54 [END]

116 12 4
                                    

Jantung Dinda berdegup sangat kencang saat melihat Matthew mendatangi toko tantenya, sendirian. Ia ingin mengusir pria itu tapi Matthew sudah meraih salah satu keranjang belanjaan dan berkeliling etalase, memasukkan beberapa jenis makanan--termasuk 5 kotak mochi yang Dinda yakini untuk kedua sahabat Matthew yang masih berada di Sukabumi. Perasaannya sangat gusar, apalagi ada rindu yang diam-diam menelusuk di hati, membuatnya sangsi kepada diri sendiri.

Dinda tidak bisa pungkiri bahwa dirinya masih kesal kepada Matthew, atas sikap yang diberikannya di malam itu dan kata-kata yang menjatuhkan harga diri yang selama ini ia jaga. Dinda merasa trauma, takut jika Matthew akan melukainya di lain waktu apabila mereka kembali bersama. Tapi di sisi lain, Dinda juga masih menginginkan Matthew. Perasaannya masih cukup besar sampai ketika Matthew berdiri di hadapannya, Dinda merasa jantungnya mau meledak.

"If I were you, maybe I'll do the same, Din. Aku paham. Tapi aku ngerasa nggak bisa hidup sejak kamu ninggalin aku ke Sukabumi. Tiba-tiba menghilang, nggak ngasih kejelasan--"

"Dua ratus lima puluh lima ribu." Dinda memotong ucapan Matthew dengan cepat lalu melipat bibir agar tidak ketahuan sedang gemetar. Ia juga mendorong kantung belanjaan Matthew, sebelum bersidekap menunggu pria itu membayar belanjaannya.

Matthew menghela napas panjang, tidak kunjung meraih uang atau kartu kredit dari dalam dompet, malah memajukan badan dan bertumpu pada kedua tangan yang memegang sisi meja kasir. Selagi toko hanya dijaga oleh Dinda, ia merasa sedikit bebas untuk berada di sana lebih lama.

"Malam itu Papi bikin aku marah, Din. Sampai aku balik cepat ke apartemen dan ngelihat kamu balik sama Jordan..."

"Dua ratus lima puluh lima ribu, Matthew

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dua ratus lima puluh lima ribu, Matthew. Kamu mau bayar atau nggak?"

"Aku tahu kamu nggak butuh penjelasan itu tapi aku benar-benar nyesal udah nuduh kamu sembarangan, Din. Aku salah udah nganggep kamu selingkuh sama Si Brengsek itu, udah ngomong hal yang ga pantas ke kamu..."

"Dua ratus lima puluh lima ribu, Thew!" Dinda memekik, kedua matanya berkaca-kaca memandang Matthew yang tatapannya tampak kosong tak berjiwa. Makin sesak pula dada Dinda melihatnya selain teringat akan kenangan yang memberikannya mimpi buruk selama beberapa hari ini.

"Din," Matthew makin memajukan tubuh, kedua bola matanya juga berkaca-kaca, meringis karena ingin sekali memeluk Dinda yang tampak rapuh di hadapannya. Tidak sadar jika dirinya juga sedang rapuh.

"Dua ratus lima puluh lima ribu..." Dinda meringis kecil sebelum berjongkok dan menyembunyikan wajah di balik kedua tangannya untuk menangis.

Dinda sudah tidak tahan lagi. Perasaannya tumpah ruah sampai ia menangis tersedu-sedu di belakang meja kasir. Dinda merasa lelah dengan segala hal yang membebani dirinya selama ini. Mulai dari masalahnya dengan Matthew, hutang Ayahnya, perasaan Jordan dan pekerjaan yang ia tinggalkan. Seperti bom waktu, Dinda yang selama ini hanya bisa memendam akhirnya mengeluarkannya lewat tangisan.

"Dinda!" Matthew refleks berseru memanggil nama Dinda dan berlari ke belakang meja kasir dan memeluk perempuan itu dengan erat meski Dinda berupaya menepisnya.

"Pergi! Hiks... pergi aja, Thew!!" Seru Dinda ditengah tangisannya.

"I'm sorry, cantik. Maafin aku, ya..." Matthew berupaya menenangkan, berbisik tepat di samping telinga Dinda, menahan tubuhnya yang disikut Dinda daritadi.

"Pulang! Hiks... Aku nggak mau liat kamu lagi!"

"Dinda... maafiin..." Kata Matthew lembut, melemaskan pelukannya saat Dinda tidak lagi berontak.

Hati Matthew sedikit menghangat karena bisa memeluk perempuan itu lagi, bisa menghirup aroma tubuh Dinda yang ia rindukan meski kondisi mereka sedang tidak baik-baik saja. Perlahan ia pun mengelus puncak kepala Dinda dan mendekatkan wajahnya ke telinga perempuan itu.

"Maafin aku, ya, Dinda... Aku janji nggak bakal ngulangin kesalahan aku waktu itu. Janji bakal percaya dan denger kamu selamanya, hm?"

~~~

Mama Dinda menahan lengan suaminya saat pria itu ingin menghampiri Dinda, menjauhkan anaknya dari Matthew yang masih memeluk Dinda dengan erat di belakang meja kasir. Perempuan itu mendesah pelan, tidak habis pikir dengan kisah percintaan sang Anak yang berlika-liku, yang hanya tertambat pada satu pria saja bernama Matthew Tanudjaja.

Sebagai seorang Ibu, Mama Dinda tidak bisa berbuat banyak. Ia tidak tahu apa yang anaknya rasakan meski ia masih kesal dengan Matthew, terutama kepada keluarga Tanudjaja yang beberapa kali mengancam mereka.

"Yah... Ayah janji buat lunasin hutang kita mau sampai kapan pun, kan?" Tanya Mama Dinda tiba-tiba, mengejutkan suaminya yang langsung mendelik kepadanya.

"Kamu yang hutang, loh." Kata Mama Dinda tanpa mengalihkan perhatian dari Matthew dan Dinda yang kini berpelukan, menangis bersama sambil meminta maaf-- lebih tepatnya Matthew yang terus meminta maaf.

Ayah Dinda pun mengatupkan bibir, tidak jadi mengelak. Sejak ketahuan berhutang dan mengakibatkan huru-hara dalam keluarganya sendiri, ia jadi tidak banyak omong. Mama Dinda pun lebih dominan mengurus segala urusan rumah.

"Kita tetap di Sukabumi, cari uang buat lunasin hutang kamu itu. Dinda biar balik ke Bandung aja." Jelas Mama Dinda tidak bisa didebat Ayah Dinda yang akhirnya manggut-manggut.

Mama Dinda lalu menaruh telunjuk di depan bibir saat melihat teman-teman Matthew, Manendra dan Jay, masuk ke toko dengan tergesa-gesa bersama Mang Aceng sebelum menunjuk Matthew dan Dinda yang masih berpelukan di belakang meja kasir. Nyengir saat kedua pria itu meringis, menahan malu atas perbuatan teman mereka.

Tidak ada lagi yang bisa perempuan itu lakukan selain membiarkan Dinda memilih jalan hidupnya sendiri.

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang