44

61 10 0
                                    

Mang Aceng

Restoran di Jalan Riau
dijual, Ko.

Pesan Mang Aceng yang singkat itu membangkitkan rasa heran pada diri Matthew. Ia tidak menduga restoran milik kedua orangtuanya itu akan dijual padahal baru sebulan lalu ia keluar di sana setelah diusir dari rumah. Rasa herannya berkembang hingga ia teringat akan pemutusan kerja beberapa staff yang dilakukan oleh kedua orangtuanya pada beberapa restoran mereka akhir-akhir ini. Entah mengapa ia merasa ada yang tidak beres, tapi Matthew tidak bisa berbuat banyak karena ia tidak punya hak lagi untuk mengurusi bisnis orangtuanya.

"Next time kalau mau ambil barang sama aku aja ya, Din." Kata Matthew setelah menaruh ponselnya ke dalam kantung celana, memandang Dinda yang tengah memasak sarapan di pantri.

Dinda tidak merespon, perempuan itu menyibukkan diri dengan telur orak-arik yang ia masak di pan. Pagi-pagi ia tidak ingin memulai hari dengan memperbincangkan masalah Dafa yang semalam pulang cepat setelah menghabiskan makan malamnya. Ia tahu, Matthew kesal. Tapi tidak perlu membawa obrolan itu di pagi hari juga, bukan?

"Din..." Matthew memanggil, gusar karena Dinda tidak bersuara.

"Iya." Sahut Dinda menahan kesal, menggerakkan Matthew yang langsung bangun dari sofa untuk menghampiri Dinda di dapur, memeluk perempuan itu dari belakang. Yang dipeluk tentu saja terkejut, hampir menjatuhkan spatulanya kalau Matthew tidak menahan tangannya.

"Aku tahu, Dafa sahabat kamu dari kecil. Tapi dia laki-laki, Dinda." Kata Matthew lembut tepat di telinga Dinda karena ia memangku wajahnya di bahu perempuan itu.

"Iya, aku paham." Balas Dinda kesal, menggerakkan bahu agar Matthew menjauhkan kepalanya.

"Paham tapi marah?" Tanya Matthew retoris, sudah mengangkat kepala tapi tetap berada di belakang Dinda, mengunci tubuh perempuan itu di pantri.

"Aku tahu, kamu kesal. Aku tahu, Dafa itu laki-laki. Tapi, masa kamu kesal sama dia hanya karena dia bantuin aku? Kamu cemburu sama Dafa yang jelas-jelas sering bantuin kita?"

"Dinda,"

"Kamu, tuh, pagi-pagi bikin mood jelek." Dinda menggerutu, mematikan kompor lalu berbalik menghadap Matthew dengan dua tangan terlipat di depan dada. "Dafa itu satu-satunya teman yang bisa aku ajak ngobrol banyak hal, Matthew. Dari kecil aku tinggal dekat dia, terus tiba-tiba sekarang aku tinggal jauh, sendirian, sama siapa lagi aku ngobrol kalau kamunya gaada?"

"Tapi nggak malam--"

"Iya, aku salah. Aku nggak kepikiran karena kemarin bener-bener cuma punya waktu malam ketemu sama Dafa. Dia juga baru pulang kerja itu."

"Hm..." Matthew mengangguk, memandang Dinda dengan tatapan yang lembut, berharap emosi perempuan itu bisa meredam, tapi dada Dinda sudah memanas.

"Kamu kalau ngelarang Dafa ke sini, berarti kamu juga harus ngelarang diri buat nginep di sini, ya." Dinda mengultimatum hingga Matthew terkesiap malu di hadapannya.

Sejak Dinda pindah, Matthew jadi menginap terus di apartemen perempuan itu dengan alasan menemani. Memang hanya alasan karena Matthew akhir-akhir ini merasa lebih nyaman tidur memeluk Dinda. Harum tubuh Dinda juga membuatnya lebih mudah tertidur, seperti ada aroma yang memabukkannya.

"Sorry," Kata Matthew lirih sambil memeluk Dinda dengan erat. Terlampaui erat sampai Dinda hampir sesak napas sehingga ia menepuk-nepuk punggung Matthew pelan.

"Sorry..." Matthew mengerucutkan bibir, mengendurkan pelukannya dan menyembunyikan wajah pada leher Dinda. "Kaget soalnya tiba-tiba liat Dafa di sini. Kamu juga nggak ngasih tahu." Jelasnya seperti berbisik tapi bisa didengar Dinda dengan jelas.

Emosi Dinda pun segera redam. Ia menarik napas pelan lalu membalas pelukan Matthew. Jantungnya berdegup kencang karena deru napas Matthew menggelitik lehernya. Cukup geli tapi berusaha ia tahan karena sikap Matthew jadi menggemaskan.

"Iya, aku juga sorry nggak ngasih tahu ke kamu." Kata Dinda pelan, tangannya bergerak mencapai kepala Matthew, mengelusnya dengan lembut. "Maaf, ya."

"Hmm.... I don't like seeing you with other man, Din. Cemburu."

"I know. Aku juga nggak akan ke mana-mana." Ucap Dinda serius, berharap Matthew selalu ingat akan ke mana hatinya akan berlabuh dan tidak lagi cemburu kepada pria yang tidak perlu ia cemburui seperti Dafa.

Lalu Matthew melepas diri agar bisa memandang Dinda tepat di depannya selama beberapa saat. Senyumnya tersungging begitu Dinda mengelus pipinya dengan lembut. Perempuan itu cantik sekali di mata Matthew, sangat cantik sampai kedua matanya berbinar setiap kali melihat Dinda. Perlahan ia mendekatkan wajah, menyatukan dahi mereka sebelum mencium bibir Dinda dengan lembut.

"Love you."

~~~

"Thew! Perusahaan orangtua lu bangkrut!?" Jay berseru kepada Matthew, tidak bisa menahan diri untuk memberikan informasi itu kepada Matthew yang sedang memperhatikan pembangunan restorannya di Cibadak padahal ia baru saja sampai di sana bersama Manendra.

"Bego!" Refleks Manendra mengumpat, menepuk punggung Jay dengan kencang saat beberapa pasang mata memandang mereka penasaran.

Sore ini, saat berniat mengunjungi lokasi restoran di Cibadak, Manendra dan Jay mendapatkan info dari Ayah Jay tentang kebangkrutan perusahaan keluarga Matthew. Mereka kaget dan mempercepat jalan mobil mereka untuk menemui Matthew di Cibadak. Keduanya sangat khawatir dengan kondisi itu, terlebih Jay yang grasa-grusu sampai lupa tempat saat nemberikan informasi penting tersebut.

"Gimana, Thew!?" Jay meringis, tapi tetap heboh.

"Gue udah denger dari Mang Aceng." Matthew menjawab dengan tenang, hanya keningnya saja yang berkerut memandang Jay, tidak menyangka kabar itu sudah sampai ke telinga orang luar.

"Jadi yang Papi lu jualin restoran di Riau itu?"

"Iya. Nutup utang." Kata Matthew, menjawab tanda tanya yang muncul di kepala Manendra dan Jay sejak mendengar kabar itu beberapa menit lalu dari Ayah Jay.

"So, how? Lu udah hubungin bonyok lu?" Tanya Manendra khawatir tapi Matthew menggelengkan kepala.

"That won't be good, beside mereka punya banyak aset jadi nggak perlu khawatir." Jawab Matthew membuat Manendra dan Jay berpandangan, paham mengapa sahabatnya itu tetap tenang meski sudah mengetahui kebangkrutan perusahaan keluarganya. Keduanya jadi lebih rileks, bahkan Manendra menepuk bahu Jay dengan kesal.

"Lu bikin gue ikut worry, njir!"

"Ya, soalnya gue kalau jadi dia bakal stress gila! Aset keluarga gue nggak bakal bisa nutupin kebangkrutan orangtua gue!" Jay berseru kesal, tidak relate sama sekali dengan kehidupan Matthew--atau bahkan Manendra meski ia masih termasuk orang berada.

"Sans." Matthew memaksakan senyum. "Lagian mereka bangkrut juga tetap nggak mau terima gue lagi, kan?"

Sontak Manendra dan Jay mengatupkan bibir, memandang Matthew tanpa ekspresi, terlalu kaget dengan pernyataan yang miris itu.

"Eiy... gue yakin someday, Papi Mami lu bakal terima lu lagi, kok."

"Kalau bener-bener jatuh miskin, maybe."

"Thew! Mulut!"

Matthew tertawa hambar terhadap seruan Jay lalu menyapukan pandangan ke seisi restoran yang masih belum tampak bentuknya. "They just got their own Karma now."

Thank you for reading! If you like it don't forget to like and comment ^^

Unbroken String [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang