31

77 13 1
                                    

Setelah kebaktian di Gereja keluarga Dinda, Matthew diajak ke rumah perempuan itu untuk makan-makan sekaligus berkenalan dengan keluarga Dinda yang datang berkunjung. Suasana hangat Natal yang terakhir kali dirasakan Matthew saat ia masih kecil pun kembali dirasakannya. Bukannya tidak pernah merayakan Natal dengan kedua orangtuanya, tapi sejak bisnis Papi dan Mami makin meluas, keluarga yang bertandang untuk merayakan Natal tidak lagi banyak karena masalah internal--yang biasanya ditengarai oleh Maminya. Jadi, bukannya merayakan Natal dengan khusyuk, Matthew malah sibuk mencuri dengar gibah tentang keluarganya sendiri saat Natal.

"Matthew ada makanan di apartemen, kan?" Tanya Mama kepada Matthew yang berniat pamit untuk menyiapkan diri bertemu dengan Papi di rumah.

"Matthew ada makanan di apartemen, kan?" Tanya Mama kepada Matthew yang berniat pamit untuk menyiapkan diri bertemu dengan Papi di rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matthew mengangguk. "Aman, Tante. Ini juga Matthew mau ke rumah."

Sontak Dinda dan Mamanya yang ada di dapur itu menatap Matthew penasaran. Keduanya menunggu Matthew yang duduk di dekat meja makan, yang hanya berjarak beberapa langkah dari dapur, berbicara menjelaskan sendiri maksud ucapannya itu.

"Semalam Papi nelpon, katanya mau bicara serius." Aku Matthew dengan senyum yang dipaksakan.

"Baguslah. Lagian Matthew memang harus pulang, apalagi hari ini." Sahut Mama Dinda bijak sebelum melanjutkan kegiatannya di dapur.

"Iya, Tante." Balas Matthew melirik Dinda yang masih menatapnya tanpa ekspresi.

Setelah berpamitan dengan kedua orangtua Dinda, Matthew pun minta diantar keluar Gang sekaligus ingin berbicara empat mata kepada Dinda yang langsung diam setelah pengakuannya tersebut. Perempuan itu tampak ling-lung, dan tatapannya berubah sendu saat mereka sudah berada di dekat mobil Manendra yang terparkir tidak jauh dari pintu gerbang Gang.

"Kamu yakin? Bakal ketemu Papi hari ini?" Tanya Dinda lemas, mencecar Matthew yang langsung menganggukkan kepala tanpa ragu.

"Gimana pun juga, aku harus ngobrol sama Papi, Dinda."

"A-aku paham, sih. Tapi, kamu yakin nggak apa-apa?"

Senyum tipis Matthew menguar. Ia senang dikhawatirkan oleh Dinda meski dirinya juga sedikit takut untuk bertemu dengan Papi hari ini. Ia tidak tahu apa yang akan Papi lakukan kelak, apakah akan mengancamnya? Atau lebih buruk dari itu?

Matthew tidak bisa menjawab. Malah semakin gusar memikirkannya sehingga ia memusnahkan perandaian itu dengan menatap Dinda tepat di matanya.

"Setelah ngobrol sama Papi, aku telepon, ya." Kata Matthew menenangkan sambil mengelus pipi Dinda lembut dan perempuan di hadapannya tersebut hanya bisa menghela napas pelan.

"Janji?"

~~~

Tidak ada yang berubah dari rumah Matthew kecuali hiasan dan pohon natal yang berdiri di tengah ruang keluarga, juga beberapa pohon natal kecil di ruang tamu tempat Matthew dan Ayahnya duduk berhadapan. Matthew enggan masuk rumah lebih dalam, selain tahu Mami sedang berada di ruang tengah--berpura-pura menonton TV untuk menguping pembicaraannya dengan Papi--Matthew juga ingin cepat-cepat menyelesaikan obrolannya dengan Papi yang kemungkinan akan berusaha membujuknya untuk melanjutkan pertunangannya dengan Yona.

Matthew paham itu sejak melihat aura Papi yang tampak tenang, namun mencekam saat kedatangannya disambut.

"Gimana? Natalnya?" Tanya Papi sambil menyesap kopi hangat dalam gelas yang beberapa menit lalu diantarkan oleh salah satu pelayan rumah mereka.

"Seru." Jawab Matthew singkat, menyunggingkan senyum tipis mengingat kehangatan keluarga Dinda yang sangat berbanding terbalik dengan suasana rumahnya sekarang yang terlampaui dingin.

"Papi lihat, kamu beneran ikut ibadah di Gereja Dinda, ya?"

"Iya." Jawab Matthew lagi, tidak heran jika Papi tahu soal kabar itu--bahkan yakin Papinya benar 'melihat' dirinya di Gereja keluarga Dinda.

Papi lalu menganggukkan kepala, kedua matanya tidak pernah lepas dari Matthew yang juga membalas tatapannya dengan sisa nyali yang masih ada di dalam diri. Bohong jika Matthew tidak takut dengan Papi. Sejak kecil ia jarang berbicara dengan Papi yang super sibuk, kalau pun berbincang, obrolan mereka hanya sebatas bisnis. Bahkan Matthew baru merasa Papi meniliki peran penting dalam hidupnya saat kuliah. Itu pun sebagai mentor bisnis.

"Ya, sudah, Thew, kalau kamu mau sama Dinda... silahkan." Kata Papi tiba-tiba membuat kedua mata Matthew terbelalak.

"S-serius!?" Tanya Matthew tidak percaya, berniat menampar pipi sendiri untuk memastikan ia sedang tidak berada di dunia mimpi namun harus ia tahan karena ingin menjaga image di depan Papi.

"Serius." Jawab Papi sambil tersenyum kecil, lalu melanjutkan omongannya. "Setelah kamu menikah sama Yona."

Senyum Matthew pun langsung musnah di wajah. Pria itu menyoroti Papi dengan tajam, terkejut tapi juga tidak heran mendengar kalimat terakhir Papi yang sangat di luar nalar.

"Hal kayak gini biasa, Thew. Jangan dibikin susah. Kamu, nikah sama Yona. Setelah nikah, kamu bisa jadikan Dinda sebagai simpanan kamu. Dia dan keluarganya juga pasti senang--"

"Pi!" Seru Matthew kesal, mengempaskan kedua bogemnya di atas paha. "Nggak gitu caranya!"

"Nggak gitu gimana?" Tanya Papt sewot, masih tampak tenang bersandar di atas sofa.

"Matthew udah jelas nggak mau nikah dengan Yona, Pi! Matthew cinta sama Dinda sejak dulu! Dan Matthew hanya mau menikahi dia!"

"Cinta bisa habis masanya, Thew. Lagian, Dinda apa hebatnya? Paling perempuan itu dengan keluarganya mau harta kita."

"Pi! Dinda nggak gitu!" Seru Matthew tidak terima, bersiap untuk berdiri untuk beranjak dari tempat yang laknat itu.

"Tahu apa kamu?" Tanya Papi sedikit terusik karena seruan Matthew yang membuat hatinya sedikit terluka. Tidak pernah sebelumnya Matthew menolak permintaannya.

"Tahu banyak." Jawab Matthew berusaha tak gentar, menyoroti sang Papi dengan nanar. "Tahu soal beasiswa itu, soal rencana pemindahan kelas, apalagi? Apa keluarga Dinda ada nerima duit dari Papi Mami? Nggak, kan!?"

"Karena bisa saja keluarga Dinda tahu value yang lebih saat mengambil kamu ke sisi mereka."

"Papi!" Matthew berseru dengan tenggorokan yang hampir tercekat. Ia sudah berdiri dari sofa, berniat pergi karena tidak tahan atas tuduhan Papi soal Dinda.

"Papi sama Mami bisa berhenti ngelihat orang sebelah mata, nggak? Bisa berhenti berpikir kalau orang-orang mau harta kita doang!?"

"Tapi memang benar, kan? Kamu jangan naif, Thew." Balas Papi tenang, nyengir kepada anaknya sendiri yang menahan emosi sampai wajahnya memerah.

"Kamu belum tahu soal Dinda dan keluarganya, Matthew. Papi yakin, semakin kamu mengenal mereka, semakin sadar pula kamu kalau orang-orang seperti mereka memang tidak pantas bersanding dengan keluarga kita."

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang