anak kecil yang mendongak menatapnya dengan mata berbinar. Pada salah satu tangannya tersemat uang dua ribuan yang sebentar lagi akan masuk ke dalam rak uang toko kelontongnya.

"Neng mau permen, Ci..." Jawab anak kecil itu sambil terkekeh saat Dinda mencubit pipinya pelan.

"Udah bilang Mama, belum? Neng masih batuk, kan?"

"Udah... ini uangnya." Kata anak kecil itu sembari menyerahkan uang dua ribuan kepada Dinda.

Sebenarnya Dinda enggan mengambil permen untuk anak itu. Ia tahu benar, si Neng, masih batuk dan tidak boleh mengonsumsi gula kebanyakan. Tapi karena Ibu anak itu sudah memberikan uang, dan daripada ia membuat Neng nangis, maka ia ambillah beberapa permen untuk si Neng yang berlari kesenangan setelah menerimanya.

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang